Catatan Politik Senayan

Penegakan Hukum yang Tidak Melecehkan Rasa Keadilan
Oleh : Redaksi
Rabu | 11-12-2024 | 22:04 WIB
bamsoet_hukum.jpg

Oleh Bambang Soesatyo

KETERTIBAN umum dan tata kelola pemerintahan yang benar akan terwujud, dan juga selalu terjaga, jika masyarakat dan aparatur negara percaya dan hormat kepada institusi penegak hukum.

Sayangnya, derajat kredibilitas institusi penegak hukum akhir-akhir ini tak hanya menjadi sasaran kritik, melainkan sudah menjadi faktor yang menyulut keluh kesah masyarakat. Untuk memulihkan kepercayaan dan kehormatan itu, diyakini bahwa semua institusi penegak hukum paling tahu apa yang harus dilakukan.

Aspirasi masyarakat menghendaki agar ‘sinetron’ penegakan hukum dan pelecehan terhadap rasa keadilan bersama harus mulai dihentikan. Indonesia negara hukum, tetapi wajah penegakan hukum di negara ini tampak demikian buram.

Persepsi yang demikian tak hanya terbentuk dibenak para ahli atau komunitas berpendidikan tinggi, melainkan juga dipahami semua komunitas di akar rumput. Hari-hari ini, banyak kalangan merasakan bahwa kalimat ‘Indonesia negara hukum’ itu hanya sebatas klaim yang sudah kehilangan hakekat maknanya.

Bahkan, telah bermunculan pula ungkapan tentang tidak adanya kepastian hukum di negara ini. Kalau sebelumnya ungkapan tidak ada kepastian hukum sering digunakan dalam konteks memroses perizinan bisnis, kini rasa dan fakta tentang ketidakpastian hukum itu pun telah merembet ke dalam proses hukum kasus-kasus pidana. Publik mencatat dan memviralkan sejumlah kasus pidana yang proses hukumnya tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Bahkan, publik pula yang memviralkan dugaan rekayasa proses hukum beberapa kasus yang menjadi perhatian masyarakat. Mulai dari dugaan tindak pidana antara guru dan murid-seperti pada kasus penganiayaan murid yang dituduhkan pada guru Supriyani di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara – kemudian kasus kematian Vina di Cirebon, hingga mega kasus dugaan korupsi. Beberapa kasus dugaan tindak pidana korupsi yang menjadi pergunjingan masyarakat bahkan sama sekali tidak berproses.

Buramnya wajah penegakan hukum atau fakta ketidakpastian hukum itu setidaknya juga sudah terkonfirmasi oleh fakta-fakta hukum yang sudah terpublikasi. Pada pekan ketiga Oktober 2024 misalnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap tangan dan menetapkan status tersangka kepada 3 (tiga) hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang memberi vonis bebas Ronald Tannur dalam kasus dugaan pembunuhan Dini Sera.

Setelah itu, pihak berwajib juga menangkap seorang oknum pensiunan Mahkamah Agung (MA) yang diduga menjadi makelar kasus. Dari penggeladahan terhadap oknum pensiunan ini, pihak berwajib menyita uang tunai hampir satu triliun rupiah plus puluhan kilogram emas.

Hampir setiap tahun, selalu saja ada penegak hukum yang ditangkap karena terlibat tindak pidana. Pada Oktober 2022 misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memublikasikan catatan tentang jumlah oknum penegak hukum yang terjerat korupsi.

Pada tahun itu, jumlah hakim yang terjerat korupsi 25 orang, jaksa 11 orang dan polisi 3 orang. Beberapa figur yang pernah menjadi pejabat di KPK pun tersandung masalah. Bahkan, ada belasan oknum melakukan pungutan liar (Pungli) di rumah tahanan (Rutan) KPK.

Tahun lalu dan sepanjang tahun ini saja, peristiwa atau kasus yang menggambarkan perilaku tak terpuji oknum penegak hukum cukup beragam. Perilaku tak terpuji itu tidak sekadar dicatat, tetapi juga diviralkan oleh masyarakat melalu media sosial.

Ada kasus keterlibatan oknum dalam permainan pekerja migran ilegal, penyelundupan, keterlibatan dalam kasus narkoba hingga peristiwa penembakan pelajar di semarang.

Dari data dan catatan sejumlah kasus itu, publik melihat dan menyimpulkan adanya masalah serius di tubuh institusi penegak hukum. Pemahaman yang minim tentang standar moral selaku penegak hukum mendorong sejumlah oknum bertindak sewenang-wenang, bahkan sampai menjungkirbalikan kesalahan menjadi benar dan apa yang benar dijadikan salah. Wajar jika sejumlah kalangan sampai pada kesimpulan tentang tidak adanya kepastian hukum.

Kesimpulan masyarakat itu setidaknya terkonfirmasi pada hasil survei mengenai kecenderungan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Tidak ada yang baru, karena beberapa hasil survei dengan tema yang sama sudah dipublikasikan. Garis besarnya, kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian, kejaksaan, KPK hingga lembaga peradilan menurun cukup signifikan.

Faktor yang memengaruhi adalah fakta tentang oknum penegak hukum yang menjadi pelaku atau terlibat kasus korupsi, terlibat kasus narkoba, suap, penyelundupan, dan berperilaku tidak terpuji.

Publik juga sangat kecewa karena penanganan kasus korupsi berskala besar tidak optimal dan penuh kepura-puraan. Publik juga menyoroti dan menyoal gaya hidup mewah aparat penegak hukum yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip hukum.

Dan, yang paling mencemaskan masyarakat adalah kecenderungan telah hilangnya independesi institusi penegak hukum. Masyarakat melihat institusi penegak hukum terikat pada kekuasaan, sehingga mudah ditekan dan dijadikan alat untuk beberapa kepentingan dan tujuan. Itu sebabnya beberapa kalangan menilai bahwa klaim Indonesia negara hukum sudah kehilangan hakekat maknanya. Maka, jangan berharap ada kepastian hukum. Praktik penegakan hukum akhir-akhir ini tak lebih dari ‘sinetron’ yang melecehkan rasa keadilan bersama.

Wajah penegakan hukum yang demikian buram menyebabkan rasa keadilan bersama terlecehkan. Harus diperhitungkan kemudian adalah eksesnya, terutama pada aspek ketaatan semua orang pada legitimasi hukum.

Perasaan keadilan yang terlecehkan atau tidak adanya kepastian hukum akan menimbulkan gangguan amat serius pada ketertiban umum. Bukan tidak mungkin bahwa individu atau kelompok-kelompok orang akan bertindak semaunya dan tidak peduli lagi pada norma hukum.

Potensi gangguan terhadap ketertiban umum akibat lemahnya penegakan hukum hendaknya disikapi dengan penuh kebijaksanaan. Semua institusi penegak hukum pasti tahu apa yang harus dilakukan untuk memulihkan kepercayaan dan kehormatannya.

Penulis adalah Anggota DPR RI/Ketua MPR RI ke-15/Ketua DPR RI ke-20/Ketua Komisi III DPR RI ke-7/Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Borobudur, Trisakti, Jayabaya dan Universitas Pertahanan (UNHAN)