Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

DPD RI Tetap Dukung FTZ, Tolak Pemberlakuan KEK di Batam
Oleh : Irawan
Kamis | 24-05-2018 | 12:40 WIB
Djasarmen_Purba2.jpg Honda-Batam

PKP Developer

Anggota Komite I DPD RI Djasarmen Purba dari Kepulauan Riau (Kepri)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - DPD RI menilai penerapan kawasan perdangan bebas dan pelabuban bebas (FTZ) dengan Kawasan Eknonomi Khusus (KEK) memiliki perbedaan yang signifikan.

Sebab, Undang-undang (UU) tentang FTZ menyebutkan Batam sebagai wilayah Indonesia di luar daerah kepabeanan. Sedangkan Peraturan Pemerintah (PP) No 10 tahun 2012 justru mengatur pabean di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB).

"Karena itu, DPD RI mendukung pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri serta Asosiasi Pengusaha Indonesia menolak Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2012 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai, Karena bertentangan dengan peraturan di atasnya, yaitu UU Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam," kata Djasarmen Purba, Anggota Komite I DPD asal Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) di Jakarta, Kamis (24/5/2018).

Menurut Djasarmen, dalam PP Nomor 96 Tahun 2015 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 21 Desember 2015 itu, memberikan kepada pelaku atau badan usaha yang bidang usahanya merupakan kegiatan utama KEK dan kegiatan lainnya di luar kegiatan utama KEK tersebut.

Penetapan bidang usaha yang merupakan kegiatan utama di KEK oleh Dewan Nasional KEK, dengan meminta pertimbangan dari menteri atau kepala lembaga terkait.

"Dengan adanya ini maka tumpang tindihnya perihal tupoksi dan kewenang antara BP Batam dan Pemko Batam akan semakin memperburuk ekonomi Batam, yang tengah terpuruk," katanya.

Semestinya dalam jangka pendek dan dalam kerangka efektivitas pelayanan publik, maka kedua lembaga pemerintah harus mengedepankan singkroninisasi, koordinasi dan segregasi urusan serta kewenangan di lapangan. Meskipun masing masing pihak, memiliki landasan hukum yang kuat alias berdasar.

Djasarmen menilai, tidak adanya konsistensi pemberlakuan peraturan di dalam kawasan bebas ini, meskipun disebutkan Peraturan berlaku mulai 1 April 2009, tapi pada kenyataannya pemberlakuan masing-masing item di lapangan bergantung pada pejabat Bea Cukai.

"Hal ini sangat mengganggu stabilitas ekonomi, karena kebijakannya berubah-ubah," katanya.

Kurangnya koordinasi dan sinkronisasi antara pihak Pemko Batam, BP Batam, dan Bea Cukai (BC), sebagaimana diketahui lanjutnya, bahwa instansi yang benar-benar mengerti tentang arus-keluar masuk barang adalah BC tetapi saat ini yang mengaturnya adalah Badan Pengusahaan Kawasan (BPK).

"Tetapi pihak BPK tidak mengerti serta tidak bekerjasama dengan BC sehingga kebijakan yang diambil oleh kedua instansi sering rancu dan akhirnya diselesaikan melalui jalur tidak resm," katanya.
.
Djasarmen menegaskan, seharusnya BP Batam menempatkan diri sebagai sumber informasi. Sewaktu perusahaan baik asing dan domestik memasukan surat permohonan pemasukan barang, BP Kawasan juga menginformasikan kepada pemohon akan syarat-syarat lainnya.

Misalnya, surat persetujuan pemasukan barang daru dari luar pabena ke KPBPB Batam yang menyetujui perusahaan pemohon untuk melaksanakan pemasukan barang.

"Kalau surat itu memang memerlukan ITPT atau IP/IT ataupun hal-hal yang lain agar diinformasikan sebelum surat itu diterbitkan. Jangan sampai syarat tambahan itu diketahui setelah memasukkan barang. Surat persetujuan itu tidak ada gunanya bila tidak dilengkapi dgn syarat2 lainnya," tegas Djasarmen.

Sedangkan mengenai sasar Hukum : Surat Edaran DJP Nomor SE-37/PJ/2009 angka 7 huruf e: Perlakuan Perpajakan atas penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean, dalam hal Barang Kena Pajak yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas berasal dari luar Daerah Pabean atau mengandung Bahan Baku Impor, disamping dikenakan PPN atau PPN dan PPnBM, juga dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor.

"Hal ini akan timbul perbedaan persepsi dan cara perhitungan nilai yang seharusnya dipungut PPh Pasal 22 Impor," katanya.

Editor: Surya