Cegah Kekerasan dan Asusila, DPR Minta Pengawasan Pesantren Tidak Berizin Ditingkatkan
Oleh : Irawan
Jum\'at | 07-03-2025 | 08:24 WIB
dikusi_pesantren.jpg
Dialektika Demokrasi bertema 'Mengawal Komitmen Kementerian Agama Dalam Penerapan Kebijakan Pesantren Ramah Anak' di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Kamis (6/3/2025)

BATAMTODAY.COM, Jakarta-Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKB, KH. Maman Imanulhaq mengungkapkan, aksi kekerasan dan tindak asusila yang terjadi di sebagian kecil pesantren, belakangan biasa terjadi di pesantren tidak berizin. Yang mana ustaznya juga karbitan.

Karena itu dengan tumbuhnya banyak pesantren di Indonesia, Kemenag RI perlu menginventarisasi, meng-update, jumlah pesantren di seluruh Indonesia agar lebih mudah dalam hal pengawasannya.

"Banyak dari pesantren yang tumbuh tersebut ustaznya ‘karbitan’ tidak tahu asal dan belajarnya dari mana, keluarganya siapa, berguru kepada siapa, pendidikan agama di mana, dan apakah sudah berizin atau belum? Makanya masyarakat harus hati-hati memilih pesantren untuk anak-anaknya," ujarnya dalam Dialektika Demokrasi bertema 'Mengawal Komitmen Kementerian Agama Dalam Penerapan Kebijakan Pesantren Ramah Anak' di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, Kamis (6/3/2025).

Menurut pengasuh Pesantren Al Mizan, Jatiwangi, Cirebon, Jawa Barat ini, sangat penting Pemerintah mendata ulang. Selain melakukan pengawasan, sekaligus mengakui keberadaan pesantren yang ada sebelum negara ini ada dan telah berkontribusi besar terhadap tegaknya NKRI ini.

"PKB dulu memperjuangkan UU Pesantren No. 18 Tahun 2019 yang berisi tiga point penting; yaitu afirmatif, pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan pesantren. Meski mandiri, kalau diakui dan diberdayakan, maka wajar jika pemerintah membantu para guru agama di pesantren dan madrasah swasta dengan layak.

Sebab, banyak mereka itu yang digaji hanya Rp 200 ribu per bulan. Itu pun jika ada,” katanya prihatin.

Lebih lanjut Kiai Maman mengatakan, jangan sampai yang diperhatikan justru pesantren-pesantren hanya papan nama, tidak memiliki santri, dan karena hanya milik oknum pejabat, mendapatkan Nomor Induk Pesantren (NSP).

"Kata orang Sunda itu mah pesantren jajadian, dia tertulis namanya, terima dana, dan ada di daftar pesantren penerima BOS.Tapi tak punya santri. Untuk itu, payung hukum itu penting agar legal," tandasnya.

Pada kesempatan yang sama anggota Komisi X DPR RI Fraksi PKB lainnya, Habib Syarief Muhammad mengungkapkan, saat ini mulai banyak kalangan elit yang tertarik pada pendidikan pesantren.

Terlebih setelah sekolah-sekolah unggulan hanya mengejar prestasi akademis, elitis, cuek, hedonis, pragmatis, bahkan miskin akhlak dan kurang memiliki rasa cinta tanah air.

"Lihatlah pesantren Lirboyo Kediri, Tambakberas Jombang, Tebuireng, Gontor, Krapyak Yogyakarta, Cipasung Jawa Barat, dan lain-lain, justru dengan santri ribuan bahkan puluhan ribu orang, biaya sekolahnya murah. Sehingga menjadi perhatian peneliti dari Jepang, Amerika, Australia, dan lainnya.

Sehingga kalau terjadi kekerasan dan asusila, itu jumlahnya sangat kecil. Dan itu dilakukan bukan oleh kiai utama, melainkan oknum ustaz," ungkapnya.

Sementara anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PDIP, Selly Andriyana Gantina menilai pentingnya pengawasan dari masyarakat, dan pemerintah terhadap pesantren.

"Perlunya pengawasan terhadap pendirian pondok-pondok pesantren. Khususnya yang kategori rumahan dan tidak berizin itu juga masih luput dari pengawasan Kementerian Agama, baik kanwil maupun kabupaten/kota.

Seperti kasus di kota Bandung, itu harus ada pengawasan yang jelas, kriteria pesantrennya seperti apa, dan pengawasan itu harus keberlanjutan dengan melibatkan ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain," jelasnya.

Selain itu, standar pendidikannya harus mengacu pada UU, misalnya UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2001 tentang Standar Nasional Pendidikan yang mengatur standar keamanan dan kenyamanan pendidikan, termasuk di pesantren.

"Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), yang turunan dari UU PPKS No. 12 tahun 2022 yang mengatur kebijakan sekolah ramah anak. Apakah ini sudah dilaksanakan dengan baik? Maka perlu ada evaluasi," pungkas Selly.

Editor: Surya