Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Komisi X DPR Beri Catatan Mengenai Rencana Penerapan Zonasi Guru oleh Kemendikbud
Oleh : Redaksi
Minggu | 02-09-2018 | 15:32 WIB
Hetifah_Sjaifudian.jpg Honda-Batam
Wakil Ketua Komisi X DPR yang membidangi pendidikan Hetifah Sjaifudian

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Wakil Ketua Komisi X DPR yang membidangi pendidikan Hetifah Sjaifudian menilai banyak hal yang harus disingkronkan pemerintah terkait distribusi guru di Indonesia. Hal itu disampaikan Hetifah merespon rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang akan menerapkan sistem zonasi terhadap guru berstatus PNS di Indonesia.

Menurut Hetifah, meski tujuan distribusi guru baik untuk pemerataan guru di Indonesia. Namun masih ada kendala yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum menerapkan sistem tersebut.

"Yang pertama terkait Data Kebutuhan Guru (DKG) karena ini adalah data awal yang untuk bisa melihat posisi dan kebutuhan guru kita. Selama ini DKG menjadi data yang tidak akurat sehingga pengelolaan guru menjadi tidak tepat karena data yang tak akurat," ujar Hetifah saat dihubungi wartawan, Minggu (2/9/2018).

Hetifah mengatakan jumlah ketersediaan guru di daerah berbeda-beda. Sehingga distribusi guru melalui sistem zonasi harus disesuaikan dengan jumlah ketersediaan guru di daerah.

Kedua, lanjut Hetifah, persoalan kewenangan mutasi guru berada di ranah Pemerintah Daerah. Sehingga jika kebijakan itu akan dilakukan, maka pemerintah Pusat harus mengambil alih kewenangan memutasi guru yang berada di pemerintah daerah.

"Program ini akan susah dijalankan karena adanya pelimpahan kewenangan. Dulu ada pegawai NIP pusat dan Daerah. Yang NIP pusat bisa mutasi seluruh Indonesia sementara yg NIP daerah hanya untuk daerah itu sendiri," ujar Hetifah.

"Sementara saat ini semua pegawai menjadi kewenangan daerah untuk penataannya. Jadi membutuhkan sinkronisasi dan koordinasi yang baik," kata Politikus Partai Golkar tersebut.

Hetifah melanjutkan kendala yang harus diperhatikan oleh Pemerintah yakni terkait guru honorer. Sebab adanya kebijakan ini juga dapat membuat para guru honorer kehilangan pekerjaan karena redistribusi guru PNS.

Sementara, pengangkatan guru honorer menjadi PNS yang sudah tidak diizinkan sejak 2005. "Terkait dengan ini yang harus dipikirkan adalah sistem zonasi ini tadi membuat honorer jdi kehilangan pekerjaan. Karena kedatangan PNS disekolah masing-masing, kata Hetifah

Selain itu, Hetifah menyoroti perlu pengawasan dan pendampingan berkelanjutan terhadap rencana kebijakan zonasi guru tersebut.

"Jangan sampai sistem ini justru menimbulkan raja-raja baru di daerah daerah karena merasa memiliki kewenangan dalam memutasi guru. Seperti yang terjadi di zonasi siswa adanya raja-raja baru terutama dari kalangan yang merasa punya kewenangan," ujar Hetifah.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berencana menerapkan sistem zonasi sebagai rujukan untuk memeratakan guru di Indonesia. Sehingga nantinya selain zonasi untuk siswa, pemerintah juga akan menerapkan zonasi untuk guru yang berstatus PNS.

Rencananya, pada pertengahan Oktober 2018 ini Mendikbud Muhadjir Effendy akan berdialog dengan seluruh dinas-dinas pendidikan untuk membahas rencana tersebut.

"Kita sudah punya peta kasar, peta awal, tentang zonasi di masing-masing kota. Nanti kita akan petakan, kita konfirmasi dengan kabupaten/kota, ini cocok atau belum? Sehingga nanti akan ada penyesuaian karena mereka yang lebih tahu detail di lapangan, kata Muhadjir di Gedung A Kemendikbud, Rabu (29/8/2018).

Setelah adanya pemetaan berdasarkan zona tersebut, kata dia, maka akan ada mutasi atau redistribusi guru. Sehingga guru-guru PNS tersebar dan tidak menumpuk di salah satu sekolah di daerah tertentu saja.

Karena di satu sekolah harus terdiri dari empat kategori guru yaitu guru negeri yang sudah tersertifikat, guru negeri belum tersertifikat, guru tidak tetap (honorer) tetapi sudah tersertifikat dan guru tidak tetap belum tersertifikat.

"Jadi itu harus merata disemua sekolah. Tdak boleh ada sekolah yang isinya PNS semua tapi ada sekolah yang lain PNS-nya hanya 1 yaitu kepsek. Daerah tidak boleh lagi melakukan itu," tegas Muhadjir.

Editor: Surya