Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Cina dan India Bersengketa Soal Sungai, Banjir Dahsyat Pun Menerjang
Oleh : Redaksi
Rabu | 27-12-2017 | 09:17 WIB
mengungsi.jpg Honda-Batam
Penduduk mengungsi akibat banjir di negara bagian Assam (Sumber foto: BBC)

BATAMTODAY.COM, India - Perseteruan antara Cina dan India tak cukup sampai di masalah perbatasan, namun juga meluas ke persoalan sungai yang melintasi kedua negara tersebut. Cina dituding menyimpan sendiri data penting yang berisi tentang debit air sungai.

Para penduduk desa yang sudah berusia lanjut, menunjuk ke arah sungai yang dulunya merupakan perkampungan yang mereka huni sebelum banjir memaksa mereka mengungsi lagi dan lagi.

"Sungai ini sudah membuat saya mengungsi lima kali," kata Bimati Hajarika, seraya menunjuk ke sungai Brahmaputra di negara bagian Assam, India timur laut

"Empat desa terakhir yang saya tinggali sudah terendam," tambah perempuan berusia 60 tahun itu.

Setelah tergusur dari empat rumah berbeda akibat luapan banjir, kini ia tinggal di sebuah gubuk sementara yang didirikan di atas batang-batang bambu. Namun, ia sangat cemas jika suatu waktu rumahnya kembali ditelan air.

"Saya tidak tahu ke mana akan pergi jika sungai itu meluap lagi."

Kekhawatiran akan datangnya banjir meningkat di negara bagian Assam, sejak negara yang berada di hulu sungai, Cina, tak lagi membagikan data tentang sungai yang penting untuk mengeluarkan berbagai peringatan dini.

Selain terkait dengan aliran, distribusi dan kualitas air, data tersebut juga berisi informasi tentang debit air sungai yang memperingatkan negara-negara hilir jika terjadi banjir.

"Kami tahu tentang keputusan Cina ini dari berbagai kabar di media dan kami sangat khawatir sejak saat itu," kata Sanjiv Doley, salah seorang penduduk desa Dhansirimukh.

Hingga kini, mereka selalu bersiaga menghadapi banjir, katanya, termasuk mengevakuasi desa. "Bayangkan apa yang akan terjadi sekarang, jika kami tidak mengetahui informasi apapun dari Cina," katanya. "Tak satu pun desa di sini akan aman."

Sungai Brahmaputra, salah satu sungai terbesar di Asia, berhulu di wilayah otonomi Tibet di Cina, lalu mengalir ke India dan kemudian memasuki Bangladesh sebelum mengosongkan Teluk Benggala.

Sungai tersebut membanjiri sebagian besar negara bagian Assam setiap tahun, mengakibatkan puluhan ribu orang mengungsi. Tahun ini saja hampir 300 orang meninggal akibat banjir di sana.

Sebuah kesepakatan bilateral antara India dan Cina mewajibkan negara yang berada di bagian hulu - Cina - untuk membagikan data hidrologi sungai selama musim hujan, antara 15 Mei dan 15 Oktober.

Namun otoritas India mengatakan pada bulan Agustus, mereka tidak menerima data untuk tahun ini.

Perselisihan mengenai data sungai ini muncul baru-baru ini ketika India dan Cina bersengketa terkait dataran tinggi Himalaya. Potensi konflik perbatasan reda setelah lebih dari dua bulan kedua negara dilanda ketegangan.

Pihak berwenang Cina mengatakan pada bulan September, bahwa mereka tidak bisa membagikan data saat itu, karena stasiun hidrologi mereka, yang mencatat data, sedang diperbaiki. Itu adalah pernyataan terakhir yang mereka keluarkan mengenai masalah ini.

Namun BBC mendapati Cina masih membagikan data tentang sungai tersebut dengan Bangladesh, negara yang berada di bagian hilir terendah di lembah Brahmaputra.

Anisul Islam Mohammad, menteri sumber daya air Bangladesh, mengatakan kepada BBC pada bulan September bahwa negaranya menerima data hidrologi dari Cina.

Namun pihak berwenang Cina tidak menanggapi permintaan BBC saat ditanyai komentar tentang data sungai yang terbaru. Masih belum jelas apakah dan kapan mereka akan kembali membagikan data kepada India.

Warga setempat mengatakan kepada BBC bahwa banjir sudah sangat memporak-porandakan bahkan pada saat Cina masih membagikan informasi. Mereka khawatir keadaan akan jauh lebih buruk jika otoritas India tidak memiliki akses terhadap data yang bisa membantu mereka bersiap menghadapi banjir.

"Cina tidak pernah terbuka tentang apa yang dilakukan di hulu sungai Brahmaputra," kata Ashok Singhal, anggota dewan legislatif Assam, yang juga memimpin kampanye "Selamatkan Brahmaputra".

"Saya sudah berkali-kali meminta izin untuk mengunjungi hulu sungai di Tibet, tapi saya belum diijinkan datang (oleh Cina)."

Pemerintah Cina membangun beberapa bendungan untuk pembangkit listrik tenaga air di Brahmaputra, yang di Tibet dikenal sebagai Yarlung Zangbo.

Namun Cina bersikeras bahwa bendungan itu tidak mengubah atau mengalihkan air, dan tidak akan melakukan apa pun yang bertentangan dengan kepentingan negara-negara hilir, seperti India atau Bangladesh.

Namun, pihak berwenang di Assam mengatakan bahwa mereka melihat tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Banjir, menurut mereka, menjadi lebih sering terjadi sejak bulan Mei ketika Cina berhenti memberikan data sungai.

"Dulu kami mengalami satu atau dua kali banjir selama musim hujan, tapi kali ini kami bahkan bisa dilanda banjir tiga hingga empat kali tanpa curah hujan di bagian hulu sungai," Himanta Sarma, menteri keuangan dan kesehatan di negara bagian Assam, mengatakan kepada BBC

"Semua ini tampaknya dilatar belakangi konflik Doklam," tambahnya. Ia merujuk pada kebuntuan diplomasi tentang perbatasan antara Cina dan India awal tahun ini.

Para ilmuwan di Assam mengatakan India tidak berbuat banyak untuk mengatasi masalah tersebut - seperti mendirikan stasiun hidrologi sendiri di wilayah perbatasan internasional (antara Cina dan India) untuk memantau sungai tersebut.

"Tidak ada diskusi antara ilmuwan, politisi dan birokrat," kata Profesor BP Bohara, seorang ahli geologi di Universitas Guwahati.

India juga dituduh mengabaikan kekhawatiran mereka oleh negara-negara yang berada di hilir, seperti Bangladesh.

Sumber: BBC
Editor: Udin