Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Akan ke Mana Kasus Apel dan Kemah Kebangsaan?
Oleh : Redaksi
Selasa | 27-11-2018 | 17:16 WIB
margarito-kamis.jpg Honda-Batam
DR Margarito Kamis. (Foto: breakingnews.co.id)

Oleh DR Margarito Kamis

DAHNIL Azhar Simanjuntak, pria yang wajahnya laksana terus dibasahi air wudhu, yang tidak seorang pun mungkin tidak mengenalnya sebagai pria kritis, yang santun tutur katanya itu, jumat lalu ke Polda Metro Jaya. Dahnil Azhar Simanjuntak, Ketua Umum Pemuda Muhammadiah itu, kalau tidak salah, bersama Ahmad Fanani diperiksa penyidik Direktorat Tindak Pidana Khusus.

Dahnil dan Ahmad Fanani diperiksa, begitu yang diberitakan, dalam kerangka adanya dugaan, sekali lagi dugaan, acara Apel dan Kemah Kebangsaan Pemuda Islam Indonesia di Area Candi Prambanan Yogyakarta tanggal 16-17 Desember 2017 lalu, yang menggunakan dana Kementerian, APBN, sebesar 5 milyar rupiah, bermalasah. Apa masalahnya secara hukum? Bagaimana hukumnya?

Imperatif

Andai Pak Imam Nahrawi, Menteri Pemuda dan Olahraga, tidak risau dengan situasi sosial keagamaan yang berkembang, mungkin acara di area Candi Prambanan itu, tak bakal ada. Mengapa? Sejauh keterangan-keterangan Dahnil yang tersebar diberbagai media, acara ini diinisiasi Pak Menteri. Sejauh ini keterangan Dahnil belum dibantah Pak Menteri. Disini pangkalnya.

Masalahnya apakah kegiatan itu tertera dalam RKA dan DIPA Kementerian? Hukum keuangan negara mengharuskan kementerian, juga lembaga menuangkan rencana kerja dan ke dalam dokumen Rencana Kerja dan Anggaran, RKA, yang kelak setelah disetujui DPR menjadi APBN, pelaksanaanya tercermin dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, DIPA. Ini imperatif. Apakah kegiatan, yang saat ini diduga bermasalah, tertera dalam RKA atau DIPA Kementerian ini?

Bila kegiatan kemah itu tidak tertera dalam RKA dan atau DIPA, maka cukup beralasan untuk diduga kegiatan ini dapat dikerangkakan ke dalam diskresi Menteri. Tidak mungkin lain dari itu. Pada titik ini cukup rasional, beralasan, pernyataan Dahnil yang secara esensial menghendaki Menteri, dalam istilahnya, muncul, mungkin untuk menjelaskannya.

Tetapi terlepas dari soal itu, secara faktual kegiatan tersebut telah berlangsung. Ketika kegiatan dilaksanakan, hukum keuangan negara mengharuskan seorang pejabat sebagai penanggung jawabnya, disebut Pejabat Pembuat Komitmen PPK. Bila sifat kegiatannya membutuhkan, maka hukum keuangan memungkinkan diangkat seorang pejabat menjadi Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan, PPTK.

Cukup jelas, hukum keuangan mewajibkan setiap kegiatan pemerintah dilaksanakan PPK dan PPTK. Ini mutlak. Masalahnya sekarang siapa PPK dan PPTK dalam kegiatan ini? Perihal PPK dan PPTK, bisa dipastikan bukan menteri, juga bukan sekjen. Kedua figur ini berkedudukan sebagai Pengguna Anggaran (PA) dan Kuasa Pengguna Anggaran, KPA, bukan pelaksana kegiatan, juga bukan pelaksana teknis kegiatan.

Andai kegiatan ini tidak tertera dalam RKA dan DIPA Kementerian ini, maka beralasan diduga sumber dananya bersandar pada nomenklatur belanja bantuan pada kementerian ini. Masalahnya apakah jenis bantuan ini tersedia dalam DIPA? Permenkeu Nomor 173/PMK.05/2016 mengatur bantuan pemerintah memiliki kategori bantuan rehabilitasi, bantuan penanganan bencana, bantuan operasional, dan bantuan sarana-prasarana atau bantuan pengembangan wirausaha, bantuan sarana dan prasarana, bantuan pengembangan bakat.

Baik Permenkeu diatas dan beberapa Peraturan Internal Kemenpora, yang disebut terakhir ini diajukan sekadar sebagai pembanding, mengatur posedur pemberian bantuan di lingkungan Kemenpora. Pihak yang hendak diberi bantuan atau pihak yang mengajukan permohonan untuk dibantu, harus diseleksi dan diverifikasi. Cukup jelas diatur juga siapa yang menerbitkan perintah seleksi, yang dilakukan dengan cara verifikasi dan siapa yang melaksanakan verifiaksi, dan apa hasilnya?

Apakah kegiatan yang secara esensial merupakan ide Pak Menteri, tetap dilakukan seleksi dan verifikasi? Tidak baik berspekulasi. Tetapi bila seleksi dilakukan, maka PPK, bukan pejabat lain yang mesti menyeleksinya. Bila PPK berpendapat calon penerima bantuan memenuhi syarat, PPK menerbitkan keputusan pemberian bantuan tersebut. Setelah itu barulah dibuatkan kontrak.

