Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Memotret Hoax di Awal Tahun 2019
Oleh : Redaksi
Rabu | 09-01-2019 | 11:16 WIB
hoax-netz1.jpg Honda-Batam
Ilustrasi hoax. (Foto: Ist)

Oleh Joko Pribadi

MENAPAKI awal tahun 2019, jagat berita Indonesia masih diwarnai dengan serangkaian berita bohong (hoax), informasi menyesatkan (misleading information), ujaran kebencian (hate speech) dan distorsi berita dari sejumlah pihak. Ini merupakan hal yang tidak menggembirakan bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks pemilhan presiden maupun pemilihan legislatif, terdapat kecenderungan hoax sengaja dibuat untuk menyerang lembaga tertentu, selain pesaing politik, dengan tujuan untuk mendelegitimasi lembaga itu agar memperoleh dukungan dalam kontestasi politik. Hal ini berbahaya bagi persatuan bangsa dan kohesivitas masyarakat.

Akhir tahun 2018 dan awal 2019 masih diisi dengan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian serius. Pertama, berita tentang masuknya tujuh kontainer surat suara Pilpres 2019 dari Cina yang telah tercoblos.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menegaskan bahwa surat suara Pilpres 2019 belum dicetak karena proses lelang baru selesai dan masih masuk masa sanggah. Berdasarkan pengecekan langsung KPU bersama Bawaslu ke Kantor Pelayanan Utama Ditjen Bea dan Cukai Tanjung Priok, dipastikan bahwa berita itu bohong.

Langkah KPU dan Kementerian Dalam Negeri melaporkan kasus hoax surat suara pilpres 2019 tercoblos itu ke Bareskrim Mabes Polri sudah tepat. Isu itu, yang sempat menjadi liar, apabila tak ditangani dengan baik dapat membahayakan legitimasi Pilpres 2019 sebagai pemilu yang bersih. Apalagi bila ditambah isu lain seputar penyelenggaraan pemilu, seperti soal daftar pemilih, kotak suara dari karton kedap air, KTP elektronik yang tercecer dan lain-lain.

Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, Henri Subiakto, mengatakan penyebearan hoax di media sosial telah menjadi bagian dari permainan politik. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain seperti Amerika Serikat dan Brasil.

Akan lebih berbahaya lagi jika penyebaran kabar bohong itu dilakukan secara sistematis, masif dan diamplifikasi media sosial. Penyebaran berita bohong, sebagai hasil rekayasa elite dengan memanfaatkan prasangka ideologis dan isu primordialisme, semakin memprihatinkan karena mayoritas penduduk Indonesia yang masih berpendidikan rendah sangat rentan terprovokasi.

Kedua, berita bohong mengenai data perbandingan bencana per masa kepresidenan. Pesan berantai yang bergerak liar melalui beberapa grup WhatsApp menyebutkan bahwa pada era Orde Baru (1966-1998) terjadi 96 kali bencana, di era Abdurrahman Wahid (1999-2001) terjadi tiga kali bencana, pada jaman Megawati Soekarnoputri (2001-2004) ada 14 kali bencana, pada era Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014) terjadi 76 kali bencana dan pada era Jokowi yang baru memerintah selama empat tahun sudah terjadi 332 kali bencana.

'Data' tersebut di atas dikatakan bersumber dari Tempo, dan diberi catatan bahwa tidak ada yang kebetulan dalam kehidupan ini, seraya mengutip pandangan seorang ulama besar. Pesan yang disampaikan ketika serentetan musibah sedang menimpa negeri ini, dari gempa di NTB yang disusul Palu dan tsunami di Selat Sunda, nampak didesain untuk menggoyang keyakinan dan pilihan politik masyarakat. Si kreator 'data' itu hendak menyampaikan pesan bahwa di era Jokowi banyak terjadi bencana. Oleh karena itu jangan pilih Joko Widodo.

Kesahihan 'data' tersebut disangkal oleh Pemimpin Redaksi Tempo.co, Wahyu Dhyatmika, yang menyatakan bahwa redaksi Tempo.co tidak pernah merilis data yang kemudian menjadi pesan berantai di WhatsApp itu. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho juga membantah 'data' yang beredar di pesan berantai tersebut, dan mengatakan bahwa tidak ada kaitan antara jumlah kejadian bencana dengan pemerintahan. Jelas bahwa motivasi si pembuat pesan itu adalah untuk kepentingan politik Pemilu 2019.

Terjadi persoalan karena disinformasi sudah menyebar luas. Masalah bertambah sebab, bagi sebagian orang seperti terlihat dari cuitan di linimasa, klarifikasi faktual tidak dianggap sebagai kebenaran, tetapi justru dilihat secara sinis. Di era pascakebenaran (post truth), rasionalitas sering dikalahkan oleh emosi.

Dalam suasana itu, informasi dianggap benar jika mengonfirmasi keyakinan. Bangsa Indonesia seharusnya belajar dari banyak kasus di manca negara, seperti Myanmar, India dan Srilangka di mana telah jatuh banyak korban jiwa karena ujaran kebencian dan disinformasi.

Ketiga, informasi menyesatkan terkait pembangunan infrastruktur pada era Presisden Joko Widodo. Calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Salahuddin Uno, menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur pada saat ini tidak tepat sasaran. Sandi mengklaim pendapatnya didukung dengan data dari Bank Dunia, yang menyatakan bahwa perencanaan dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur Indonesia tidak dilakukan dengan baik.

