Edukasi dan Kolaborasi, Kunci Lindungi Perempuan dan Anak dari Kekerasan
Oleh : Redaksi
Sabtu | 28-12-2024 | 12:44 WIB
veronica-tan.jpg
Wamen PPPA, Veronica Tan, dalam seminar nasional yang bertajuk 'Memperkuat Otoritas Negara dalam Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.' (KemenPPPA)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Upaya pemberdayaan dan perlindungan perempuan serta anak kembali ditekankan oleh Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Wamen PPPA), Veronica Tan, dalam seminar nasional yang bertajuk 'Memperkuat Otoritas Negara dalam Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.'

Wamen PPPA menyoroti pentingnya Ruang Bersama Indonesia (RBI), sebuah platform edukasi yang diluncurkan oleh Kemen PPPA pada 22 Desember 2024, sebagai ruang untuk mendorong perempuan berani bersuara melawan kekerasan.

"RBI diharapkan menjadi wadah kebersamaan, gotong royong, dan edukasi untuk perempuan. Kami ingin perempuan lebih berani berkata 'tidak' saat hak mereka dilanggar," ujar Veronica, demikian dikutip laman KemenPPPA, Jumat (27/12/2024).

Selain RBI, Veronica juga menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk memperkuat implementasi regulasi perlindungan perempuan dan anak. Pemerintah telah menetapkan sejumlah payung hukum, seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan Anak, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Namun, menurut Veronica, efektivitas aturan ini bergantung pada kerja sama antara pemerintah, lembaga masyarakat, media, tokoh agama, dan berbagai pihak lainnya.

Dalam acara yang sama, Menteri Agama Nasaruddin Umar menyerukan penghentian praktik Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan (P2GP) atau sunat perempuan, yang sering dilakukan atas nama agama. Nasaruddin menegaskan, tidak ada dalil agama yang mewajibkan sunat perempuan, dan praktik ini justru berpotensi menimbulkan penderitaan.

"Mari kita hentikan praktik yang menyiksa perempuan atas nama agama. Agama tidak pernah mewajibkan hal itu," tegas Nasaruddin.

Pendiri Yayasan Puan Amal Hayati, Sinta Nuriyah Wahid, mengapresiasi diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang melarang sunat perempuan. Namun, ia menyoroti masih adanya tantangan besar, terutama di wilayah pedesaan. Survei yayasan menunjukkan praktik sunat perempuan masih marak dilakukan, dengan 45,8% dilakukan oleh tenaga medis dan 27,7% oleh dukun bayi.

"Kita masih menghadapi hambatan budaya yang kuat. Kerja sama semua pihak diperlukan untuk mengurangi angka P2GP," ujar Sinta.

Melalui edukasi, kolaborasi, dan regulasi yang kuat, pemerintah bersama masyarakat diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan dan anak. RBI menjadi langkah awal untuk membangun kesadaran dan pemberdayaan, serta menghapus praktik-praktik yang merugikan hak asasi manusia.

Editor: Gokli