Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Disko, Musik 'Pemberontakan' Kaum Kulit Berwarna, Perempuan dan LGBT
Oleh : Redaksi
Jum\'at | 18-05-2018 | 13:52 WIB
jontravolta.jpg Honda-Batam
Saturday Night Fever memotret era disko dengan cukup tepat dan melambungkan nama John Travolta ke puncak ketenaran (Sumber foto: BBC Indonesia)

BATAMTODAY.COM, AS - Disko menjadi wadah bagi musisi kulit bewarna, baik perempuan maupun yang gay untuk berekspresi, tulis Arwa Haider.

Seiring berjalannya waktu, musik disko telah menghadapi berbagai asam garam. Telah lebih empat dekade berlalu sejak musik yang membuat kepala dan tubuh bergoyang ini menjadi fenomena global. Musik ini telah menginspirasi tidak hanya kebahagian, kesedihan, tetapi juga pembunuhan (ingat tragedi Comiskey Park di Chicago, 1979 lalu).

Musik ini memang tidak punya dampak yang mengubah dunia, seperti yang dilakukan musik rock 'n roll atau punk. Namun, disko hingga saat ini tidak berhenti memberikan pengaruhnya. Ia terus menginspirasi, misalnya lewat acara seperti Festival Disko London Brixton, 28 April lalu.

Festival ini bukan untuk mengenang kejayaan musik disko, tetapi sebagai perayaan bahwa musik ini masih memengaruhi kehidupan kita.



Disko lahir melalui berbagai tahap, tidak sekali lahir begitu saja. Dimulai dari lantai dansa The Loft di awal 1970an, hingga ke jantung pesta hedonisme, Studio 54, di New York pada akhir 1970an.

Produser musik dan pemrakarsa DJ, Nicky Siano, mengingat masa saat dia masih menjadi remaja gay di Brooklyn. Dia menekankan tragedi Stonewall di tahun 1969, yang menyelut desakan kesetaraan hak-hak LGBT, adalah inspirasi munculnya musik disko penuh hentakan, yang kemudian kerap diproduksinya.

"Terlalu banyak huru-hara yang terjadi. Dan jawaban untuk menenangkan hati kala itu adalah mencintai satu sama lain," kata Siano. "Di awal kemunculan Disko, semua lagunya pasti bertema cinta, rukun bersama dan membuat dunia lebih damai."



Disko bahkan telah mengubah cara kita bergoyang; lantai dansa tidak lagi hanya terbatas untuk pasangan heteroseksual. "Musik ini menyatukan semua orang, apalagi ketika ada 100 orang bernyanyi bersama di lantai dansa," kata Siano.

Musik ini juga menjadi pencetus berbagai kolaborasi musisi dari berbagai negara. Misalnya Donna Summer asal Amerika dan Giorgio Moroder dari Italia, yang memproduksi lagu populer I Fell Love, 1977 lalu.

Alice Echols yang menulis buku soal budaya Amerika mengungkapkan: "Disko menggunakan musik dari berbagai penjuru dunia. Alhasil musik ini pun bisa dinikmati lintas negara."



Mayoritas penyanyi lagu disko adalah perempuan. Salah satunya Jocelyn Brown, yang memulai karir sebagai penyanyi gereja sebelum bekerja sama dengan Musique, Inner Life dan Cerrone, sampai akhirnya menulis lagu diskonya sendiri yang terkenal, Somebody Else's Guy (1984).

"Musik disko tidak lekang dimakan zaman, karena cara penyampaiannya menggugah kita," kata Brown yang akan tampil di Festival Disko Brixton. "Waktu itu orang mencari sesuatu yang dapat menyentuh, menggerakkan mereka secara spiritual. Kita baru lepas dari Perang Vietnam yang menyakitkan. Orang ingin kembali bahagia."



Bagi Brown, disko adalah pemberontakan sekaligus dorongan yang memberinya kekuatan. Saat rekaman dia tidak lagi diminta untuk "memperhalus" suaranya supaya "bersahabat dengan pendengar radio". Disko punya lantai dansa sebagai medium tempatnya diperdengarkan.

Perayaan seksualitas

Disko mungkin telah menjadi korban dari kesuksesannya sendiri. Meskipun begitu, pengaruhnya terhadap musik hingga film tidak bisa dipandang sebelah mata. Mulai dari film musik Saturday Night Fever (1977), komedi musikal Thank God It's Friday (1978), hingga drama gay Inggris, Nighthawks (1978).

Terakhir, lewat serial Netflix, The Get Down (2016), sineas Baz Luhrman menuturkan bagaimana Disko telah menjadi inspirasi bagi kemunculan hip hop.

Fashion juga berubah mengikuti Disko, mengkreasikan berbagai busana memesona untuk lantai dansa. Di dunia fashion, disko seakan bermakna kemewahan. Meskipun begitu kostum sehari-hari juga bisa dirambah dengan tema musik ini.

"Bagian terbaik dari musik ini sebenarnya masih abadi hingga sekarang," kata DJ Inggris Bill Brewster (DJ History). "Produksinya dilakukan dengan standard tinggi. Ada nuansa musik soul, dilengkapi dengan derap drum, ritme latin, vokal penyanyi yang luar biasa, dan lain sebagainya."



"Hampir semua perintilan terkait musik elektronik yang banyak anak muda nikmati sekarang, muncul karna disko," kata Brewster.

"Disko adalah musik pertama yang secara spesifik didesain agar cocok diputar di sound system diskotek. Musik ini diciptakan untuk memberikan kebahagian, perayaan bagi mereka yang ingin tetap muda, dan perayaan untuk seksualitas Anda. Ketika Anda mendengar musik ini, pasti lantai dansa langsung terlintas di pikiran."

Salah satu musisi Disko modern yang terkenal adalah kuartet Horse Meat Disco, yang berbasis di London. Selain main di berbagai klub di London, Horse Meat Disco muncul reguler di stasiun radio Rinse FM, dan menelurkan single perdana Waiting for You to Call.

Pendirinya adalah James Hillard, yang besar di Somerset, yang menyebut diperkenalkan dengan musik Disko oleh mendiang ayahnya. Ketika Hillard menempuh studi di London, dia pun mengeksplorasi berbagai diskotek kota itu, dan mulai membangun identitas musiknya sendiri.

"Saat di kuliah itulah aku baru sadar bahwa aku gay. Dan disko adalah musik yang paling tepat mewakili budaya gay yang aku sukai," kata Hillard. "Ketika bergabung dengan Horse Meat Disco, grup musik ini merayakan apa yang aku suka. Dan situasi ini membuat kami bisa menghimpun penggemar yang beragam. Kami menyebut penampilan kami sebagai pesta gay untuk semua kalangan."



"Di dunia di mana musik dansa sebagian besar dibuat oleh komputer, tanpa musisi live, energi yang dimunculkan disko terasa seperti angin segar."

Anda bisa membaca versi asli artikel ini dalam Bahasa Inggris berjudul Why disco should be taken seriously di BBC Culture.

Sumber: BBC Indonesia
Editor: Udin