Sandi menyayangkan bila pemerintah kini lebih fokus melakukan pembangunan infrastruktur fisik, dan mengesampingkan pembangunan manusianya, sehingga tak tepat sasaran dan tak memberikan dampak yang baik bagi masyarakat.

Pernyataan Sandi tersebut disanggah oleh Bank Dunia, yang memberikan klarifikasi bahwa laporan yang dirujuk Sandi tersebut ditulis pada tahun 2014 tatkala Presiden Joko Widodo belum dilantik.

Sebelumnya, Sandi juga mengkritik pemerintah saat ini yang sebenarnya bisa membangun infrastruktur tanpa membebani anggaran negara, dan menegaskan tidak akan bergantung pada utang jika terpilih menjadi wapres nanti. Dia mencontohkan proyek jalan tol Cikopo-Palimanan (Cipali) sepanjang 116 km yang ikut dibangunnya tanpa utang sama sekali. Tetapi data yang ada tidaklah menyatakan demikian.

Dalam catatan detikFinance, berdasarkan Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol yang diamandemen pada 27 Oktober 2011, proyek jalan tol Cipali dengan nilai investasi Rp. 12,56 triliun dengan masa konsesi 35 tahun tersebut didanai dengan modal sendiri sebanyak 30 persen dan sisanya dengan pinjaman dari sindikasi perbankan yang dipimpin oleh PT Bank Mandiri, Tbk dan PT Bank Central Asia, Tbk.

Terdapat 22 bank yang ikut membiayai proyek ini, termasuk sejumlah bank pembangunan daerah (BPD) dan beberapa bank asing, antara lain Standard Chartered (Inggris), SMBC (Jepang), OCBC (Singapura), ICBC (RRC) dan Deutsche Bank (Jerman).

Pernyataan bahwa jalan tol Cipali didanai sendiri tanpa utang sama sekali, yang ternyata tidak benar itu, dibuat untuk memberikan citra bahwa pemerintah menghambur-hamburkan uang yang berasal dari pajak yang dibayar rakyat. Tujuan akhirnya adalah untuk memperoleh simpati dari masyarakat yang berujung pada kenaikan elektabiltasnya seraya menggerus elektabilitas petahana.

Keempat, tentang pencapaian target penerimaan negara tahun anggaran 2018 yang mencapai 100%. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa realisasi penerimaan negara tahun 2018 berhasil tembus 102,5% atau setara Rp. 1.942,3 triliun dari target Rp. 1.894,7 triliun.

Namun, Pengamat Ekonomi Gede Sandra berpendapat bahwa itu adalah keberhasilan semu karena bukan murni dari kinerja pemerintah, melainkan karena fenomena naiknya harga minyak dunia. Menurutnya, pencapaian target 100% penerimaan negara seharusnya diukur dengan peningkatan rasio penerimaan pajak.

Pendapat pengamat ekonomi tersebut jika diamplifikasi media sosial dapat menurunkan kredibilitas pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan, di mata masyarakat. Kendatipun demikian, penobatan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan Terbaik atau Finance Minister of the Year 2019 Global and Asia Pacific oleh majalah keuangan The Banker yang dimiliki oleh Financial Times dapat menaikkan kredibilitas Menkeu.

Apalagi sebelum itu majalah Global Markets telah memberikan gelar sebagai Menteri Keuangan Terbaik atau Finance Minister of the Year 2018 East Asia Pacific atas kinerjanya mempertahankan reputasi keuangan Indonesia di tengah kondisi yang sangat menantang.

Kelima, calon presiden Prabowo Subianto mengkritik kualitas pelayanan rumah sakit milik pemerintah, antara lain dengan pernyataan bahwa satu selang cuci darah di RSCM dipakai oleh 40 orang pasien. Jikalau ini benar, maka pasien dapat tertular berbagai macam penyakit seperti hepatitis, malaria dan HIV. Penyebaran berita ini dapat mendegradasi kualitas layanan kesehatan pemerintah terhadap rakyat banyak.

Pernyataan itu dibantah oleh Direktur Utama RSUP Nasional Dokter Cipto Mangunkusumo, dr. Lies Dina Liastuti, yang menegaskan bahwa satu selang hemodialisis hanya digunakan untuk satu orang pasien. Meskipun begitu, pernyataan Prabowo sempat menimbulkan kehebohan di media sosial, apalagi di tengah maraknya pemberitaan tentang penolakan beberapa rumah sakit terhadap pasien yang menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan.

Untuk itu, kita sebagai masyarakat yang cerdas harus mampu memilih dan memilah informasi. Jangan hanya menerima saja, melainkan harus melakukan pengecekan ulang atas berbagai informasi yang telah kita terima. Pencegahan diseminasi kabar bohong harus lebih diutamakan daripada melakukan 'pemadaman kebakaran' ketika hoax sudah tersebar.

Dalam jangka panjang, perlu dibuat regulasi yang memungkinkan pemerintah meminta pertanggungjawaban platform seperti Twitter, Facebook dan Instagram apabila ada akun yang memuat konten hoax.

Semua instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah, BUMN dan BUMD yang terpapar konten hoax juga harus segera memberikan kontra atau klarifikasi secara lengkap tentang substansi yang dipermasalahkan, disertai dengan data yang relevan dan akurat. Kecepatan respons dan keakuratan data sangat penting, agar berita bohong tidak menyebar dan merugikan kepentingan publik.*

Penulis adalah Pengamat Masalah Sosial Politik