Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Begini Toleransi Beragama di Amerika
Oleh : Redaksi
Senin | 05-06-2017 | 08:21 WIB
toleransi_di_usa.jpg Honda-Batam
Halim Miftahul Khoiri, mahasiswa S2 di George Washington University jurusan kajian Islam (Foto: VOA)

 

BATAMTODAY.COM, Washington DC - Santri muda asal Tulungagung ini bernama Halim Miftahul Khoiri. Berbekal tekad dan keinginan untuk meneruskan pendidikan S2 di Amerika Serikat, lulusan Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah yang dulunya berprofesi sebagai guru bahasa Arab ini kemudian memutuskan untuk mencari beasiswa yang bisa memenuhi cita-citanya.

 

Kegagalan dalam tes bahasa Inggris, IELTS (International English Language Testing System), sebagai salah satu persyaratan untuk mendaftar beasiswa pun dialaminya hingga dua kali.

Setelah penantian panjang sekitar dua tahun, akhirnya pada tahun 2016, pria yang pernah mengikuti pendidikan pesantren di Tahfidzul Qur’an Al-Hikmah di Kediri ini berhasil meraih beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk kuliah pasca sarjana di George Washington University di Washington, D.C. Halim menjadi mahasiswa Indonesia dengan beasiswa LPDP pertama yang berhasil diterima di universitas bergengsi tersebut.

"Saya bersyukur saya didewasakan di pesantren. Saya bersyukur saya belajar di sana dan meraup beberapa ilmu pengetahuan, dan itu semua sebenarnya yang membawa saya untuk menjalani pendidikan saya di sini," ujar Halim.

Ini adalah beasiswa ke-2 yang diraih oleh Halim, setelah sebelumnya ia memperoleh beasiswa "Paramadina Fellowship" untuk kuliah S1 di universitas Paramadina, Jakarta. Di George Washington University, Halim kembali menempuh ilmu yang sudah didalaminya sejak dulu, yaitu kajian Islam atau Islamic Studies. Para dosennya pun juga beragama Islam.

"Saya punya pendirian bahwa saya kalau mau belajar tentang agama, umpama Islam, saya belajar dari orang Islam," kata Halim.

Alasan Halim memutuskan untuk mempelajari mengenai Islam di Amerika Serikat, khususnya di George Washington University adalah karena kualitas dari para dosennya.

"Salah satu dosen saya itu (Seyyed Hossein Nasr), termasuk salah satu orang Islam paling berpengaruh di dunia. Beliau sudah menulis sekitar 50 buku dan 500an artikel sejauh ini. Dari beliaulah saya belajar banyak dan adanya beliaulah di sini yang menjadikan saya termotivasi untuk berjuang mendapatkan beasiswa dan berjuang daftar ke kampus ini, dan Alhamdulillah akhirnya keterima," jelas Halim.

Belajar mengenai agama Islam di sebuah negara di mana Islam masuk ke dalam kategori minoritas memang bukanlah hal yang biasa. Namun Halim tidak menjadikan hal itu sebagai rintangan.

"Correct me if im wrong, jadi dulu Gus Dur pernah waktu dia belajar di (universitas) Al-Azhar (Kairo, Mesir), bukannya dia belajar secara serius tapi dia santai-santai. (Lalu) ditanya sama temannya, ‘kenapa kok santai-santai enggak belajar? Lah, orang sama (seperti) pesantren kenapa harus saya serius?

Dan semua yang dipelajari di pesantren sama dengan yg di sini.’ Walau pun saya yakin ada yang berbeda dari cara belajar di (universitas) Al-Azhar dan pesantren, tetapi banyak yang sama. Dan saya belajar di (Amerika) itu karena saya ingin menambah wawasan, menambah pengalaman dengan menemui beberapa orang-orang yang punya kualitas internasional dan secara internasional diakui. Dan saya belajar dari mereka," papar Halim.

Mengenai kuliah dan tinggal di AS, Halim mengatakan ia tidak menemui kesulitan dalam menjalani ibadah shalat lima waktu.

"Jadi kebetulan di kampus saya itu ada musholanya. Musholanya di Marvin Center. Kalau teman-teman saya yang di Georgetown University itu tempat shalatnya itu tempat prayer buat semua agama, tapi kalau di (George Washington University) buat orang Islam khusus. Dan itu lumayan luas, lumayan gedelah dan tempat wudhunya bagus banget. Enggak terkendala sih so far," kata Halim.

Sebagai Muslim yang tergolong minoritas di AS, Halim merasakan dukungan yang diberikan oleh komunitas non-Muslim. Halim mengatakan, Indonesia harus mencontoh hal ini.

"Saya belajar satu hal sih di (AS). Kalau di Indonesia orang Muslim kan mayoritas, kalau di (AS) orang Muslim (adalah) minoritas. Tapi ketika orang Muslim minoritas di (AS) itu mendapatkan tekanan, orang-orang mayoritas yang non-Muslim itu mereka datang, mereka support, ikut demo bareng.

Kita harus belajar dari itu. Kita harus support minoritas. Jangan sampai menjadikan mereka merasa hidupnya jadi enggak nyaman. Karena saya sendiri, saya orang Islam dan saya hidup di (AS). Saya kan sekarang minoritas, tapi ketika saya melihat bahwa banyak (kelompok) mayoritas yang mendukung saya, men-support saya dan teman-teman Muslim yang lainnya, saya menjadi terharu. Mikirnya begini: ‘What have we done to Indonesian minority?’"

Sumber: VOA Indonesia
Editor: Dardani