Robohnya Kenangan Warga Kampung Harapan Swadaya
Oleh : Romi Candra
Kamis | 02-03-2017 | 08:00 WIB
korbangusuranbengkongharapan.jpg

Warga Kampung Harapan Swadaya Bengkong Batam saat rumah mereka dirobohkan. (Foto: Romi Candra)

GARPU baja beko exavator itu menggaruk tembok-tembok rumah, seperti kerupuk. Rapuh, sekali hentak robohlah rumah Siti. Sepuluh tahun kenangan menjalani hidup dalam bangunan itu pun, sirna, rata dengan tanah di Kampung Harapan Swadaya Bengkong, Batam. Bagaimana potret kisah sedih warga korban eksekusi itu? Berikut liputan wartawan BATAMTODAY.COM, Romi Candra.

"Di mana rasa kemanusiaan kalian?" Teriakan Siti itu, tak berarti apa-apa di antara raungan alat berat yang terus merangsek dan menggaruk rumah-rumah warga Kampung Harapan Swadaya itu.

Rabu, 1 Maret 2017, menjadi mimpi kelam bagi Siti dan semua warga yang tinggal di rumah liar (ruli) Kampung Harapan Swadaya, Kecamatan Bengkong, itu. Di hari itulah, terakhir kali mereka hanya bisa menatap tembok-tembok rumah yang mereka bangun dari cucuran keringat dan air mata.

Siang itu, langit seolah ikut menabur aura kesedihan bersama Siti. Mendung dan temaram. Tapi langit tak mampu menahan laju gerak maju empat elat berat yang "sangar" dan beringas itu. Aksi ini adalah eksekusi jilid 2 lahan milik PT Kencana Raya Maju Jaya. Kali ini, Siti dan warga Kampung Harapan Swadaya lainnya tak dapat berbuat apa-apa.

Tidak seperti waktu penggusuran jilid 1 dulu, terjadi perlawanan sengit dari warga, yang berhasil memukul mundur tim eksekusi. Kali ini, mereka hanya bisa pasrah, sepasrah-pasrahnya. Sambil membiarkan butiran kristal terus menetes di antara mata Siti dan warga lainnya.

"Kami tahu kami kalah," kata Siti lirih. Tapi, lanjutnya, pengembang atau pemerintah kasihlah kami uang paku atau sagu hati. Paling tidak, untuk bisa membantu kos sementara waktu. Dulu ibu saya beli lahan di sini Rp30 juta, ditambah uang bangunnya, habislah Rp70 juta.

Rasa kesal, tidak dapat mereka luapkan sepenuhnya. "Di mana rasa kemanusiaan kalian? Mana solusi untuk kami? Jangan seenaknya saja," teriak seorang ibu.

Tapi, teriakan itu hilang bersama hembusan angin kencang siang itu. Tak berarti apa-apa. Apalagi, sampai menghentikan alat-alat berat yang terus merangsek. Ibu itu bersama warga lain adalah korban. Korban dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan memanfaatkan konflik lahan untuk mencari keuntungan.

Saat pertama kali masalah lahan mencuat di lokasi ini, rumah warga hanya berjumlah sekitar 8 hingga 10 unit saja. Namun dengan sekejab, lahan kosong itu berubah menjadi kawasan perumahan. Entah siapa yang mengizinkannya.

Sejatinya, warga yang tinggal di kawasan itu menjadi korban yang kedua kalinya. Pertama dari orang yang tidak  bertanggung jawab yang mengizinkan membangun di lahan konflik. Kini, kembali mereka harus menyaksikan rumah mereka diekskusi setelah keluar keputusan Mahkamah Agung (MA).

Dan keputusan MA yang sudah inkracht alias telah berkekuatan hukum tetap itu, harus dilaksanakan. Ada atau tidaknya perlawanan, eksekusi harus dilakukan. Meskipun, akan berujung pada bentrok antara masyarakat dengan petugas. Untungnya, warga memilih taat hukum.

Sebelumnya, Kapolresta Barelang, Komisaris Besar Helmy Santika sudah mengingatkan warga agar jangan menambah masalah hukum lainnya.

"Jika terjadi perlawanan hingga membakar rumah, tentu akan menambah persoalan hukum lainnnya. Masyarakat akan semakin merugi," ungkapnya, Selasa (28/2/2017) kemarin.

Kini, masyarakat hanya bisa pasrah. Harapan mereka, hanya tertuju pada perhatian pemerintah. Karena upaya damai dengan pihak perusahaan terlambat sudah.

Dan rumah-rumah warga itu runtuh sudah, bersama dengan kenangan-kenangan mereka. Bersama dengan harapan-harapan mereka. Yang tersisa kini hanyalah, jalan panjang tak pasti membentang. Jalan yang kini sudah mereka tapaki bersama dengan doa-doa... 

Editor: Dardani