Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Krisis Moneter 1998

Saat Indonesia Jadi Pasien Malpraktik IMF
Oleh : Redaksi
Jum\'at | 18-05-2018 | 13:28 WIB
tanda-tangani-LoI.jpg Honda-Batam
Gestur Michel Camdessus saat Presiden Soeharto menandatangani letter of intent dikritik karena menunjukkan sikap arogansi terhadap Indonesia yang memang berada dalam posisi lemah (Sumber foto: CNN Indonesia)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Kediaman Presiden Soeharto di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat, terlihat ramai oleh pejabat dan wartawan yang menunggu tamu penting pada Kamis, 15 Januari 1998. Tak berselang lama, sosok yang ditunggu akhirnya hadir, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) Michel Camdessus.

Didampingi Penasihat Ekonomi Widjojo Nitisastro dan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, Presiden Soeharto menyambut hangat Camdessus dengan jabat tangan di pintu depan kediaman. Para pejabat itu lalu menuju sofa ruang tamu, untuk sementara duduk, mengobrol, dan menuai tawa, sembari menunggu momentum utama disiapkan.

Pertemuan Camdessus dan Soeharto memang bukan hanya ajang silaturahmi atau berbasa-basi. Keduanya bertemu untuk menandatangani surat kesediaan (letter of intent/LoI) paket bantuan selama 5 tahun senilai US$43 miliar dari IMF untuk Indonesia. Seketika itu juga, Indonesia menjadi 'pasien' IMF demi pulih dari krisis ekonomi.



Dalam video berjudul "Jakarta: International Monetary Fund Rescue Package" yang diterbitkan AP Archive, Camdessus terlihat menyilangkan tangan sembari menatap Presiden Soeharto yang membungkuk untuk menggoreskan tanda tangan pada beberapa lembar dokumen perjanjian.

Video berdurasi hampir tiga menit itu juga menunjukkan posisi tangan Camdessus masih dalam posisi bersedekap ketika Soeharto membacakan sambutan.

"Melalui kerja sama ini, kami akan melaksanakan reformasi di berbagai bidang, ekonomi, moneter, termasuk perbankan," demikian penggalan pidato Presiden Soeharto saat itu.



Kini giliran Camdessus berpidato, "Kami akan mendorong ekonomi Indonesia ke jalur yang solid untuk pembangunan berkelanjutan. Ini merupakan panggilan untuk kita semua agar siap mulai bekerja dengan sekuat tenaga," ungkapnya.

Momentum itu menuai banyak komentar, tak hanya masyarakat Indonesia, tetapi juga pimpinan dunia. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad bahkan memprotes gestur Camdessus karena menunjukkan sikap arogansi terhadap Indonesia yang memang berada dalam posisi lemah.

Tak dipungkiri, Indonesia memang tengah 'cidera'. Betapa tidak? Keruntuhan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akibat efek domino rontoknya Baht Thailand sejak Juli 1997 menimbulkan kepanikan.

Selama bertahun-tahun, sistem kurs mengambang terkendali (managed floating) memberikan kepastian pada dunia usaha. Kurs rupiah hanya bergerak pada rentang terbatas, dan persediaan devisa dijamin cukup untuk intervensi otomatis oleh Bank Indonesia (BI).

Namun, gejolak ekonomi di kawasan Asia membuat Indonesia ikut mengubah sistem kurs jadi mengambang penuh (fully floating) pada Agustus 1997. Kurs dibiarkan bergerak murni oleh kekuatan pasar, sehingga membuat pelaku pasar panik, lalu berburu dolar AS demi menyelamatkan aset masing-masing.

Menghadapi gejolak kurs, pemerintah dan BI mengetatkan kendali moneter dan fiskal pada Agustus-September 1997. Khusus moneter, suku bunga SBI dinaikkan dari 11,6 persen menjadi 30 persen. Masalahnya, hal itu justru membuat bank nasional sesak mengelola likuiditas dan terpaksa meminta bantuan likuiditas BI (BLBI) agar tetap bisa beroperasi.



Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) era 1998 Boediono menyebut bank sentral menghadapi dilema. Jika tak memberi bantuan, bank nasional tak akan kuat bernapas dan krisis bisa semakin menyesakkan. Jika memberi bantuan, artinya BI melonggarkan aturan dan gagal menahan permintaan devisa.

"Karena pilihan pertama dianggap mengandung risiko lebih besar, opsi kedua yang dipilih," ungkap Boediono dalam bukunya yang berjudul Ekonomi Indonesia: Dalam Lintasan Sejarah yang terbit 2016 lalu.

Ketika kondisi memburuk, Oktober 1997, pemerintah mengundang IMF untuk menjadi dokter penyembuh krisis. Saat itu, Indonesia didiagnosis mengalami moneter berskala sedang. Terapi yang diperlukan antara lain, mengetatkan kebijakan fiskal dan moneter serta menetapkan batas maksimal pertumbuhan uang primer.

