Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Rupiah Melemah, Industri Farmasi Disebut Paling Sengsara
Oleh : Redaksi
Rabu | 23-05-2018 | 10:04 WIB
obat1.jpg Honda-Batam
Industri farmasi disebut paling terdampak pelemahan rupiah lantaran mayoritas bahan baku yang berasal dari barang impor dan pendapatan dari penjualan obat dalam bentuk rupiah.(morgueFile/mconnors)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto menyebut perusahaan-perusahaan di sektor farmasi paling terdampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Hal ini disebabkan mayoritas bahan baku perusahaan farmasi berasal dari barang impor. Sementara, perusahaan meraih pendapatan dari penjualan obat dalam bentuk rupiah.

"Industri farmasi menjadi persoalan karena sebagian bahan baku impor dan jualnya rupiah," tutur Airlangga, Selasa (22/5).

Tak hanya perusahaan di sektor farmasi, Airlangga mengungkapkan, seluruh perusahaan yang bergantung pada bahan baku impor tetapi melakukan penjualan dalam bentuk rupiah maka akan terkena sentimen negatif. Maka itu, ia menyebut pemerintah tengah mengupayakan agar ketergantungan bahan baku impor mulai dikurangi dan lebih memanfaatkan barang lokal.

"Jadi semakin banyak konten lokal itu akan sangat membantu daya saing industri," imbuh Airlangga.

Pada perdagangan pagi ini, Rabu (23/5), nilai tukar rupiah kembali melemah dan menembus level Rp1.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani sebelumnya mengaku pelemahan rupiah akan membebani banyak perusahaan di Indonesia karena mayoritas masih memanfaatkan barang impor.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah impor pada April 2018 melonjak 11,28 persen menjadi USD 16,09 miliar dibandingkan dengan Maret 2018 yang mencapai USD 14,46 miliar.

Jumlah impor itu terdiri dari barang konsumsi sebesar USD 1,51 miliar, bahan baku/penolong sebesar USD 11,96 miliar, dan barang modal sebesar USD 2,62 miliar.

Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) baru saja menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 4,5 persen dan ikut menambah beban perusahaan.

"Tentu semua menjadi beban, rupiah melemah dan suku bunga naik. Semuanya beban, tapi memang kalau BI tidak melakukan itu maka tekanannya akan lebih besar," ucap Hariyadi belum lama ini.

Sumber: CNN Indonesia
Editor: Udin