Anggota DPR RI Mafirion Kritik Kinerja Menteri Pigai Tak Optimal Tangani Dugaan Pelanggaran HAM Kasus Rempang
Oleh : Irawan
Minggu | 09-02-2025 | 11:04 WIB
natalus_pigai.jpg
Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai (Fotoz: Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai dinilai belum optimal dalam 100 hari kinerja Kabinet Merah Putih. Salah satu indikatornya, kata Anggota Komisi XIII DPR RI Mafirion, adalah tidak ada progres signifikan penanganan dugaan pelanggaran HAM dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) Pulau Rempang, Kota Batam.

"Berbagai PSN dalam lima tahun terakhir memunculkan banyak dugaan pelanggaran HAM, mulai dugaan kekerasan oleh aparat, teror, hingga ancaman fisik. Tetapi sejauh ini belum ada langkah signifikan dari Menteri HAM untuk menangani persoalan tersebut secara serius," kata Mafirion, di Jakarta, Sabtu (8/2/2025).

Dijelaskannya, dalam kurun waktu 2019-2023 ada 101 orang yang luka, 204 orang ditangkap dan 64 orang mengalami korban kekerasan psikologis akibat adanya PSN. Rata-rata korban berasal dari masyarakat yang merasa dirugikan oleh PSN.

"Protes mereka disambut dengan kekerasan fisik dan teror yang melanggar hak asasi mereka untuk berpendapat. Apakah PSN harus dilakukan dengan model seperti itu?!" tanya Politikus PKB itu.

Ironisnya, lanjut Mafirion, dugaan pelanggaran HAM dalam PSN banyak dilakukan oleh oknum aparat. Menurutnya, ada 36 aparat kepolisian, 48 kasus melibatkan anggota TNI dan 30 kasus yang melibatkan pemerintah daerah.

"Harusnya dugaan pelanggaran HAM ini mendapatkan prioritas perhatian dari Kementerian HAM untuk dituntaskan seusia prosedur yang berlaku," katanya.

Ia menyebutkan satu contoh kasus dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Kasus penggusuran paksa warga di pulau tersebut terjadi karena warga menolak digusur paksa untuk meninggalkan tempat pemukimannya.

Penggusuran paksa kepada 7500 warga Pulau Rempang agar berpindah dari tempat pemukimannya ke pulau lain atau tempat lain, menyebakan warga tercabut dari akar kehidupan sosial budaya dan komunitasnya.

"Kasus pelanggaran HAM ini, tidak mendapat perhatian dari Kementerian HAM. Seharusnya Kementerian memberikan perlindungan terhadap masyarakat Rempang," tegasnya.

Berdasarkan ketentuan PBB, penggusuran paksa merupakan pelanggaran HAM berat yang diakui secara internasional karena hak atas perumahan yang layak, makanan, air, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, kebebasan bergerak dan keamanan adalah hak asasi setiap orang.

"Pernahkah kita membayangkan kalau kampung tempat kita tinggal bertahun-tahun secara turun-temurun lalu ada orang datang dan suruh kita pindah. Apa itu bisa diterima secara akal sehat?" katanya.

Seharusnya, kata Mafirion, Kementerian HAM menjadi penengah antara masyarakat dan pihak yang bersiteru. Ia meminta Menteri HAM mengunjungi Pulau Rempang dan bertemu masyarakat untuk melihat secara langsung dan mendengarkan keluh kesah masyarakat.

"Saya minta Pak Menteri kembali pada jatidiri seorang pejuang hak asasi yang mengingatkan pemerintah bahwa pembangunan harus dilaksanakan untuk kesejahteraan rakyat dan bukan di atas penderitaan rakyat," katanya lagi.

Editor: Surya