Bincang Santai BATAMTODAY.COM dengan Ketua INSA Batam, Osman Hasyim

Membangun Batam dari Keterpurukan Harus dari Maritim
Oleh : Saibansah
Rabu | 07-07-2021 | 21:47 WIB
A-KETUA-INSA-BATAM-OEMAN.jpg
Ketua INSA Batam, Osman Hasyim saat berbincang santai. (Foto: Ist)

MELIHAT perekonomian Batam makin terpuruk dan masyarakatnya hidup serba kesulitan. Bagi Ketua INSA (Indonesian National Shipowner Association) Kota Batam, Osman Hasyim, ini aneh. Seharusnya Batam tidak seperti ini. Lalu, seperti apa? Berikut hasil perbincangan Osman Hasyim dengan wartawan BATAMTODAY.COM, Saibansah Dardani.

Berbicara soal industri maritim dan hubungan emosionalnya dengan Batam, terasa berkelit kelindan sepanjang perbincangan dengan Osman Hasyim. Dunia maritim, adalah bisnis yang digelutinya sejak puluhan tahun lalu. Sedangkan Batam, adalah tanah tumpah darahnya. Bahkan, demi Batam, Osman dan keluarga besarnya, rela melepaskan berhektar-hektar tanahnya untuk Otorita Batam.

Maka, saat melihat perekonomian Batam terpuruk seperti sekarang ini, pengusaha tempatan ini pun geram. "Seharusnya kita lebih makmur daripada sekarang," katanya, geram.

Lalu, bagaimana cara membangun Batam agar masyarakatnya tidak susah seperti sekarang ini?

Membangun Batam harus dimulai dari maritim. Karena inilah potensi yang kita miliki yang negara lain tidak punya, sehebat kita ini. Tengok Singapura, mereka betu-betul memanfaatkan potensi maritimnya dan ternyata benar. Mereka sekarang benar-benar menjadi negara maju. Nah, Batam bagaimana?

Posisinya kan sama, malah lebih hebat kita dari Singapura. Pulau-pulau kita lebih banyak, laut kita sangat luas. Nah, kenapa ini tidak kita manfaatkan. Seharusnya kan kita lebih makmur daripada sekarang, kalau kita tahu cara dan bagaimana mengelolanya.

BACA JUGA: Terbuka Laluan Pemprov Kepri Kuasai Lahan Reklamasi Harbour Bay

Kalau Walikota Batam merangkap Kepala Badan Pengusahaan H. Muhammad Rudi mau 'curi start', sekarang inilah harusnya dimulai. Karena dengan membangun maritim akan terjadi berkali-kali lipat dampak ganda.

Pertama, perekonomian akan terangkat, kedua multiplier effect pasti akan tercipta. Itu kalau kita prioritaskan maritim. Itulah kalau kita membangun sektor maritim. Maka rugi besar kalau kita tidak fokus ke sana. Harus tahu caranya bagaimana.

Tapi sekarang sedang pademi corona, perekonomian dunia juga sedang lesu?

Justru sekarang ini, di masa pandemi ini, satu-satunya sektor yang bisa mengangkat perekonomian Batam itu hanya satu, maritim. Saya jamin itu! Manufaktur tidak mungkin, pesaing kita banyak, Vietnam, Thailand, Kamboja dan sebagainya. Mereka sekarang sedang tumbuh. Mereka jauh lebih hebat, lebih atraktif. Industri pariwisata bagaimana, ah sudahlah. Di tengah pandemi ini, tak usah lagi kita berharap dari pariwisata.

Lantas kita tanya sektor mana kita mengarah? Maritim, jawabnya. Jadi, harus kita mulai sekarang, tidak bisa tunggu lagi kita. Kami ini sudah lima tahun berjuang mengingatkan penguasa. Jangan lalukan ini (mengalihkan fokus pembangunan dari maritim), kalau kau lakukan ini hancur Batam, benar kan, terjadi sekarang. Karena kita tahu betul soal itu.

Melihat kondisi BP Batam saat ini yang menghadapi berbagai masalah yang kompleks, terutama soal lahan?

Ibaratnya, BP Batam itu kan tuan tanah, tinggal memilih bagaimana cara kita mengolah tanah kita itu. Mau pakai samurai, habis pohon itu kita tebang. Atau pakai cangkul, yang kita rawat tanah itu. Kita pilih mana. Ini kan pilihan. Kalau kita pakai teori berdagang, apa yang harus kita persiapkan agar orang mau datang.

Padahal, kita punya semua saat ini. Kita punya sesuai untuk dijual dan sumber potensi yang kita miliki ini, yaitu letak geografis yang strategis ini, tidak akan ada habis-habisnya.

Kalau mereka yang potensinya batu bara atau minyak, akan habis. Kita tidak, kita tidak akan ada habis-habisnya. Kita sudah punya semua, apa itu. Satu, infrastruktur, kita punya.

