Ribuan Buku Bekas di Belantara Nagoya
Oleh : Hendra Mahyudhy
Kamis | 17-01-2019 | 17:28 WIB
buku-seken.JPG
Mang Anton setia menjaga buku-buku bekasnya. (Foto: Hendra Mahyudhy)

HUJAN rintik selimuti langit Nagoya Batam. Meski hari makin gelap, lalu lintas kendaraan tak kunjung surat. Hanya pengendara sepeda motor yang mengalah, mencari tempat berteduh menghindar dari basah. Saya pun demikian. Beruntung, saya menemukan tempat berteduh yang benar-benar teduh untuk ilmu pengetahuan. Di manakah itu? Berikut catatan wartawan BATAMTODAY.COM, Hendra Mahyudi.

Di seputaran areal Lucky Plaza Nagoya Batam, saya berputar mencari tempat teduh. Tapi mata saya menatap sebuah toko sederhana, tak luas, berisi ribuan tumpukan buku-buku bekas.

Seketika saya parkiran sepeda motor tua yang setia menemani selama 7 tahun itu di depan toko tersebut. Turun dari kendaraan, saya masih tidak percaya. Di tanah Melayu yang terkenal dengan Gurindam 12 ini, setahu saya orang-orangnya lebih sibuk dengan segala urusan pekerjaan. Barangkali hobi baca buku sudah mulai ditinggalkan. Kecuali, baca pesan di medsos. Buktinya, sejauh pengamatan saya selama di Batam, perpustakaan adalah tempat hiburan yang paling lengang.

Di Perpustakaan kampus tempat saya kuliah di Batuaji Batam, pun demikian sepinya. Pemandangan yang sama juga terjadi di Perpustakaan milik pemerintah Kota Batam juga sama. Ruang itu layaknya tempat angker yang sepi pengunjung. "Ini kok ada toko buku seperti ini yang masih bertahan," tanya saya dalam hati.

Perlahan saya masuk, ribuan buku berjejal memenuhi ruangan, ditata pada rak usang menambah kesan bahwa toko buku bekas ini telah cukup lama eksistensinya.

Perlahan saya menyapa sang penjaga toko. Tangan bertemu tangan berjabatan menjadi awal mula keakraban. Anton namanya, begitu dia memperkenalkan diri.

Sebelas tahun berjualan buku bekas di lantai dasar ruko yang berada persis di tengah-tengah area antara Lucky Plaza dan Nagoya Hill, tepatnya di tengah-tengah warung nasi padang dan kupat tahu. "Awal mulanya, sekitaran tahun 2008 silam," ujar Anton, sang pedagang buku bekas.

Meski indusutri digital mulai menjadi trend, ikut mempengaruhi arah dan pola konsumsi pembaca. Juga telah banyak yang beralih menuju buku-buku yang tersedia gratis atau berbayar dalam rupa e-Book. Namun, bang Anton masih tetap setia membuka gerai buku bekasnya.

Semua itu dilakukan karena kecintaan akan buku, yang katanya jendela ilmu pengetahuan. Baginya apa yang dia kerjakan adalah cara untuk membuat orang, warga Batam khususnya untuk kembali menumbuhkan minat baca.

Kadang dia berpikir, dalam hidup ini manusia selalu disuruh untuk menuntut ilmu, dan buku adalah jendela ilmu pengetahuan. Namun masih saja minat baca di negeri ini minus.

"Orang-orang terlihat lebih memilih mendadani tubuh mereka sepertinya, Mas, dan nutrisi otak pengasah nalar mereka lupakan," ujarnya.

Apa yang dikatakan Mang Anton memang benar adanya. Data yang dilangsir pewarta BATAMTODAY.COM dari studi yang dilakukan Central Connecticut State University pada tahun 2016 mengenai 'Most Literate Nations in The World" menyebutkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-60 dari total 61 negara, atau dengan kata lain minat baca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0,01 persen. Satu berbanding sepuluh ribu.

"Masih langkalah ibaratnya minat baca ini," ujar Anton melanjutkan.

Kendati begitu, Anton masih bertekad untuk terus melanjutkan usaha toko buku bekasnya. Meski saat ini stok yang ada lebih banyak komik, buku ekonomi, dan novel pop lawas karya penulis luar negeri.

"Ini merupakan bentuk kecintaan saya akan buku, Mas. Sudah seharusnya pemerintah juga turut menggalakkan minat baca ini. Masak buku hanya jadi treding topic pemberitaan saat mau disita aparat pemerintahan," ujarnya.

Memang benar adanya, peran pemerintah dan masyarakat dalam hal ini juga harus ada. Bukan hanya sekedar menyitanya tanpa terlebih dahulu memahami isinya. Sampai kapan kita harus hidup seperti ini? Bbuku disita dan kekerasan terus dipertontonkan di mana-mana.

Editor: Dardani