Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mendagri Sebut Peralihan FTZ ke KEK dan Ex-Officio Kepala BP Batam Tindak Lanjut Kajian DJPB Kemenkeu
Oleh : Irawan
Rabu | 06-02-2019 | 15:04 WIB
mendagri_tjahjo37.jpg Honda-Batam
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kebijakan pemerintah mengubah free trade zone (FTZ) Batam selama 70 tahun menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Batam, serta menjadikan Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam dijabat secara ex-officio oleh Wali Kota Batam, merupakan tindaklanjut dari hasil kajian Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) Kementerian Keuangan RI pada 2015 lalu.

Hal itu disampaikan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo dalam materi yang disampaikan saat Rapat Kerja dengan Komisi II DPR membahas Kawasan Otorita Batam (BP Batam), belum lama ini.

"Pengelolaan FTZ Batam lebih besar potensial loss dan cost dibandingkan benefit. Potensi perpajakan yang hilang di FTZ Batam, di Tahun 2013 sebesar Rp 19,97 triliun, tahun 2014 sebesar Rp 19,72 triliiun, dan tahun 2015 sebesar Rp 24,73 triliun," kata Mendagri.

Menurut Mendagri, pengelolaan FTZ Batam tidak sesuai dengan semangat dan tujuan awal, di mana pelabuhan transhipment yang belum berkembang hingga kini. Perkembangan industri manufaktur dan penyerapan tenaga kerja, serta staganannya jumlah kunjungan wisatawan asing dan maraknya penyeludupan dari Batam ke wilayah pabean lainnya.

"Daya tarik Batam juga masih rendah bagi PMA dibandingkan dengan daerah lainnnya di Indonesia yang tidak memiliki fiskal sebagai FTZ," jelasnya.

Akibatnya, pada 2014 misalnya, hanya mampu menempati peringkat ke-20 dalam kemudahan berinvestasi.

"Nilai impor lebih besar dari nilai ekspor. Batam lebih berstatus pasar daripada pusat penghasil barang/jasa dengan nilai tambah menguntungkan kepentingan nasional," katanya.

Hal ini tentu saja membawa dampak bagi pertumbuhan ekonomi Batam lebihkecil dari pertumbuhan ekonomi Provinsi Kepulauan Riau.

"Bahkan pendapatan BP Batam lebih kecil dari Pendapatan Asli Daerah Kota Batam," tandas Mendagri.

Padahal FTZ Batam atau Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam dibentuk dengan UU No.36 Tahun 2000 tentang Penetapan Perppu No. Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, serta PP No.46 Tahun 2007 yang mengatiurjangka waktu kawasan FTZ selama 70 tahun dan perluasan wilayah penetapan FTZ yang semula hanya Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulauan Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru ditambah Pulau Janda Berias dan gugusannya.

"Hal ini menunjukkan bahwa hampir seluruh daerah otonom Kota Batam merupakan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam," katanya. Sementara daerah otonom Kota Batam sendiri diatur oleh UU No.53 Tahun 1999 dan UU Pemerintah Daerah.

Akibat regulasi tersebut, menyebabkan adanya dualisme kewenangan dalam aspek perijina yang berdampak ketidakpastiaan hukum bagi dunia usaha dan perekonomia masyarakat, sehingga mempangaruhi iklim investasi bagi pembangunan Batam.

"Pelayanan perizinan terbelah di antara dua lembaga, BP Batam dan Pemko Batam, sehingga waktu pelayanan menjadi panjang dan lama, biaya tinggi dan tidak adanya kepastian hukum dalam melakukan investasi," kata Tjaho Kumolo.

Esitor: Surya