Infrastruktur itu apa, kita punya shipyard. Bayangkan, 50 s/d 60 persen shipyard Indonesia itu adanya di Batam. Shipyard ini kan padat karya, paling banyak menyerat tenaga kerja. Dan perlu dicatat, kita pernah ada 380 ribu orang kerjanya di situ.

Kita kan sudah pernah mengalami, ini kan bicara fakta, bukan cita-cita lagi. Ini sudah pernah kita alami. Harusnya kita kan lebih baik dari hari kemarin, bukan lebih buruk.

Pelabuhan kita ada, jalan juga sudah bagus. Kemudian, supply chain juga sudah terjadi. Kita gampang saja di sini, karena kita depat dengan Singapura. Sehingga pesan barang itu mudah. Sementara di tempat lain, mau pesan barang itu berbulan-bulan baru datang itu. Ini kelebihan kita.

Kemudian, tenaga kerja kita itu terampil. Anak-anak kita malah sudah bisa bikin kapal perang. Teknologi tinggi welder (tenaga las) kita sudah bagus. Karena sudah terlatih membuat anjungan minyak lepas pantai. Saya punya teman, orang bule, dia punya proyek di Sakhalin Rusia.

Dia bikin barangnya itu di sini. Saya tanya, kenapa kamu tidak bikin saja di China, kan jauh lebih murah dan lebih dekat. Apa dia bilang? Osman, hasil kerja whelder-whelder kalian itu bagus. Bule itu bilang sama saya. Artinya apa, tenaga kerja kita itu terampil.

Lalu, apa lagi? Kita punya hotel, restoran, entertainmen dan semuanya mendukung. Dulu hotel-hotel di sini full. Kalau akhir pekan banyak turis yang datang, tapi di hari-hari kerja itu banyak expatriat yang datang.

Sekarang kan kebutuhan dunia akan kapal juga menurun, bagaimana?

Justru sekarang ini, di masa pandemi, di masa ekonomi dunia sedang turun, itu banyak kapal yang nanggur. Pada saat itu mereka butuh tempat, untuk anchor (labuh jangkar), untuk shelter, repairing, menunggu order dan macam-macam. Kalau mereka sudah anchor, itu sudah pemasukan.

Lalu, bagaimana memulainya?

Pertama kita sediakan 5 hal. Pertama, ciptakan rasa aman, kedua, rasa nyaman, ketiga, kepsatian hukum, empat, harga bersaing, lima, pelayanan prima. Harus ada lima faktor ini. Karena tanpa ini, tidak mungkin ada kapal yang mau datang.

Kalau tak aman, mereka tak mau datang. Kalau tidak nyaman juga tak datang, harga tak bersaing juga tak mau datang, karena banyak alternatif pilihan. Kemudian pelayanan harus prima. Tak bisa ngurus kapal 2-3 hari baru jalan, harus hitungan 1-2 jam.

Yang tak boleh dipungut itu jangan dipungut. Ini soal kepastian hukum. Di seluruh Indonesia tidak ada pungutan di pelabuhan khusus, tapi di Batam ada biaya tambat dan jasa dermaga di TUKS (Terminal Untuk Keperluan Sendiri)/Tersus (Terminal Khusus).

Ini masalahnya. Karena ini kontra produktif, menjadi mahal dan tidak ada kepastian hukum. Ini menjadikan daya saing kita turun. Jadi, cabut itu.

Kemudian, house to house deposite. Kapal belum masuk disuruh bayar dulu. Ya, mana menarik bisnis kayak gini. House to house itu sistem yang diciptakan BP Batam, bayar dulu sebelum kapal masuk, 120 persen.

Jadi, kami usulkan kemarin, oke house to house dilaksanakan. Tapi, untuk kapal-kapal niaga, kapal yang kedatangannya untuk keperluan bongkar muat barang. Itu kapal niaga. Praktik ini seperti di Tanjung Priok atau Surabaya.

Karena untuk kapal niaga, waktunya bisa dihitung. Tapi untuk kapal di luar itu, tidak bisa. Kapal mau datang saja itu harus kita sudah beryukur. Dia saja belum dapat kerja, belum ada order, disuruh bayar. Padahal, di tempat lain, tak bayar dulu. Kalau begitu, pilihannya ke mana? Pasti yang tak bayar dulu.

Ketentuan ini dimulai sejak Hatanto mejabat sebagai Kepala BP Batam. Inilah asal muasal masalah ini terjadi.

Itulah makanya, Osman Hasyim bersama dengan 8 asosiasi yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Kebangkitan Industri Maritim Batam (AGKIMB) terus berjuang agar industri maritim di Batam hidup kembali.

Kedelapan asosiasi itu adalah, Indonesian National Shipowner Association (INSA) Kota Batam, Batam Shipyard & offshore Association (BSOA), Indonesia Shipping Agencies Association (ISAA), Asosiasi Logistik Forwading Indonesia (ALFI), Asosiasi Tenaga Ahli Kepabeanan (ATAK), Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI), Pelayaran Rakyat (Pelra) Batam dan Serikat Pekerja Perkapalan dan Jasa Maritim.

Editor: Dardani