Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Konflik Tanah, Rakyat Dikalahkan Korporasi
Oleh : surya
Kamis | 19-01-2012 | 09:39 WIB
Jonson-Panjaitan-1.jpg Honda-Batam

Johnson Panjaitan

JAKARTA,batamtoday-Konflik tanah yang memanas belakangan ini makin mempertegas jika rakyat selalu dikalahkan oleh kekuatan modal atau korporasi. Padahal, jika bangsa dan rakyat ini berdaulat, korporasi dan pengusaha asing yang selama ini menjadi sumber konflik adalah pendatang di bumi nusantara ini.

Namun, ketika terjadi konflik tanah, mereka memiliki surat-surat tanah lengkap, yang memang dibuatkan oleh aparat pemerintah. Sebaliknya, rakyat selalu menjadi korban. Karena itu, bohong jika Negara ini ingin mensejahterakan rakyat.

Demikian yang mengemuka dalam diskusi “Konflik lahan dan kriminalisasi investasi di Gedung DPR RI pada Rabu (18/1) bersama Nudirman Munir (anggota Komisi III DPR RI/FPG), M. Solikin (Ketua KADIN Bid. Investasi), Prof.DR. Hadin Muhdjad (Ahli Hukum Tatanegara Univ. Lambung Mangkurat) dan Johnson Panjaitan (praktisi hukum).

Menurut Nudirmn Munir DPR akan membentuk Panja agraria berangkat dari kasus Mesuji Lampung dan Sape Bima NTB, Papua, Aceh, Sumatera Barat dll. Apakah dari banyak kasus tanah belakangan ini sudah sesuai dengan prosedur pertanahan;  dari tanah adat, ulayat, rakyat dan sebagainya. “Padahal mereka punya sertfikat, tapi tetap saja dikalahkan oleh kekuatan modal yang melibatkan aparat penegak hukum,” katanya.

Padahal, PP No 68 tahun 2008 tentang Polri yang bisa kerjasama dengan perusahaan itu adalah, harus berpihak kepada kepentingan rakyat. Tapi, faktanya rakyat menjadi korban. Karena itu pihaknya mendesak pemerintah untuk segara menyerahkan revisi KUHAP kepada DPR. Sebab, banyak aturan agraria di KUHAP itu masih produk penjajahan Belanda, dimana rakyat selalu menjadi korban dan pemerintah tidak pernah salah.

Yang pasti kata Johnson Panjaitan, rakyat meski memiliki surat tanah lengkap termasuk sertfikat apalagi yang tidak punya surat tanah karena tanahnya merupakan warisan turun-temurun, maka akan dikalahkan oleh kekuatan modal atau korporasi yang bekerjasama dengan kepolisian, pengadilan, kejaksaan dan bahkan Mahkamah Agung.

“Terbukti kasus Mesuji, Lampung adalah rakyat dikalahkan oleh korporasi yang berasal dari Malaysia. Korporasi dengan kekuatan uang bisa membuat sertfikat kapan saja. Sebaliknya rakyat meski mempunyai surat tanah lengkap akan dikalahkan. Jadi, tak ada pemimpin Negara ini ingin mensejahterakan rakyat,” tandas Johnson.

Karena itu lanjut Johnson, jika Polri terus dipercaya untuk mengendalikan sipil, justru akan memperburuk penegakan hukum. Mereka ini menggunakan kekerasan senjata dan k arena itu wajar jika Presiden SBY memegang kendali Polri. Contohnya, H. Hisyam seorang pengusaha di Kalimantan bisa menggelontorkan uang puluhan miliar untuk menyuap aparat agar tak tersentuh hukum. “Jadi, yang terjadi bukan konflik konstitusi atau aturan, melainkan konflik korporasi. Sehingga sistem politik kita saat ini makin rakus dan private. KPK tak bisa diharapkan. Karena itu rakyat harus berani mengorbankan jiwa dan raganya,” tambah Johnson.

M Solikin menjelaskan jika pengusaha itu ada dua macam; yaitu hitam dan putih. Yang hitam jelas tidak memiliki nasionalisme, sehingga banyak kasus tanah yang dibekingi oknum aparat kepolisian, hakim, kejaksaan dan sampai Mahkamah Agung. Mereka ini bahkan menjadi pengusaha dadakan dengan memenangkan berbagai kasus. Akibatnya, pengusaha yang berjuang dari bawah bisa tergusur oleh pengusaha dadakan ini. “Bahkan banyak desa-desa yang tergusur dan dikalahkan dalam kasus tanah ini,” katanya.

Pengusaha yang bersih dan rakyat selalau dituduh korupsi dan melanggar hukum lainnya; kemudian diproses di pengadilan dan terbukti dikalahkan. Selanjutnya mereka menguasai tanah rakyat. Ini terjadi di Kalimantan. “Malah seorang pengusaha bernama H. Hisyam bisa tak tersentuh oleh uokum. Padahal dia ini banyak melanggar hukum; narkoba, menembak rakyat, menguasai tanah tambang dan lain-lain. Pengusaha dan rakyat dituduh korupsi dan melanggar hukum hanya sebagai sekenario untuk mengambilalih tanah,” ujarnya.  Ada 9 juta Ha tanah dan hanya dikuasai oleh 7 konglomerat.