Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Haripinto Berharap Dwelling Time di Pelabuhan Batam Bisa Dipangkas
Oleh : Irawan
Selasa | 29-01-2019 | 14:16 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Senator Haripinto Tanuwidjaja menilai permasalahan arus logistik di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) dan Kota Batam, hingga saat ini adalah lamanya durasi bongkar muat atau 'dwelling time' di pelabuhan.

"Meski pihak otoritas dan pengelola pelabuhan selalu mengklaim bahwa dwelling time di Batam terus membaik dari waktu ke waktu dan saat ini diklaim rata-rata sudah tak lebih dari dua hari, namun pada praktiknya belumlah demikian," kata Haripinto, Selasa (29/1/2019).

Menurut Haripinto, permasalahan arus logistik bongkar muat (dwelling time) ini sudah disampaikan dalam Laporan Kegiatan Anggota DPD RI daerah pemilihan Provinsi Kepri ke Rapat Paripurna DPD RI beberapa waktu lalu.
.
Karena itu, Haripinto memunta pemerintah dan pengelola pelabuhan semestinya harus menyadari betul bahwa upaya untuk meringkas dwelling time atau durasi waktu bongkar muat logistik di pelabuhan Indonesia harus dilakukan secara serius dan konsekuen.

"Sumbatan dari tingginya angka dwelling time dapat berdampak terhadap harga barang yang menjadi tidak terkendali di pasar, utamanya di wilayah perbatasan dan pelabuhan. Lamanya proses dwelling time ini juga meningkatkan celah korupsi atau pungli ketika mata rantai birokrasi sengaja dibuat rumit dan lama, sehingga pengguna jasa harus mengeluarkan biaya tambahan jika menghendaki proses dipercepat," katanya.

Anggota Komite II DPD RI ini mengatakan, terkait hal tersebut ada beberapa upaya mendasar yang dapat dilakukan untuk mempersingkat dwelling time, yakni: pertama, meningkatkan transparansi proses arus barang dan jasa, sehingga dapat ditelusuri pada tahap mana terjadi kemacetan arus barang.

"Dukungan teknologi informasi saat ini sangat memungkinkan untuk memudahkan pengawasan arus barang dan penelusuran permasalahan yang terjadi di pelabuhan," katanya.

Kedua, menegakkan reward and punishment, dengan memberikan apresiasi yang layak kepada performa aparatur pelabuhan yang mampu memberikan pelayanan terbaik dan efisien, dan memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku pungli dan mereka yang sengaja memperpanjang dan memperumit proses bongkar muat di pelabuhan.

Ketiga, yakni meringkas proses keterlibatan berbagai instansi terkait dengan lebih mengefektifkan peran pelayanan terpadu satu pintu yang saat ini mulai diberlakukan, agar masing-masing instansi dan lembaga dapat terhubung dalam satu sistem sehingga proses layanan dapat lebih transparan, mudah diakses dan dilacak, namun keamanan arus barang dan jasa tetap terjamin.

Adapun permasalahan lainnya, yang juga kait mengkait dengan permasalahan dwelling time di Batam adalah tingginya biaya pengiriman cargo dari dan ke Batam. Sebagai ilustrasi, biaya angkutan kontainer ukuran 20 feet dari Batam ke Singapura USD 555.

Sedangkan ukuran 40 feet USD 750. Padahal, jarak Batam-Singapura hanya 28 kilometer. Bisa ditempuh angkutan kontainer dalam 2 jam. Sementara biaya angkut kontainer dari Singapura ke Malaysia yang jaraknya lebih dari 374 kilometer dan membutuhkan waktu tempuh 20 jam, untuk kontainer 20 feet hanya USD 122, dan 40 feet hanya USD 277.

"Bahkan biaya angkut kontainer Batam-Singapura jauh lebih mahal daripada biaya angkut kontainer dari Jakarta ke Malaysia. Padahal jarak dan waktu tempuh lebih jauh Jakarta-Malaysia. Jaraknya 1.296 kilometer dan butuh waktu 2 hari 22 jam dalam perjalanan. Tapi biaya untuk kontainer 20 feet hanya USD 450, dan untuk 40 feet hanya USD 595," katanya.

Senator asal Provinsi Kepri ini menilai kedua permasalahan tersebut, ditambah lagi dengan rumitnya pengurusan administrasi barang yang keluar dari area FTZ (Free Trade Zone) Batam adalah hal-hal yang membuat Batam menjadi tidak kompetitif.

"Lebih jauh dari itu, masyarakat di Kepri secara umum juga adalah pihak yang dirugikan karena lamanya durasi bongkar muat, tingginya biaya cargo dan rumitnya birokrasi arus barang keluar dari Batam turut berdampak pada tingginya harga-harga komoditi pokok yang dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat di Kepulauan Riau," katanya.

Editor: Surya