Kampung Vietnam, Bukti Sejarah Indonesia Jungjung Tinggi Kemanusiaan
Oleh : Hendra
Senin | 07-01-2019 | 09:40 WIB
makam-pengungsi.jpg
Makam pengungsi Vietnam di Desa Sijantung, Kecamatan Galang, Kota Batam. (Foto: Hendra)

BATAMTODAY.COM, Batam - Orang-orang perahu, begitulah sebagian orang di Kepulauan Riau (Kepri) tepatnya di Pulau Galang menyebut mereka. Mengawali kisah pahit kehidupan karena perang yang terjadi di negeri asalnya, Vietnam, hingga banyak dari mereka yang mulai mencari suaka (tempat untuk berlindung) ke negeri orang.

Berhari-hari lebih lamanya terombang-ambing di lautan bersama kapal kayu yang terkadang sudah reot dan renta. Namun tekat kuat akan harapan demi kehidupan yang layak, adalah patokan. Bukankah setiap manusia layak mendapatkan kehidupan seperti itu?

Sejarah mencatat 17 tahun lamanya mereka ditampung Pemerintah Indonesia atas dasar kemanusiaan. Di mana sekitar tahun 1979-1996 para pengungsi Vietnam ini telah mengambil bagian dari sejarah kemanusiaan yang kini tercecer di sebuah pulau di Provinsi Kepulauan Riau.

"Orang perahu berada di sini sekitaran tahun 1979 hingga tahun 1996," ujar seorang pekerja di Kampung Vietnam, Sumardi, karena saat itu Kepala Museum Wisata Sejarah Kemanusiaan Galang, Zaid Adnan sedang libur kerja, Minggu (6/1/2019).

Dari uraian sejarah pihak pengelola, tercatat perahu pertama yang berisi 70 orang pengungsi sampai ke Kepulauan Riau tepatnya di Pulau Natuna pada tanggal 22 Mai 1975.

Kehadiran mereka membuat pemerintah yang pada masa itu tersadar untuk memberikan bantuan kemanusiaan yang layak kepada pengungsi atas dasar komitmen Indonesia yang terdapat di dalam sila ke-2, 'Kemanusiaan yang adil dan beradab'.

Desas desus perihal para pengungsi yang diterima dengan tangan terbuka di Pulau Natuna inilah menjadi panduan bagi para pengungsi lain untuk berlayar menuju pulau yang sama sehingga menyebabkan jumlah pengungsi mulai bertambah.

Oleh karena itu, pemerintah mulai memikirkan solusi terbaik demi keamanan dan juga demi daya tampung yang lebih luas. Pertimbangan demi pertimbangan akhirnya ditentukan untuk memindahkan pengungsi menuju tempat yang agak lebih terisolir dari masyarakat luar, karena ada unsur ketakutan para pengungsi nantinya akan menularkan penyakit Vietnam Rose kepada masyarakat sekitar. Penyakit ini pada saat itu lebih berbahaya dari pada HIV/AIDS.

"Menurut sejarahnya, saat itu telah semakin banyak pengungsi yang berdatangan," ujarnya.

Pemindahan inipun membutuhkan bantuan kerja sama dengan pihak PBB bagian UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees), yaitu komite PBB yang mengurus perihal pengungsi dan pencari suaka. Pada 1979 para pengungsi segera dipindahkan menuju Desa Sijantung yang berada di Pulau Galang yang kelak dikenal dengan Kampung Vietnam.

"Kesepakatan telah terjalin antara Indonesia dengan PBB melalui UNHCR, sehingga dibangunlah fasilitas buat para pengungsi yang pengerjaannya diberikan kepada pengusaha lokal," lanjutnya.

Dengan adanya camp pengungsiaan ini, semakin menbuat para manusia perahu dari Vietnam semakin terus berdatangan, puncaknya berjumlah 250.000 jiwa yang hidup secara terisolasi jauh dari penduduk luar.

Selama berada di camp pengungsiaan, kehidupan mereka hanya bergantung kepada bantuan yang diberikan oleh PBB sampai menunggu perang usai di Vietnam, dan merekapun akan dipulangkan kembali ke negeri asalnya. Kendatai begitu, ada sebagian dari mereka yang menolak dan bahkan sampai bunuh diri karena begitu traumanya akan kenyataan yang pernah mereka alami selama perang di Vietnam.

Menurut catatan yang masih disimpan oleh pihak pengelola, disampaikan pemulangan terakhir dilaksanakan pada tahun 1996 yaitu sekitar 5.000 pengungsi yang dipulangkan ke negeri asalnya.

Editor: Gokli