PPK mesti bertindak sebagai pihak yang berkontrak. Materi muatan kontrak meliputi, antara lain kesanggupan pihak penerima bantuan melaksanakan kegiatan, dan melaporkan, tentu setelah kegiatan selesai dilakukan. Bila anggaran tidak habis digunakan, maka sisa anggaran harus dikembalikan ke Kementerian. Tidak itu saja pelaksanaan kegiatan harus dioawai oleh pengawas dari Kementerian yang memberi bantuan itu. Begitulah prosedurnya.

Prosedur ini cukup jelas diatur dalam Permenkeu Nomor 173/PMK.05/2016. Prosedur ini, juga tergambar dalam beberapa peraturan internal Kemenpora. Peraturan-peraturan itu, misalnya Peraturan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Nomor 8.16.2 Tahun 2017 dan Peraturan Deputi Bidang Pengembangan Pemuda Nomor 18 Tahun 2017.

Masuk Akal

Dahnil dan Ahmad Fanani, berdasarkan Permenkeu dan Peraturan-peraturan Internal Kemenpora di atas, cukup meyakinkan untuk menyatakan mereka bukan hulu dalam persoalan ini. Bukan saja karena kegiatan ini tidak diprakarsai keduanya, termasuk Pemuda Muhammadiah, juga GP Anshor, tetapi mereka berdua bukan figur hukum yang memegang kewenangan mencairkan uang negara.

Itu sebabnya terlalu sulit untuk tidak menyatakan bahwa hulu persoalan ini ada pada Kementerian Pemuda dan Olahraga. Menariknya sejauh ini, nampaknya penyidik belum memeriksa PPK, Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM), juga pejabat yang menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM), termasuk figur yang melaksanakan verifikasi.

Kegiatan ini, sejauh ini diketahui menghabiskan uang negara sebesar 5 Miliyar rupiah, yang semuanya bersumber dari Kemenpora. Uang sebesar itu dibagi 2 Miliyar rupiah ke PP Muhammadiah dan 3 miliyar rupiah ke GP Anshor. Sejauh berita yang tersebar, uang yang penggunaannya bermsalah hanyalah yang diperoleh Pemuda Muhammadiah.

Memastikan pemilahan uang itu, tidak mungkin dilakukan hanya berdasarkan kenyataan. Cara yang logis ditempuh adalah memastikannya melalui SPPSPM dan SPM. Satukah atau duakah PPSPM dan SPM yang diterbitkan? Ini penting, sekali lagi untuk memastikan apakah pencairan anggaran untuk Pemdua Muhammadiah dan GP Anshor dilakukan terpisah atau serentak.

Andai, sekali lagi, andai penggunaan uang oleh Pemuda Muhammadiah bermasalah, soal hukum yang muncul adalah apakah kenyataan itu menjadi alasan pembenar untuk meletakan tanggung jawab, semata-mata pada panitia pelaksana? Penyidik tahu hukumnya, dan sepintas jawabannya negatif, tidak. Mengapa?

Pada titik ini muncul keharus untuk memastikan apakah semua pejabat di Kemenpora yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan ini telah menunaikan kewajiban hukum secara utuh? Apakah PPK, misalnya, telah secara sungguh-sungguh memeriksa laporan pertanggung jawaban panitia? Apakah pengawas kegiatan telah sungguh-sungguh melaksanakan kewajiban mengawasi kegiatan ini?

Bila jawabannya ya, soalnya adalah apa yang ditemukan oleh mereka, dan tindakan hukum apa yang PPK dan atau pengawas kenakan kepada panitia? Bagaimana bila PPK atau PPTK juga pengawas tidak menunaikan kewajibannya, meneliti laporan dan mengawasi pelaksanaan kegiatan? Keadilan mengharuskan beban tanggung jawab diletakan secara tepat.

Menariknya muncul satu hal hukum, menarik, diawal penyidikan kasus ini. Hal hukum menarik itu adalah selisih kurang, setidaknya sejauh data yang terberitakan, antara realisasi dengan penggunaan nyata, telah dikembalikan ke Kemenpora. Malah, pengembaliannya utuh, 2 milyar rupiah. Apakah pengembalian ini memiliki nilai, konsekuensi hukum? Pengembalian ini, beralasan untuk ditunjuk sebagai hal hukum yang menghapuskan sifat potensial kerugian keuangan negara dalam kasus ini. Mengapa?

Pertama, sejauh ini, walau kasus ini telah berada pada level penyidikan, tetapi kerugian keuangan negara secara defenitif, bernilai hukum valid, belum ditetapkan oleh BPK. Kedua, validitas nilai hukum kerugian keuangan negara, harus pasti. Kepastian ini ada dila dinyatakan atau ditetapkan oleh organ yang berwenang, BPK. Ketiga hukum keuangan negara melembagakan “ganti rugi”, tentu bila dalam pemeriksaannya, BPK menemukan adanya kerugian negara.

Harus diakui belum tergambar secara tepat berapa pejabat Kemepora yang telah disidik. Itu sebabnya harus diakui pula, kasus ini belum cukup terang. Sungguhpun begitu, dapat diperkirakan pada titik manakah kasus ini menemui akhir? Akankah terus belanjut atau dihentikan? Secara hukum, semuanya ditentukan oleh fakta yang ditemukan, dan konstruksi hukum atas fakta tersebut oleh penyidik. Tetapi sejauh keterangan-keterangan, data yang tersebar, yang hukumnya akan dikonstruksi berdasarkan tuntunan prinsip-prinsip keadilan, tersedia penghentian penyidikan sebagai pilihan logis dalam kasus ini.

Jakarta, 27 November 2018

Penulis adalah Staf Pengajar FH Universitas Khairun Ternate

Sumber: Republika
Editor: Dardani