Dua Pengembang di Batam Bertemu di PTUN Akibat Akses Jalan
Oleh : Nando Sirait
Rabu | 10-07-2019 | 15:16 WIB
nurwafiqpengacara-01.jpg
Kuasa Hukum Batama Nusa Permai, Nur Wafiq Warodat. (Dok Batamtoday.com)

BATAMTODAY.COM, Batam - Dualisme perizinan tampaknya masih menjadi momok menakutkan bagi dunia usaha di Kota Batam, terutama bagi pelaku usaha properti yang saat ini tengah mengalami perkembangan.

Apalagi saat ini, pemerintah pusat belum juga dapat memberikan kepastian hukum bagi masalah yang telah menjadi cerita lama di Kota Batam.

Dampak dari dualisme perizinan antara Badan Pengusahaan (BP) Batam dan Pemerintah Kota (Pemko) Batam, berimbas terhadap pembangunan yang dilakukan oleh Batama Nusa Permai (BNP) sebagai pengembang Apartemen Citra Nagoya Plaza, dengan Artha Utama Propertindo sebagai pengembang Apartement Formosa Residence, yang berada tepat di seberang properti yang dibangun oleh Batama Nusa Permai.

Kuasa hukum Batama Nusa Permai, Nur Wafiq Warodat, menjelaskan, awal permasalahan antara dua pengembang ini, dikarenakan akses jalan masuk ke properti masing-masing. Di mana dia juga mengakui akibat permasalahan ini, kedua pengembang telah mendaftarkan perkara ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Batam di Sekupang.

Ia juga melanjutkan bahwa proses persidangan sendiri juga telah berlangsung pada Selasa (02/07/2019) lalu. "Dahulu guna mempermudah akses bagi calon penghuni apartement, klien saya membangun akses jalan dengan right of way (ROW) 25 di atas lahan miliknya. Jalan tersebut dibangun sejak tahun 2012. Namun dua tahun terakhir, Artha masuk dan melakukan pembangunan di seberang proyek klien saya," ungkapnya, Rabu (10/07/2019).

Nur melanjutkan, kedua apartemen megah ini awalnya hanya dibatasi oleh drainase besar, di mana Batama memasang pagar seng di sepanjang drainase. Pada awalnya, semua berlangsung baik-baik saja.

Namun, pihak Artha mulai membongkar pepohonan yang berada di dekat drainase. Kemudian membangun jembatan yang mengarah ke akses jalan utama milik Apartemen Citra Nagoya. "BNP membangun jalan tersebut pada tahun 2012 di atas lahannya. Penerangan jalan diatur. Tiba-tiba mereka masuk ke lingkungan kita, merusak penghalang yang kami pasang dan membangun jembatan," lanjutnya.

Kemudian jembatan yang dibangun oleh Artha tersebut digunakan sebagai akses bagi lori-lori yang membawa bahan bangunan untuk membangun Apartemen. "Katanya sudah dapat izin dari BP Batam untuk melakukan penghijauan, tapi malah bangun jembatan," paparnya.

Nur juga menegaskan, awalnya kliennya telah menempuh cara damai dengan meminta sedikit kontribusi dari pihak Artha dalam kembali membangun dan perawatan jalan yang akan menjadi akses masuk ke Apartement Citra Nagoya.

"Dari kami 75 persen dan mereka sisanya. Kami sudah beri izin pakai jalan, tapi harus ada kontribusinya. Kami minta proposalnya, tetapi dua hari berikutnya, mereka bongkar secara terang-terangan," lanjutnya.

Pihaknya menuturkan pengembang Artha Utama Propertindo beralasan, telah memiliki dokumen Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang telah diterbitkan oleh Pemko Batam. Di mana dalam izin tersebut pihak Artha Utama, diberikan izin untuk membangun sebuah jembatan.

"Untuk mendapatkan IMB, maka harus memiliki Fatwa Planologi yang diterbitkan BP Batam. Di titik ini, persoalan dualisme perizinan pun mulai mengemuka. Imbasnya mulai dirasakan karena mengganggu jalannya dunia usaha," tegasnya kembali.

Menurutnya penerbitan Fatwa dari BP Batam, dilakukan tanpa mengetahui bahwa akses jembatan tersebut menuju jalan yang berada di lahan milik Batama, dimana BP terlebih dahulu menerbitkan Penetapan Lokasi (PL) di lahan tersebut atas nama kliennya.

"Di sisi lain, Pemko menerbitkan IMB tanpa memperhatikan lebih teliti lagi. Ditambah lagi, Apartemen tersebut tepat berada di bibir drainase, di mana secara hukum melanggar Peraturan Daerah (Perda) nomor 4/2016 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup," jelasnya.

Dalam Perda tersebut memang sudah dinyatakan larangan berusaha bagi siapapun di sempadan sungai atau drainase. Tindakan yang dilakukan Artha juga sangat disayangkan, karena sudah menyangkut kepentingan komersil.

"Jadi sekarang ada IMB yang melawan Perda efektif ternyata. Jalan ini merupakan ring satu dengan nilai jual objek pajak (NJOP) capai Rp 5 juta per meter. Kalau dijual bisa Rp 20 juta. Nah ini mau dimanfaatkan yang lain untuk kepentingan komersil," terangnya.

Editor: Gokli