Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Andai Peristiwa G30S/PKI Diproduksi Ulang Layaknya Film Dunkirk
Oleh : Redaksi
Sabtu | 23-09-2017 | 20:02 WIB
said-salim.gif Honda-Batam
Pengamat politik dan pertahanan, Salim Said( Sumber foto: KOMPAS.com)

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Setelah Presiden RI Joko Widodo menyampaikan keinginannya agar diproduksi film "Pengkhianatan G30S/PKI" dengan versi kekinian, pertanyaan muncul di benak banyak pihak. Versi siapa yang dianggap paling pas?

Masalahnya, seperti kata pengamat politik dan pertahanan, Salim Said, adagium selama ini adalah sejarah itu selalu ditulis oleh pemenang. Tidak ada pemenang yang menulis sejarah yang tidak menguntungkan dia.

"Film G30S/PKI versi Arifin C Noer dibikin dalam satu suasana pemenangnya pemerintah Orba. Jadi tidak bakal bikin film versi lain," kata penulis buku Profil Dunia Film Indonesia itu, dalam sebuah talkshow di Jakarta, Sabtu (23/9/2017).

Salim lantas bertanya siapa pemenang di era reformasi ini? Menurutnya, tak jelas siapa pemenangnya.

Dia menyebut, di satu pihak orang-orang yang anti-PKI masih kuat. Salah satu buktinya adalah pengepungan kantor YLBHI belum lama ini.

Di pihak lain, para anggota PKI dan keturunannya juga masih bisa tampil di televisi dalam sebuah acara debat baru-baru ini.

"Dalam keadaan seperti ini bisa saja orang bikin film yang benar PKI, yang salah anti-PKI. Persoalannya apakah akan diterima masyarakat?" imbuh Salim.

Lagi-lagi dia menyebut pengepungan kantor YLBHI menjadi salah satu indikator bahwa masyarakat belum bisa hidup tanpa dibayangi hantu PKI.

Pada suatu kesempatan ia berbincang dengan Agus Wijoyo, putra jenderal yang gugur dalam peristiwa G30S/PKI, Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo.

Agus yang kini menjabat sebagai Gubernur Lemhannas itu mencoba menyelesaikan persoalan dengan cara rekonsiliasi korban PKI dan korban anti-PKI.

"Saya tanya bagaimana kabarnya, dia bilang enggak jalan, masyarakat belum siap. Jadi, kalau bikin film versi Gestapu yang benar, Anda akan lihat apa yang terjadi di masyarakat," kata Doctor of Philosophy dari Ohio State University itu.

Film, karena dianggap memberikan pengaruh lebih besar ketimbang buku atau novel, maka wacana adanya versi baru dari Peristiwa 1965 itu sendiri menjadi kontroversial.

"Kalau mau bikin film baru bagaimana?" tanya Salim.

Dia mencontohkan beberapa film yang bisa menjadi referensi menuliskan sejarah politik. Salim menyebutkan film Dunkirk yang diambil dari kisah nyata berlatar Perang Dunia II.

"Film itu tidak bicara tentang Hitler, Churchill, melainkan tentang tentara Jerman yang mendesak tentara Inggris hingga kembali ke Inggris. Judulnya Dunkirk," kata dia.

Contoh lain yaitu film Saving Private Ryan yang dibintangi Tom Hanks. Film itu menggambarkan kekejaman Perang Dunia II.

"Jadi banyak cara. Enggak usah ribut. Enggak usah buat 'Revisi Film Pengkhianatan G30S/PKI'," kata Salim.

"Jadi tidak harus membuat film mengulang, mulai dari jenderal diculik. Tidak harus seperti itu. Tetapi film yang kritis terhadap persepsi Orba tentang Gestapu," imbuhnya.

Menurut mantan Panitia Tetap Festival Film Indonesia (FFI) Zaenal Bintang, tentu saja membuat versi apa saja saat ini sangat mungkin. Hanya saja tetap harus hati-hati, bisa dipertanggungjawabkan, dan harus seimbang.

Sebagai gambaran, ada tiga aktor yang bisa dilihat dalam Peristiwa '65. Pertama adalah keluarga besar TNI. Kedua adalah keluarga aktor PKI. Dan yang ketiga, yaitu rakyat yang tidak bersalah, tetapi menjadi korban 'tsunami politik' ini.

Zaenal memberikan masukan, sudut pandang dari aktor terakhir ini bisa diolah menjadi ide-ide film versi baru.

"Jalan keluar Pak Jokowi supaya ada versi yang bisa dinikmati generasi milenial tentu jangan menghilangkan esensinya," ucap Zaenal.

Sumber: Kompas.com
Editor: Udin