Survei Pemilu 2024 Ungkap 42,96 Persen Mahasiswa Mau Terima Uang tapi Ogah Pilih Calon
Oleh : Redaksi
Selasa | 23-01-2024 | 08:36 WIB
2301_berita-survei_0230392392398.jpg
Mahasiswa mayoritas mau terima uang tapi ogah memilih calonnya. (Foto: Survei Praxis)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Politik uang atau money politic terbukti tidak akan efektif. Sebab, dalam survei terbaru Praxis sebagai agensi public relations (PR) dan public affairs (PA) lewat survei independen ketiga, sebanyak 42,96% mahasiswa bersedia menerima uang dari para calon atau kandidat, tetapi tidak memilihnya.

Pada survei kali ini mengusung tajuk "Aspirasi dan Preferensi Mahasiswa pada Pemilu 2024".

Sebagai kelanjutan dari riset yang dilaksanakan pada April dan Agustus 2023, survei dilakukan dengan pendekatan mixed method, menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif.

Riset kuantitatif survei dilaksanakan pada 1-8 Januari 2024 kepada 1.001 mahasiswa dengan rentang usia 16-25 tahun di 34 provinsi di Indonesia.

Praxis kemudian berkolaborasi dengan Election Corner (EC) Fisipol UGM untuk mengkaji temuan kuantitatif dengan melakukan riset kualitatif pada 15 Januari 2024.

Riset berformat Focus Group Discussion (FGD) ini melibatkan empat akademisi dan mahasiswa perwakilan Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Mulawarman (Unmul), dan Universitas Nusa Cendana (Undana).

Salah satu temuan menarik dari #PraxiSurvey ketiga ini berkaitan dengan praktik politik uang (money politics).

Sebanyak 42,96% mahasiswa menyatakan akan menerima uang namun tidak memilih kandidat.

Selanjutnya, 20,08% mahasiswa akan menerima uang dan akan memilih kandidat, sementara 10,99% lainnya menyatakan tidak akan menerima uang dan tidak akan memilih kandidat.

Director of Public Affairs Praxis PR dan Wakil Ketua Umum Public Affairs Forum Indonesia (PAFI) Sofyan Herbowo mengatakan riset menunjukkan pandangan mahasiswa yang independen. Fakta membuktikan bahwa praktik politik uang tidak mampu memengaruhi pilihan mereka.

"Saya berharap survei ini dapat mendorong mahasiswa untuk memilih dengan bijak demi menjaga keberlanjutan ekosistem demokrasi yang sehat," katanya dalam konferensi pers.

Menariknya, analisis berdasarkan Socioeconomic Status (SES) menunjukkan bahwa semakin tinggi SES, praktik politik uang semakin tidak efektif.

Data melaporkan 15,94% dari upper class, 19,89% dari middle class, dan 29,21% dari lower class mengaku akan menerima uang dan memilih kandidat yang diminta.

Di sisi lain, 47,51% dari upper class, 41,98% dari middle class, dan 27,12% dari lower class mengatakan akan menerima uang namun tidak memilih kandidat yang diminta.

Sementara itu, 13,07% dari upper class, 10,46% dari middle class, dan 9,87% dari lower class menyatakan akan menerima uang namun tidak memilih kandidat yang diminta.

Temuan lainnya, 65,73% mahasiswa pesimis bahwa praktik politik uang dapat dihilangkan dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia.

Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM Arga Pribadi Imawan memaparkan hasil kualitatif yang menjelaskan alasan mengapa mahasiswa masih menerima uang meskipun mayoritas tidak akan memilih.

"Di tengah asumsi tentang kegemaran anak muda menerima politik uang, anak muda akan cenderung menerima uang serta memilih kandidat yang memberikan uang, hasil survei justru menunjukkan tentang anak muda yang masih rasional dalam menentukan pilihannya," katanya.

"Pemilu diibaratkan seperti 'pesta', sehingga memberikan dan menerima uang maupun barang dianggap sebagai sesuatu yang harus atau wajar untuk dilakukan," ucapnya.

Saat FGD berlangsung, salah satu peserta menyebut mahasiswa pesimis karena politik uang di Indonesia terlalu masif.

Ia menambahkan bahwa di satu sisi mahasiswa cenderung pesimis terhadap upaya memberantas politik uang, namun mereka juga tergolong toleran.

Diskusi menyoroti sikap pesimis dan negatif terhadap politik uang seharusnya tidak sejalan dengan sikap toleran terhadap praktik tersebut.

Content Creator dan Founder Malaka Project Ferry Irwandi menambahkan mahasiswa melihat praktik politik uang dengan sudut pandang kritis.

"Anak muda menyadari bahwa imbalan finansial sebesar Rp200.000 untuk lima tahun ke depan tidak sebanding dengan nilai-nilai karakter dan program kerja kandidat. Risiko politik uang lebih terasa pada masyarakat menengah ke bawah yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup," katanya.

"Mereka harus menghadapi realita dan tantangan ekonomi yang mungkin tidak dihadapi oleh kelas sosial lainnya," katanya.

Sumber: Disway.id
Editor: Dardani