Romo Paschal Terbitkan Buku 'Aneka Relasi Manusia Menurut Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji'
Oleh : Hadli
Rabu | 07-07-2021 | 09:12 WIB
romo-paschal-buku1.jpg
Romo Pascal menunjukkan buku 'Aneka Relasi Manusia Menurut Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji'. (Hadli/BTD)

BATAMTODAY.COM, Batam - Sebuah buku berjudul 'Aneka Relasi Manusia Menurut Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji' diluncurkan pada pertengahan Juni 2021 lalu. Penulis buku yang mengkaji Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji ini adalah Romo Chrisanctus Paschalis Saturnus.

Romo Paschal, begitu pria kelahiran Dabo Singkep, Kabupaten Lingga, itu, disapa, mengatakan buku tersebut ditulis berdasarkan pemikiran yang terkandung dalam Gurindam Dua Belas.

Putra kelahiran Dabo Singkep Kepulauan Lingga ini mengatakan, buku dengan 105 halaman ini diterbitkan terbatas yakni hanya sebanyak 1.000 eks 2021. Sejauh ini, belum dijual bebas. Namun pemesanan bisa melalui WhasApp di nomor +6281365612967.

Kata pengantar dalam buku ini dukung oleh tulisan Pak Rida K.Liamsi, Bang Amsakar Achmad dan Willy Siswanto.

Secara umum, tambah Romo, Gurindam Dua Belas telah menawarkan pesan-pesan kehidupan yang berhubungan erat dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia.

Sifat-sifat tersebut meskipun diwarnai oleh nuansa islami yang begitu kental, namun pada hakikatnya berlaku universal, yakni dapat diambil nilainya oleh semua manusia.

"Oleh karena itu siapa saja yang membaca Gurindam Dua Belas diharapkan dapat memetik nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya, menghayatinya dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan nyata," ujarnya.

Raja Ali Haji Fisabilillah lahir di Pulau Penyengat pada tahun 1808. Bergelar bangsawan Dipertuan Muda Riau-Lingga-Johor-Pahang IV (YDM) Kerajaan Melayu Riau, Raja Ali Haji wafat di tanah kelahirannya sekitar tahun 1873. Ia adalah penulis besar Kerajaan Riau-Lingga dari keluarga bangsawan Melayu di Pulau Penyengat.

Sebelum ia mencapai kematangannya dan terjun ke dalam dunia tulis-menulis, ia telah mendapatkan pendidikan bahasa, agama, dan seluk-beluk politik dari keluarga dan lingkungan istana tempat ia menetap.

Pendidikan tersebut semakin mendalam ketika Raja Ali Haji berkesempatan belajar bahasa Arab dan ilmu agama lainnya di Mesir dan Mekkah.

Ia kemudian dikenal sebagai ulama yang terkemuka di zamannya dan sering menjadi tumpuan untuk menjawab persoalan keagamaan.

Ia memperluas dan memperkokoh sendi-sendi nilai dan moral kehidupan dengan menyumbangkan pemikiran dan ide-ide yang cemerlang untuk masyarakat Melayu di zamannya. Untuk tujuan itu Raja Ali Haji menggunakan gurindam sebagai salah satu sarana penyampaian nilai-nilai kehidupan kepada masyarakatnya.

Gurindam, sebuah genre puisi lama Indonesia, tersusun atas dua larik, mempunyai rima (persamaan bunyi) serta merupakan satu kesatuan yang utuh. Raja Ali Haji menciptakan dua belas pasal. Demikian disebut Gurindam Dua Belas.

Gurindam Dua Belas ditulis Raja Ali Haji pada tahun 1846 di Pulau Penyengat. Karya ini merupakan penutup sejarah gurindam. Diterbitkan pada tahun 1854 dalam Tijdschrft van het Bataviaacsh Genootschap No. II dengan terbitan dua bahasa, yaitu dengan huruf Arab-Melayu dan terjemahannya ke dalam bahasa Belanda oleh Elisa Netscher.

