Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Memproteksi Kebutuhan Listrik Rakyat Batam
Oleh : Redaksi
Senin | 02-01-2012 | 11:23 WIB

Oleh: Irwansyah, SE*

TULISAN ini untuk menanggapi opini Dirut PLN Batam, Sriyono D Siswono, yang berjudul Merangkai Kelistrikan Kepulauan Riau, yang terbit di Batam Pos, 25 Desember 2011. Dalam tulisannya, Dirut PLN Batam menyebut Komisi III DPRD Batam menolak mentah-mentah rencana pembangunan transmisi 150 kV Batam-Bintan.

 

Saya ingin menyampaikan bahwa Komisi III DPRD Batam belum menolak rencana itu. Dalam rapat dengar pendapat tanggal 22 Desember 2011 lalu, Komisi III DPRD Batam baru mempertanyakan rencana itu, karena membaca berita tentang penandatanganan nota kesepakatan antara PT PLN Batam dan PT PLN (Persero) Wilayah Riau dan Kepulauan Riau (WRKR) di Bintan.

Sebelum lebih jauh berbicara tentang interkoneksi Batam-Bintan, pertama mari kita tengok lebih dahulu sejarah dan legalitas PT PLN Batam. Berdasarkan keterangan para direksi PLN Batam, PLN Batam ini didirikan untuk melayani wilayah kerja Otorita Batam. Itu sebabnya, kawasan Belakang Padang sampai sekarang tidak dialiri listrik dari PLN Batam, tapi dari PLN Tanjungpinang (Persero). Juga ada jargon, PLN Batam dari Batam, oleh Batam dan untuk Batam.

Yang kedua, persoalan tarif listrik. Di Indonesia hanya ada dua kota yang menggunakan tarif listrik regional, yakni Batam dan Tarakan. Artinya, seluruh biaya produksi untuk menghasilkan setiap KWH, itu dibayar warga Batam. Baik itu yang golongan rumah tangga, maupun industri. Dengan membayar tarif regional, selama ini warga Batam sama sekali belum pernah menikmati subsidi listrik yang besarnya Rp90 triliun lebih per tahun. Ketika tiba-tiba ada kebijakan interkoneksi, maka Komisi III DPRD Batam mempertanyakan rencana itu.

Kenapa? Dari sisi kehandalan, PLN Batam belum handal. Masih ada pemadaman bergilir setiap kali ada pemeliharaan, belum lagi jika hujan atau cuaca buruk. Sementara jika kembali ke sejarah, pertumbuhan PLN Batam itu ditopang oleh warga Batam. Warga Batamlah yang memberi kontribusi, dengan membayar listrik tarif regional, sehingga PLN Batam menjadi seperti sekarang ini.

Dulu pembangkit PLN Batam menggunakan solar dan MFO, yang sekarang sudah tak banyak digunakan karena biayanya mahal. Sekarang kondisi pembangkit di Batam 95 persen menggunakan gas. Namun, seiring dengan kenaikan harga gas yang terus membumbung, kita mengambil kebijakan diversifikasi energi dengan membangun PLTU Tanjung Kasam 2×55 MW. Dan ini sudah dipresentasikan PLN Batam kepada Komisi III DPRD Batam periode 2004-2009. Bahkan Direktur Perencanaan PLN Batam waktu itu, Ida Bagus Mardawa, mengatakan, PLTU Tanjung Kasam masih bisa diperbesar untuk menghasilkan 2×55 MW lagi.

PLN Batam kini mampu menghasilkan daya sebesar 304 MW. Sedangkan beban puncaknya hanya 264 MW. Dengan akan beroperasinya PLTU Tanjungkasam, maka daya yang dihasilkan akan bertambah, dan biaya produksi akan lebih murah karena bahan bakarnya batu bara.

Dengan begitu, tarif listrik Batam akan tetap dan tidak naik lagi. Bahkan bisa jadi lebih murah. Apalagi kalau PLTU Tanjung Kasam membangun lagi 2 x55 MW atau berarti 4 x 55 MW, sehingga pasokan listrik Batam akan aman. Di sisi lain, kita tak bisa lagi berharap banyak pada pembangkit berbahan bakar gas. Trennya, harga gas naik terus. Dan tata niaganya tak bisa dikontrol pemerintah karena harganya business to business. PLN Batam harus menyadari hal ini, karena mereka pernah kesulitan mendapatkan tarif gas yang murah kepada PT PGN, hingga saat ini.

Membeli gas juga tak gampang, susah. Dalam bisnis gas, ada istilah firm dan interruptible. Firm ini untuk pembelian gas dengan pasokan tetap, sedangkan interruptible ini yang berubah-ubah. Pemerintah Singapura mendapatkan yang firm, sedangkan PLN Batam sebagian besar masih interruptible. Belum lagi yang ToP (take or pay). Ini istilah pembelian gas yang harus dibayar meski gasnya dipakai atau tidak.

Saat ini PLN Batam masih membangun PLTG di Tanjunguncang dan Panaran. Ke depan, ini bisa jadi beban. Mengapa PLN Batam tidak memperbanyak pembangkit PLTU dengan bahan bakar batu bara? Yang kini banyak digunakan di banyak tempat dan biaya produksinya lebih murah.

Sementara interkoneksi memerlukan biaya besar seperti pembangunan jaringan bawah laut. Meski yang bangun adalah PLN (Persero), itu uang rakyat juga yang digunakan. Kalau memang mau mengaliri listrik di Bintan, mengapa tidak membangun pembangkit di Bintan saja? Apakah karena di sana tidak banyak industri? Harusnya pemerintah membangun pembangkit di Bintan yang kebutuhannya tidak besar, cuma 2 x 15 MW. Ini pertanyaan besar.

Kalau ingin merangkai pulau, biaya membangun jaringan bawah laut pasti besar. Bagaimana mengembalikan modal, pasti akan berpengaruh pada tarif juga. Belum lagi pada kehandalan; seandainya ada gangguan di interkoneksi itu, Batam pasti akan padam. Karena itu, sebelum rencana interkoneksi dilaksanakan, kami meminta PLN Batam menjamin tak ada pemadaman, pasokan listrik Batam harus stabil. Kemudian, bagaimana dengan tarif listrik di Batam. Berapa harga jual ke Bintan, berapa harga jual di Batam?

Komisi III bersikap seperti ini karena ingin memproteksi kepentingan rakyat Batam. Dalam rapat dengar pendapat dengan PLN beberapa waktu lalu, PLN Batam akan menjual listrik Rp1.300 per KWH ke Bintan. Sedangkan ke masyarakat miskin yang tinggal di rumah-rumah liar, PLN Batam menjual listrik Rp1.530 per KWH.

Secara prinsip, kalau memang PLN Batam memiliki banyak kelebihan daya, silakan dijual ke luar. Tapi untuk Batam, listriknya harus handal, pasokan stabil, dan harganya lebih murah. Atau dengan kata lain, seandainya PLN Batam tetap bersikeras memaksakan interkoneksi Batam-Bintan, konsekuensinya Batam harus juga mendapatkan tarif subsidi dari pemerintah pusat sama seperti Bintan, supaya ada azas keadilan.

 

*Penulis adalah Anggota Komisi III DPRD Kota Batam periode 2009-2014