Dahsyatnya Dampak PPKM Jilid I dan II di Batam

Kami Semua Hampir Pasang Bendera Putih
Oleh : Saibansah
Sabtu | 24-07-2021 | 20:04 WIB
A-SOP-IKAN-YONGKI.jpg
Restoran sop ikan 'Yong Kee Istimewa' di Nagoya Batam. (Foto: Ist)

PARA pedagang di Batam, mulai dari kaki lima sampai yang berjualan di ruko dingin, menjerit. Jeritan itu mereka rasakan sebagai dampak dari pelaksanaan PPKM Jilid I dan II. Bagaimana jeritan mereka itu? Berikut catatan wartawan BATAMTODAY.COM, Saibansah Dardani.

Siang menjelang lunch, mobil BATAMTODAY.COM merapat pas di depan pintu masuk restoran yang menjadi icon kuliner Kota Batam, sop ikan 'Yong Kee Istimewa' di Nagoya. Tampak ada tiga orang pria yang duduk di pintu masuk sebelah kanan. Sedangkan roling door di ruko sebelah kiri ditutup.

Begitu keluar dari mobil, terdengar suara dari dalam ruko sop ikan paling terkenal di Batam itu. "Tutup, bang," katanya, setengah berteriak.

"Semua tutup," lanjutnya.

"Yang di Batam Center?"

"Iya, tutup, bang. Gak tahu sampai kapan ini," katanya dengan nada rendah.

Ternyata, saat BATAMTODAY.COM meluncur ke restoran favorit berbagai kalangan, 111 Food Point di Mitra Raya 2 Batam Center, juga sama. Tutup total. Bahkan, roling door ruko 4 pintu itu tak menyisakan sedikit pun celah untuk bisa keluar masuk orang. Benar-benar rapat.

Di restoran ini Walikota Batam, H. Muhammad Rudi pernah ngopi santai bersama 'Kawan Lama', sebuah komunitas warga Batam yang telah lebih dari dua dasawarsa bekerja di Batam. Mereka dulu pernah bersama-sama merintis karir dan usaha dengan Rudi.

Selain memilih menutup usaha restorannya, ada juga yang memilih tetap menjalankan jualannya. Tapi, mematuhi Surat Edaran Walikota Batam. Yaitu, take away, alias bungkus.

Malam itu, saat penerapan PPKM Jilid I (PPKM Darurat, 12-20 Juli 2021) lalu, BATAMTODAY.COM merapat di restoran 'Bakmi Jawa Gunungkidul Jogoboyo' di kawasan Sei Panas Batam, tetap buka. Tapi, semua kursi dibalik. Tidak ada transaksi makan di tempat. Semuanya take away, bungkus.

Kemudian, saat penerapan PPKM Jilid II (PPKM Level 4, 21-25 Juli 2021) di Batam, seorang pemilik warung Aceh kepada BATAMTODAY.COM bertutur, dia dan teman-temannya memilih untuk tutup. Tidak berjualan.

"Kami tutup, karena sepi pembeli dan tidak balik modal," ujar pria yang meminta identitasnya tidak dipublikasikan itu.

Pria Aceh itu melanjutkan, dirinya sudah mendapat surat peringatan dua kali. Bahkan, kedainya sempat disegel. Pasalnya, karena ada pembelinya yang duduk bertiga di dua meja. "Gara-gara ada tiga orang yang duduk di dua meja, kami kena segel," ungkapnya.

Praktis sejak PPKM Jilid II ini dia tidak berjualan lagi. Sementara dia harus menanggung gaji karyawan dan keluarganya sendiri.

Jeritan yang sama juga dialami oleh para pedagang ayam penyet dan soto ayam di Batam. Saat PPKM Jilid I diterapkan dulu, seorang pedagang ayam penyet asal Lamongan, sebut saja Cak Marjan, sudah merasakan dampaknya. Sudah pasti jualannya sepi pembeli.

Di tengah sepinya pembeli itu, Cak Marjan mencoba terus bertahan. Tapi, antara omset dengan modal sungguh 'jauh jaraknya'. "Bukan rugi lagi, tapi tengkurap ini namanya," keluhnya.

Itulah makanya, Cak Marjan, meminta agar para pedagang kaki lima di pinggir jalan itu diberi dispensasi untuk bisa berjualan dari sore sampai malam. Tentu saja, dengan tetap mematuhi protokok kesehatan (prokes). Hanya untuk sekadar bisa membayar gaji karyawan dan menjaga dapur di rumah tetap ngepul.

"Gimana mas, kira-kira bisa gak ya Pemerintah Batam memberi dispensisi seperti itu," tanya Cak Marjan.

Selain pembeli yang sepi, PPKM Jilid I dan II itu juga ditingkahi dengan perlakuan tidak humanis yang mereka alami. Perlakuan dari oknum petugas itulah yang menambah 'luka hati' para pedagang kaki lima di Batam itu.

Seorang pedagang kaki lima lainnya, sebut saja Cak Ronal, karena demi keselamataan usahanya, pria ini minta identitasnya disamarkan. Ia menuturkan,
sikap arogan oknum petugas itu sering menindak pedagang dengan semena-mena. Bahkan, tanpa bicara yang baik dan sopan, jauh dari sikap manusiawi, langsung melakukan tindakan.

"Kita kan bisa bicara baik-baik, toh kita semua ini sama-sama dalam kondisi terjepit. Tapi para petugas itu kan tidak ada ruginya, tiap bulan terima gaji dari pajak rakyat, lah kami yang jualan ini kan rugi, sudah rugi karena pembeli sepi, masih mendapat perlakuan semena-mena," tuturnya.

Sementara itu, Ketua Paguyuban Warga Lamongan (Pawala) Batam, Arif Setiawan menjawab BATAMTODAY.COM mengungkapkan, dirinya banyak mendapat keluhan dari para warga Lamongan yang berjualan makanan.

"Sejak PPKM Darurat sampai sekarang terus menerus saya dapat keluhan warga Lamongan," ujar pria yang akrab disapa Cak Agiek itu.

Bahkan, lanjutnya, ada juga ajakan untuk menggelar aksi demo sebagai ekspresi kekuatan ekonomi mereka yang sudah benar-benar tumpur dan telungkup. Tapi, ajakan itu tidak direspon Cak Agiek. Ia sadar, ajakan itu adalah ekspresi kekesalan mereka, karena memang kondisi ekonomi yang sudah morat-marit.

"Sebenarnya, permintaan warga Lamongan itu sederhana kok. Dikasih kesempatan tetap berjualan seperti biasa, tapi dengan prokes yang ketat. Yaitu, ada meja dan kursi yang jaraknya diatur dan memakai masker. Insya Allah dengan begitu, para pedagang masih bisa sedikit bernapas," tutur Cak Agiek.

Karena peraturan yang berlaku sekarang ini, lanjut Cak Agiek, pedagang sudah diminta tutup jam 8 malam. Sedangkan yang jualan siang hari, tidak boleh ada kursi dan meja sama sekali. Semuanya mengandalkan dari pembeli yang take away, bungkus.

"Makanya, sempat beredar ajakan untuk bersama-sama memasang bendera putih, sebagai simbol para pedagang di Batam ini sudah tidak sanggup lagi bertahan menghadapi dampak PPKM, ekonomi mereka telah lumpuh," pungkasnya.

Jika PPKM Jilid I dan II saja sudah begitu memukul mereka begitu rupa, bagaimana lagi jika dilanjutkan dengan PPKM Jilid III dan seterusnya...