Dilihat dari struktur dan batang tubuhnya, Gurindam Dua Belas terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama merupakan pembukaan, bagian kedua memuat isi dan bagian ketiga berupa sebuah penutup singkat yang menerangkan bahwa gurindam tersebut selesai dibuat.

Gurindam Dua Belas, berbahasa Arab-Melayu (Jawi), bisa digolongkan ke dalam sastra religius. Di dalamnya dapat ditemukan corak didaktif yang sangat kental dan juga pengajaran ilmu tasawuf.

Dalam arti itu beberapa penulis kemudian menafsirkannya juga sebagai jenis sastra sufi yang dibuktikan dengan terdapatnya sejumlah terjemahan kreatif dari hadis yang dikenal di kalangan sufisme. Dalam Gurindam Dua Belas termuat tiga relasi dasariah dalam kehidupan manusia.

Pertama, relasi manusia dengan Tuhan. Kedua, relasi manusia dengan dirinya sendiri dan ketiga relasi manusia dengan manusia lain. Di dalam uraian mengenai relasi manusia dengan Tuhan, Raja Ali Haji menawarkan ajaran praktis bagaimana relasi itu semestinya tampak dan dibangun dalam kehidupan.

Pentingnya agama, pelaksanaan empat jalan yang biasa ditempuh para sufi (syariat, tarekat, hakikat, makrifat), pemahaman akan dunia dan akhirat serta kewajiban untuk taat dan patuh terhadap rukun Islam (syahadat, salat, puasa, zakat dan menunaikan ibadah haji).

Ajaran-ajaran praktis tersebut bertujuan menciptakan kedekatan diri dengan Tuhan dan berusaha bertemu dan bersatu dengan-Nya.

Kedekatan diri dengan Tuhan dan rasa kebersatuan dengan-Nya itu menurut Raja Ali Haji juga harus dimanifestasikan dalam tingkah laku hidup manusia sehari-hari.

Dalam arti bahwa realitas tingkah laku manusia sangat menentukan kadar kebersatuannya dengan Tuhan. Atas dasar itu Raja Ali Haji kemudian menekankan pentingnya relasi dalam batas individual (manusia dengan dirinya sendiri), dan relasi relasi sosial (manusia dengan manusia lain).

Di dalam uraian mengenai relasi manusia dengan dirinya sendiri, Raja Ali Haji menganjurkan tiga hal. Pertama, agar manusia memelihara alat-alat tubuh (mata, telinga, lidah, tangan, perut, anggota tengah dan kaki).

Kedua, agar manusia mengatasi penyakit-penyakit jiwa (jalim, dengki, mengumpat dan memuji, marah, bohong, aib diri, bakhil, kasar, dan takabur).

Ketiga, agar manusia mengendalikan perbuatan yang mengarah pada dosa (banyak berkata-kata, banyak berlebih-lebihan suka, kurang siasat, mencacat orang, banyak tidur, kurang sabar dalam mendengarkan kabar; aduan, tidak berkata dengan lemah-lembut, melawan pekerjaan yang benar, mengerjakan pekerjaan yang tidak baik, keinginan untuk bersenang-senang dari para hamba raja, perkumpulan orang-orang muda, dan keengganan untuk berguru kepada orang-orang tua dan para alim ulama).

Kemudian di dalam uraian mengenai relasi manusia dengan manusia lain, Raja Ali Haji, menyoroti tiga hal. Pertama, relasi manusia dalam keluarga, relasi manusia dengan sahabat dan relasi raja dengan rakyat.

Aneka relasi yang terkandung di dalam tiga relasi dasariah tersebut, merupakan satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan dan merupakan jalan penyucian diri demi mencapai kebahagian abadi, persatuan manusia dengan Tuhan.

Dengan kata lain, tutur Romo Paschal, di dalam ketiga relasi dasariah tersebut sebuah kehidupan dapat dinilai baik atau buruk, membawa kebahagian atau membawa kehancuran baik di dunia maupun di akhirat.

Editor: Yudha