PT Satria Utama Adhinarendra Klaim Miliki Perizinan Matangkan Lahan Seluar 7,5 Ha di Tanjung Piayu
Oleh : Redaksi
Selasa | 12-11-2024 | 09:04 WIB
ada-izin.jpg
Aktivitas pematangan lahan seluas 7,5 Ha di Kelurahan Tanjung Piayu, Kecamatan Sei Beduk, Kota Batam, milik PT Satria Utama Adhinarendra. (Foto: Istimewa)

BATAMTODAY.COM, Batam - PT Satria Utama Adhinarendra, pemilik lahan seluas 7,5 Ha di Kelurahan Tanjung Piayu, Kecamatan Sei Beduk, merespon tudingan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Batam, terkait legalitas maupun perizinan aktivitas pematangan lahan yang saat ini tengah berlangsung.

Legal PT Satria Utama Adhinarendera, Indra Ramadhan, menyampaikan apa yang dituduhkan pihak HNSI Batam, tak sepenuh benar. Sebab, pihaknya selaku pemilik lahan telah mengantongi berbagai jenis perizinan sebelum melakukan pematangan lahan.

Indra menjelaskan, dari 7,5 Ha lahan yang mereka dapat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari BP Batam, sekitar 6,08 Ha berada di bibir pantai yang ditumbuhi berbagai jenis pepohonan, termasuk bakau (mangrove). Untuk mematangkan lahan itu atau menimbunnya, pihaknya sudah mengikutri prosedur yang berlaku, mulai dari membuat perencanan, menginventarisir jenis pohon tegak tumbuh --dilakukan langsung oleh tenaga teknis pengelolaan hutan (GANISPH)-- dan membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Hak Lestari KLHK RI, yang tediri dari penerimaan negara Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) serta Dana Reboisasi (DR).

"Sebelum kami melakukan penebangan pepohonan di sana dan pematangan, kami sudah dapatkan izinnya dan sudah bayar PNBP," ungkap Indra kepada BATAMTODAY.COM, Senin (11/11/2024).

Menurut dia, lahan yang mereka matangkan saat ini secara legalitas sudah lengkap. Bahkan, pembayaran UWT kepada BP Batam selama 30 tahun dari 26 Oktober 2023 hingga 25 Oktober 2053, sudah dibayar lunas. "SKEP, PL, LPJ, dan KLHK, ada semua kami. Jadi tidak benar kalau dibilang belum bunya perizinan yang lengkap," tegasnya.

Indra juga mengatakan, jika dikemudian hari ada perubahan peraturan yang membuat mereka kembali harus mengurus izin-izin lainya, akan dijalankan sesuai dengan ketentuan. "Kami perusahaan yang patuh akan semua aturan," ujar dia.

Sebelumnya, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Batam mendesak agar aktivitas penimbunan hutan mangrove (bakau) di Kelurahan Tanjung Piayu, Kecamatan Sei Beduk, segera dihentikan.

Desakan ini disampaikan setelah pengurus HNSI Batam melakukan kunjungan langsung ke lokasi pada Sabtu, 26 Oktober 2024, untuk memantau aktivitas penimbunan yang dilakukan oleh PT Satria Utama.

Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan HNSI Batam, Izwandi Suhaili, menegaskan agar PT Satria Utama segera menghentikan kegiatan tersebut hingga mendapatkan perizinan yang sah dan lengkap.

"Hentikan dulu penimbunan ini, jangan sembarangan. Izin dari mana kalau memang sudah ada izin? Siapa yang mengeluarkan izin untuk penimbunan hutan bakau ini?" tegas Wandi, saat bertemu dengan Nasution, yang mengaku sebagai penanggung jawab lapangan PT Satria Utama, di lokasi penimbunan bakau.

Menurut Wandi, luasnya area yang akan ditimbun --yang mencakup puluhan hektar-- seharusnya memerlukan izin yang sangat hati-hati dari instansi terkait, mengingat dampak besar yang bisa ditimbulkan terhadap para nelayan yang bergantung pada kawasan tersebut untuk mata pencaharian mereka.

Perlindungan Hutan Mangrove dan Dampak Lingkungan

Wandi menjelaskan, berdasarkan data yang diperoleh HNSI Batam, lokasi yang kini tengah ditimbun oleh PT Satria Utama merupakan kawasan hutan mangrove yang dilindungi oleh negara dan belum pernah diubah peruntukannya.

"Aktivitas ini jelas melanggar, dan kami kuatir tidak memiliki izin yang sah. Kami menduga bahwa aktivitas ini tidak memenuhi prosedur perizinan yang semestinya," ujar Wandi, yang juga menyebut bahwa kegiatan ini berpotensi merusak ekosistem laut dan kehidupan masyarakat nelayan sekitar.

Wandi juga menekankan kekhawatirannya akan dampak pencemaran yang ditimbulkan akibat penimbunan tersebut. "Masih banyak nelayan yang menggantungkan hidupnya di laut sekitar Tanjung Piayu. Jika laut tercemar akibat aktivitas penimbunan ini, bagaimana nasib mereka? Ini harus dipikirkan dengan matang, karena yang terpenting adalah pelestarian hutan mangrove itu sendiri," katanya.

Potensi Ancaman Terhadap Kehidupan Nelayan

HNSI Batam mengingatkan bahwa selain merusak lingkungan, aktivitas penimbunan yang tidak diatur dengan benar bisa berdampak langsung pada nelayan yang selama ini menggantungkan hidup dari hasil laut di sekitar kawasan tersebut. "Kami berharap ada perhatian serius dari pemerintah dan instansi terkait untuk memastikan bahwa perizinan yang dikeluarkan tidak merugikan masyarakat, khususnya nelayan yang tinggal dan bekerja di sana," tambah Wandi.

Dengan penekanan pada pentingnya pelestarian lingkungan dan kepastian hukum, HNSI Batam menegaskan bahwa aktivitas penimbunan ini seharusnya dihentikan sampai semua persyaratan perizinan dan dampak lingkungan dapat dipastikan aman dan terkendali.

Editor: Gokli