Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menangkal Hoax di Media Sosial
Oleh : Redaksi
Senin | 26-03-2018 | 17:49 WIB
hoax-netz.jpg Honda-Batam
Ilustrasi hoax di media sosial. (Foto: Ist)

Oleh Steph Tupeng Taga

AKHIR-AKHIR ini kita banyak dikejutkan dengan pemberitaan di media sosial mengenai maraknya penyerangan pemuka agama. Pemberitaan ini dimulai dengan isu PKI yang sejak dulu yang dinaikan oleh pihak pihak tertentu dengan tujuan untuk menimbulkan keresahan masyarakat.

 

Kali ini, isu Kebangkitan PKI dikaitkan dengan penyerangan tokoh agama yang belakangan terjadi. Faktanya, penyerangan tokoh agama tersebut tidak berhubungan mengingat tidak adanya keterkaitan antar pelaku.

Dengan seiring perkembangan teknologi yang tidak bisa kita hindari, banyak media sosial yang dapat dimanfaatkan untuk berjejaring dan mencari informasi seperti Facebook, Twitter, Instagram dan lainnya. Kehadiran media sosial tersebut pada dasarnya memudahkan individu untuk mendapatkan informasi dengan mudah melalui media sosial, namun kita tidak dapat memastikan informasi tersebut adalah fakta atau sebuah kebohongan belaka (hoax) sebelum melakukan klarifikasi.

Seperti kejadian penyerangan ulama, banyak di media sosial yang justru menyebarkan hoax tentang maraknya kejadian penyerangan ulama yang dikaitkan dengan isu kebangkitan PKI yang merupakan organisasi yang sudah terlarang di Indonesia. Kepolisian sendiri mengklarifikasi dari 45 pemberitaan hanya 3 yang benar tarjadi. Dengan klarifikasi ini kita dapat melihat tajamnya media sosial.

Sebelumnya, di media sosial, muncul isu tentang meninggalnya seorang muazin di kabupaten Majalengka Jawa Barat. Polres Majalengka mengklarifikasi terkait kejadian ini merupakan berita hoax. Klarifikasi ini dibenarkan karena pihak keluarga korban telah melaporkan kejadian ini.

Selain kejadian tersebut ada beberapa kejadian lainnya seperti surat ancaman untuk penyerangan ulama di di Depok, Jawa Barat. Surat ini hanya dibuat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk membuat masyarakat resah ditambah dengan maraknya kejadian penyerangan ulama yang sebenarnya tidak terjadi tetapi di dunia maya ada oknum-oknum yang melebih- lebihkan kejadian dengan alasan PKI telah bangkit.

Dengan adanya kejadian penangkapan penyebar hoax dan ujaran kebencian yang bernama “The Family MCA” oleh pihak kepolisian pada Februari 2018 lalu, sebenarnya telah menandakan adanya oknum-oknum yang dengan sengaja menyebarkan berita hoax dan ujaran kebencian dengan tujuan menciptakan kebingungan, hasutan, provokasi, dan saling fitnah di masyarakat.

Bahaya Hoax

Hoax atau informasi palsu pada dasarnya merupakan usaha untuk menipu atau mengakali pembaca atau pendengar agar mempercayai apa yang di informasikan. Informasi hoax ini sangat berpotensi menjadi fitnah bahkan dapat mengadu domba masyarakat lus sehingga timbul perpecahan antar masyarakat.

Seperti yang terjadi di Srilangka pada pada 8 Maret 2018, hoax telah memicu bentrok antara penganut Islam dan penganut Budha di negera itu hingga menelan korban jiwa. Bahkan Presiden Srilanka Maithripala Sirisena menetapkan keadaan darurat selama tujuh hari sejak Selasa untuk menghentikan dan mencegah kekerasan menyebar ke wilayah lain.

Kita berharap di Indonesia tidak terjadi hal serupa, mengingat majemuknya Indonesia dengan berbagai latar belakangnya. Dengan maraknya penyebaran hoax belakangan ini, kita harusnya menyadari bahaya yang akan ditimbulkan apabila hoax ini dibiarkankan. Kita harus cerdas dalam menelan informasi terutama informasi yang kita peroleh dari media yang belum jelas sumbernya.

Sebagai pemngguna media sosial ada baiknya kita bijak dalam bertindak, khususnya saat membagikan sebuah informasi di media sosial. Apabila kita belum mengetahui informasi yang kita bagikan benar terjadi atau tidak. Lebih baik di urungkan sampai kita mengetahui informasi tersebut secara benar.

Apabila kita membagikan informasi yang tidak benar, secara tidak langsung kita dapat dikategorikan sebagai penyebar hoax. Indonesia sudah mengantisipasi penyebaran hoax melalui UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang di dalamnya mengatur ancaman hukuman yang tegas atas penyebaran berita bohong yang di sebarkan di media elektronik. Hukumannya berupa pidana selama 6 tahun dan atau denda Rp 1 Miliar rupiah.

Media sosial ini banyak memiliki dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif nya selain kita dapat berinteraksi tanpa mengenal jarak dan waktu, masyarakat juga dapat mengetahui banyak informasi secara cepat. Namun, kita tidak mengetahui apakah informasi tersebut benar terjadi atau sebuah kebohongan belaka.

Hendaknya kita menyaring informasi yang kita terima terutama di media sosial. Kita harus melakukan pengecekan silang apakah informasi tersebut benar benar terjadi. Dengan adanya beberapa langkah tersebut, maka diharapkan peredaran hoax dapat ditekan secara signifikan sehingga dapat memelihata persatuan dan keharmonisan di masyarakat.*

Penulis adalah Mahasiswa Universitas Flores