Program Sejuta Rumah Pemerintah Pusat, Tak Berlaku di Batam
Oleh : Romi Chandra
Senin | 15-02-2016 | 19:18 WIB
IMG_20160215_171155.jpg
Sekjen Apensi Kepri, sekaligus Anggota Komisi III DPRD Kepri, Sahmadin Sinaga. (Foto : Romi Chandra)

BATAMTODAY.COM, Batam - Program Pemerintah Pusat yang megagendakan mendirikan sejuta rumah untuk masyarakat kalangan menengah ke bawah, dan diberi nama Rumah Sederhana Sehat (RSS), sepertinya tidak berlaku lagi di Kepri dan Batam khususnya.

Pasalnya, sulitnya mencari lahan dan harganya yang mahal, membuat sulit untuk direalisasikan. Bahkan, banyaknya pungutan liar dan pembayaran yang harus dilakukan pengembang, membuat mereka harus menaikkan harga rumah, sehingga tidak bisa lagi dijangkau masyarakat kecil.

Sekretaris Jendral (Sekjen) Asosiasi Pengembang Perumahan Seluruh Indonesia (Apensi), Sahmadin Sinaga mengatakan, para pengembang yang tergabung dalam organisasinya sudah 'angkat tangan' untuk bisa melanjutkan program Pemerintah Pusat tersebut. Mereka diminta membantu merealisasikan, namun dari pemerintah dan instansi terkait sendiri, tidak memberi dukungan sama sekali.

"Kita tidak bisa lagi menjalankan program pemerintah untuk membangun rumah bagi masyarakat menengah kebawah di Batam ini. Harga tanah tidak ada yang murah. Sementara pemerintah ingin rumah liar (ruli) berkurang, tapi mereka akan pindah kemana?" ujar Sahmadin, yang juga anggota Komisi III DPRD Kepri, Senin (15/2/2016) sore.

Menurutnya, para pengusaha di Batam sangat mendukung program Pemerintah Pusat. Hanya saja, dukungan tersebut tidak diiringi dengan dukungan dari Pemerintah Kota dan Badan Pengusahaan (BP) selaku pemilik tanah, dan tidak pernah ada keterbukaan.

Menurut Sahmadin, ada beberapa permasalahan yang saat ini dihadapi para pengembang, seperti masalah pengurusan legalitas tanah. Laporan pengembang yang tergabung dalam Apensi maupun REI, terlalu banyak dibebankan biaya, sehinga mendapatkan satu rumah, mahal. Saat pengurusan di BP Batam, mereka dibebankan biaya, dan di Pemko Batam juga.

"Biaya yang dikeluarkan pegembang terlalu banyak. Untuk pembayaran pajak saja, pengembang harus mengeluarkan biaya sekitar 40 persen dari harga rumah yang akan dibangun. Balum lagi pungutan ini itu dan sebagainya. Akibatnya, pengembang memberatkan pada konsumen dengan harga rumah yang mahal," jelas Sahmadin.

Selanjutnya masalah penyelesaian izin juga lambat dan lama, sehingga membuat pengembang tidak bisa langsung mengembalikan keuangan yang sudah banyak dikeluarkan. "Ini membuat pengusaha merugi. Semakin cepat izin yang keluarkan, tentu perputaran bisnis bisa lebih cepat. Namun selama ini setiap pengurusan yang dilakukan, terkesan lambat dan lama," lanjutnya.

Begitu juga untuk pengurusan sertifikat rumah. Selama ini pemerintah menyamakan harga pengurusan sertifikat, baik rumah kecil, menengah maupun besar, sehingga bagi pengembang kecil sulit untuk menyanggupi biayanya.

"Kalau Bank, ada memberikan bunga rendah untuk rumah kecil, sesuai dengan penghasilan pemilik rumahnya. Namun dalam pengurusan sertifikat di Pemko maupun BP Batam, disama-ratakan saja, sehingga berimbas pada harga rumah. Sekarang mana ada lagi harga rumah yang dibawah Rp200 juta untuk daerah yang dekat ke arah kota," terangnya lagi.


Editor : Udin