Selain itu, membenahi sektor perbankan dengan menutup 16 bank sakit, serta menjalankan reformasi struktural dengan mengendalikan likuiditas dan menyehatkan sejumlah bank yang berpotensi hidup sehat. Namun, harapan seringkali tak sesuai kenyataan. Sejumlah program gagal mencapai sasaran.

Mantan Menteri Keuangan itu menilai kegagalan disebabkan beberapa faktor. Antara lain, informasi mengenai kondisi perbankan tidak lengkap dan akurat, terutama terkait utang luar negeri swasta.

"Tidak ada sistem penjaminan penuh atas simpanan di bank saat bank ditutup. Pelaksanaan di lapangan juga tidak konsisten, sehingga mengurangi kredibilitas program," papar Boediono.

Ia menyebutkan biaya langsung yang ditanggung pemerintah dalam bentuk surat utang mencapai Rp620,9 triliun. Terdiri dari, biaya BLBI Rp144,5 triliun, biaya rekapitulasi dan lain-lain yang diinjeksikan kepada bank Rp476,4 triliun (Rp188,2 triliun kepada bank swasta dan Rp288,2 triliun kepada bank BUMN).

Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2006, jumlah yang bisa dikembalikan oleh BPPN adalah Rp188 triliun.

Ekonom PT Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih menilai obat yang diberikan IMF ternyata sangat pahit untuk ditelan ekonomi Indonesia.

Dalam kebijakan BLBI, banyak pihak yang memanfaatkan situasi dengan memasukkan aset-aset tidak berharga dalam daftar aset untuk mendapat dana penjaminan. Hal itu terjadi karena situasi sedang panik dan tak ada kontrol dari lembaga terkait.

Senada dengan ekonom lain, Lana berpendapat usulan IMF untuk melikuidasi 16 bank nasional adalah kesalahan paling besar yang menimbulkan efek psikologis sangat buruk bagi sektor moneter.

"Dulu kita itu menganggap obat IMF baik, tapi ternyata salah dokter. Mereka pikir likuidasi 16 bank yang lain akan sehat, ternyata salah," katanya.

Menurut Lana, IMF seharusnya memberi nasihat kebijakan ekonomi disertai rambu-rambu dan efek samping yang jelas dan terukur, sehingga pemerintah tahu risiko yang akan dialami ke depan.

"Seharusnya, tanggung jawab itu ada di IMF karena dia sudah menjadi dokter. Tidak cuma memberi obat, tapi juga memberitahu efek sampingnya seperti apa," tegas Lana.



Mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli menilai Indonesia merupakan satu-satunya negara yang menerima bantuan sekaligus nasihat IMF. Ironisnya, Indonesia justru menjadi negara yang paling terpuruk dalam menghadapi krisis moneter 20 tahun silam.

Keputusan menerima uluran tangan IMF merupakan kesalahan terbesar rezim Orde Baru. Pasalnya, IMF menyarankan berbagai program kebijakan yang tak masuk akal dan malah membuat kondisi ekonomi nasional justru semakin terpuruk.

"IMF bikin blunder karena menawarkan paket bantuan dengan syarat yang banyak sekali, susah dipenuhi, mengada-ngada, pemerintah terpaksa manut," tuturnya.

Kebijakan likuidasi 16 bank yang dianggap sakit justru menihilkan kepercayaan masyarakat, sehingga menarik seluruh dana mereka dalam bentuk tunai untuk dialihkan ke luar negeri.

Alhasil, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS justru semakin longsor. Tak hanya itu, BLBI juga menjadi pangkal 'perampokan' uang negara oleh para perusahaan keuangan.

Selain itu, kenaikan suku bunga turut memperparah situasi ekonomi. Bank-bank swasta banyak dimiliki oleh grup konglomerasi dan sebagian besar dana kredit disalurkan untuk entitas bisnis grup itu sendiri. Alhasil, kredit bank macet.

"IMF teorinya textbook (teks buku). Menurut mereka, kalau orang tak percaya mata uang, tingkat bunga naik saja. Mereka pikir orang tak akan alihkan dana, padahal salah besar," paparnya.

Dalam perkembangannya, banyak pihak menduga IMF sengaja memberi resep yang keliru untuk membuat situasi politik memanas. Terlebih, Presiden Amerika Serikat saat itu Bill Clinton disebut-sebut tak lagi menyukai kepemimpinan Orde Baru.

"Mungkin ini motif untuk menjatuhkan presiden atau motif ekonomi, tapi sulit untuk dideteksi," katanya.

Terlepas dari isu intervensi IMF dan pemerintah AS dalam pergolakan ekonomi Indonesia, rezim yang berjalan lebih dari tiga dekade itu pun akhirnya tumbang.

Sumber: CNN Indenesia
Editor: Udin