Terindikasi Beri Keterangan Palsu, JPU Ancam Lapor Alex Candra ke Polisi
Oleh : Paskalis Rianghepat
Senin | 28-04-2025 | 20:17 WIB
Sidang-Alex-Chandra1.jpg
Eks Anggota Satres Narkoba Polresta Barelang, Alex Candra Saat Menjadi Saksi Perkara Dugaan Penggelapan BB Sabu di PN Batam, Senin (28/4/2025). (Foto: Paschall RH).

BATAMTODAY.COM, Batam - Sidang lanjutan kasus dugaan penggelapan barang bukti sabu yang melibatkan mantan Kasat Narkoba Polresta Barelang, Kompol Satria Nanda, bersama 9 anggotanya serta 2 warga sipil, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Batam, Senin (28/4/2025).

Sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Tiwik didampingi oleh hakim anggota Dauglas Napitupulu dan Andi Bayu ini beragendakan pemeriksaan saksi Alex Candra, yang sebelumnya merupakan anggota Satreskoba Polresta Barelang.

Alex Candra diminta memberikan keterangan terkait dugaan penggelapan barang bukti sabu yang melibatkan 11 terdakwa, termasuk Satria Nanda dan sejumlah anggotanya.

Dalam persidangan ini, Alex Candra menceritakan kronologi mengenai penangkapan terhadap terpidana Efendi, Ade Sahroni, dan Neli Agustin, dalam kasus pengungkapan 35 kilogram sabu pada 16 Juni 2024.

Namun, kesaksian Alex Candra memunculkan ketidakselarasan yang mencolok dengan keterangannya dalam sidang sebelumnya. Di hadapan Majelis Hakim dan jaksa penuntut umum (JPU), Alex menyebutkan bahwa penangkapan terhadap Efendi dan rekannya terjadi pada pukul 00.10 WIB, sedangkan dalam persidangan sebelumnya (Perkara Efendi Cs) ia mengatakan bahwa penangkapan terjadi pada pukul 23.45 WIB.

Selain itu, informasi mengenai siapa yang terlibat dalam penangkapan juga berubah. Sebelumnya, Alex mengaku hanya dirinya, Wan Rahmat Kurniawan, dan Haryanto yang terlibat dalam penangkapan terhadap Efendi, Ade Sharoni dan Neli Agustin. Namun kali ini ia menyebutkan ada 11 personel yang terlibat.

Ketidakselarasan tersebut memicu pertanyaan keras dari JPU Abdullah. "Mana yang benar, saksi? Apakah keterangan Anda dalam perkara Efendi yang hanya melibatkan tiga orang, ataukah yang Anda sebutkan kini dengan 11 anggota?" tanyanya dengan tegas.

Hakim Dauglas Napitupulu pun merespons, mempertanyakan konsistensi keterangan saksi. "Saksi, di persidangan sebelumnya Anda menyatakan hanya ada tiga orang yang melakukan penangkapan, tetapi sekarang Anda mengatakan ada 11 orang. Mana yang benar?" tanya hakim tersebut dengan nada serius.

Alex Candra menegaskan bahwa keterangan yang diberikan hari ini adalah yang benar. Namun, jawaban tersebut semakin memperuncing ketidakpercayaan terhadap kesaksiannya.

Merespons hal itu, JPU Iqram Saputra yang juga Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasipidum) Kejari Batam meminta majelis hakim untuk mencatat bahwa keterangan Alex Candra dalam perkara sebelumnya, terkait Efendi dan lainnya, adalah keterangan palsu.

"Mohon dicatat, Yang Mulia, bahwa keterangan yang disampaikan saksi di perkara Efendi adalah keterangan palsu," ujar Iqram dengan tegas.

Alex Candra membantah tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa dirinya tidak pernah memberikan keterangan dalam persidangan perkara Efendi. "Dalam perkara Efendi, saya tidak pernah diperiksa sebagai saksi. Saya hanya hadir melalui Zoom dan disumpah bersama Wan Rahmat Kurniawan dan Haryanto," ujar Alex.

Di luar persidangan, Iqram Saputra menegaskan bahwa Jaksa Penuntut Umum akan mempertimbangkan langkah hukum lebih lanjut terkait dugaan keterangan palsu yang disampaikan oleh Alex Candra. "Fakta persidangan ini akan kami jadikan rujukan untuk melaporkan kasus keterangan palsu ini kepada penyidik," ujar Iqram.

Menurut Iqram, memberikan keterangan palsu di bawah sumpah merupakan pelanggaran serius dan dapat dijerat dengan Pasal 242 KUHP, yang mengatur tentang pemberian keterangan palsu di persidangan, dengan ancaman hukuman penjara hingga 7 tahun.

"Keterangan palsu di bawah sumpah adalah tindak pidana yang tidak bisa dibiarkan begitu saja," tegasnya.

Hingga berita ini di Publish, Proses Persidangan Masih berlangsung dengan agenda pemeriksaan saksi lainnya.

Dalam surat dakwaan yang dibacakan oleh tim jaksa dari Kejati Kepri dan Kejari Batam, disebutkan kasus ini terjadi dalam rentang waktu 15 Juni hingga 8 September 2024. Terdakwa Satria Nanda diduga bersekongkol dengan 11 terdakwa lainnya untuk menggelapkan sebagian dari barang bukti sabu hasil pengungkapan kasus.

Kasus berawal dari informasi tentang rencana penyelundupan 300 kilogram sabu dari Malaysia yang diterima oleh saksi Rahmadi dari seorang buron bernama Hendriawan. Setelah mengalami beberapa kali penundaan, rencana penyelundupan dikurangi menjadi 100 kilogram.

Terdakwa Satria Nanda kemudian menginstruksikan timnya untuk mengungkap kasus besar dalam waktu dua minggu. Arahan tersebut memicu pertemuan di One Spot Coffee, Batam, guna membahas skenario distribusi dan pengungkapan sabu seberat 100 kilogram. Dalam skenario tersebut, 90 kilogram akan digunakan sebagai barang bukti resmi, sementara 10 kilogram diduga akan disisihkan untuk membayar informan dan kebutuhan operasional.

Rencana ini sempat ditolak oleh Satria karena dinilai berisiko, namun kemudian disetujui dengan strategi tertentu. Barang bukti tersebut akhirnya diolah sedemikian rupa agar sebagian dapat digunakan untuk transaksi di luar proses hukum resmi.

Atas perbuatannya, para terdakwa dijerat dengan Pasal 114 ayat (2) juncto Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Mereka terancam hukuman maksimal pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara paling lama 20 tahun.

Editor: Yudha