Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Portal Penghambat Perekonomian Batam
Oleh : Opini
Kamis | 20-04-2017 | 16:44 WIB
Kunjungan Komisi VI DPR-RI di Kepri.jpg Honda-Batam

Komisi VI DPR RI saat mengadakan kunjungan kerja ke Provinsi Kepri dan dilanjutkan dengan rapat di Kantor Walikota Batam, Kamis, 20 April 2017. (Foto: Charles Sitompul)

Oleh Teuku Jayadi Noer

TREND pertubuhan ekonomi di Batam, sejak tahu 2016 lalu terus memburuk. Bahkan, kencerunganya semakin merosot tajam. Kondisi itu tak lepas dari dualisme kewenangan antara Pemerintah Kota (Pemko) Batam dan Badan Pengusahaan (BP) Batam. Ditambah lagi, kebijakan-kebijakan yang dirilis oleh BP Batam sejak 2016 lalu, cenderung kontra produktif dan memukul bisnis para pengusaha.

Agar ekonomi Batam tidak "terjun bebas", maka Komisi VI DPR RI mengakan kunjungan kerja ke Provinsi Kepri dan dilanjutkan dengan rapat di Kantor Walikota Batam, Kamis, 20 April 2017. Syukurlah, rapat itu menghasilkan keputusan, Komisi VI DPR RI akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) membahas tumpang tindih kewenangan BP Batam dan Pemko Batam.

Sebenarnya, apa saja sih kebijakan BP Batam yang "memukul" kalangan dunia usaha itu? Salah satunya adalah IPH, Izin Peralihan Hak. Kebijakan ini sesungguhnya kontradiktif dengan kebijakan Presiden Jokowi.

Jika Presiden Joko Widodo selama ini concern dengan percepatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, sampai-sampai harus menerbitkan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE). Telah 14 PKE diterbitkan Presiden Jokowi, apalagi kalau bukan untuk “mentorpedo” berbagai hambatan ekonomi di Indonesia. Karena memang begitulah komitmen Presiden Jokowi yang dituangkannya dalam Program Nawacita-nya.

Kini, pemerintah tengah menyiapkan PKE XV, sebuah paket kebijakan yang dimaksudkan untuk menekan biaya logistik. Intinya, Presiden Jokowi akan terus “membuldozer” berbagai kebijakan yang menghambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sampai nantinya terjadi pemerataan ekonomi dan perekonomian masyarakat Indonesia bertumbuh positif.

Sayangnya, concern pemerintah dan Presiden Jokowi itu tampaknya hanya untuk wilayah lain di seluruh Indonesia, kecuali Batam. Ya, kecuali di Batam. Seolah aneka PKE yang telah dilepas Kabinet Kerja pimpinan Presiden Jokowi itu “meleset” dan melesat jauh meninggalkan Batam. Alih-alih mempercepat pertumbuhan ekonomi, yang terjadi di Batam justru sebaliknya. Berbalik 180 derajat dari cita-cita mulia Nawacita. Apa buktinya?

Buktinya adalah IPH, Izin Peralihan Hak. “Momok” ini adalah hasil “kreativitas” Kepala Badan Pengusahaan (BP Batam), Hatanto Reksodipoetro dan “tim elitnya”. Saat ini, terdapat 2000 IPH yang mandeg dan belum diproses oleh BP Batam. Itu IPH yang diajukan oleh perusahaan pengembang saja, tidak termasuk IPH masyarakat umum.

Padahal, IPH merupakan salah satu syarat utama pelaksanaan akad Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan perbankan. Akibatnya, bisnis macet. Traksaksi jual beli rumah pun mampet. Tak hanya perusahaan property saja yang mengalaminya. Masyarakat Batam yang akan menjual rumahnya pun tak bisa.

Mereka harus mengantongi IPH terlebih dahulu. Sungguh, suatu kebijakan yang "unik" di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Untuk menjual rumah sendiri, yang dibeli secara legal dengan dokumen yang legal pula, harus meminta izin kepada "pemerintah". Tidak cukup hanya dengan membayar pajak transaksi jual beli. Di negara dengan sistem apa aturan ini berlaku?

Yang juga merasakan "pahitnya" kebijakan anomali di Batam itu bukan hanya kalangan swasta dan masyarakat saja, tapi juga Pemerintah Kota (Pemko) Batam. Perolehan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) Pemko Batam merosot significan. Karena IPH macet di Kantor BP Batam. Padahal 30 persen perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemko Batam bersumber dari BPHTB, yaitu sebesar Rp300 miliar.

"Menariknya", menghadapi perlambatan perekonomian di Kota Batam dan merosotnya PAD Pemko Batam tersebut, Kepala BP Batam berkomentar ringan, pihaknya tidak dapat berbuat banyak atas minimnya perolehan BPHTB Pemko Batam itu. Dalihnya, karena BP Batam sendiri juga mengalami penurunan pendapatan akibat "momok" IPH itu.

Intinya, anomali kebijakan ekonomi di Batam ini masih terjadi dan seolah luput dari pantauan Presiden Jokowi. Meskipun beberapa kali asosiasi pengusaha di Batam berangkat ke Jakarta untuk mengadukan masalah ini, baik kepada menteri sampai dengan Wapres JK dan Presiden Jokowi. Hasilnya masih nihil bin tanpa hasil. Ikhtiar terbaru yang dilakukan Kadin Kepri adalah mengadukan masalah kelesuan ekononi di Batam ini kepada wakil rakyat, DPR RI.

Semoga saja, ikhtiar kali ini akan membuahkan hasil. Karena para pengusaha di Kota Batam “mencium” adanya back-up “super kuat” di belakang para Pimpinan BP Batam itu. Sehingga, kebijakan-kebijakan “kreatif” mereka yang kontra-produktif dengan pertumbuhan ekonomi di Batam pun, dibiarkan saja. Seolah, tak ada yang sanggup menghadapinya. Bahkan, Pemko Batam dan Pemerintah Provinsi Kepri.

Akibatnya, perusahaan-perusahaan asing dan lokal di Batam, berguguran. Kepala Dinas Tenaga Kerja Kota Batam ,Rudi Sakyakirti merilis, sedikitnya ada 23 perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan dan jasa gulung tikar. Akibatnya, sekitar 889 orang menjadi pengangguran baru di Kota Batam.

Terakhir, yang "tutup buku" itu adalah PT Sanyo di Kawasan Industri Batamindo Mukakuning Batam. Jumlah 23 perusahaan yang gulung tikar itu belum termasuk PT Technip, sebuah perusahaan galangan kapal yang berada di Tanjunguncang. Perusahaan ini memilih “balik kanan” dan menyumbang sekitar 500 orang penganggur baru.

Redupnya perekonomian Batam itu dikonfirmasi oleh Kepala Bank Indonesia (BI) Perwakilan Kepri, Gusti Raizal Ekaputra. Menurut data BI Perwakilan Kepri, kondisi ekonomi Kepri secara umum saat ini sedang redup.

Jika pada tahun 2009 lalu, pertumbuhan ekonomi Kepri sebesar 3,2 persen, akibat dipukul krisis ekonomi global. Tapi kemudian, bangkit beberapa tahun setelahnya dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen atau melebihi pertumbuhan nasional yang hanya sekitar 5,9 persen.

Namun, pada 2016 pertumbuhan ekonomi di Kepri kembali turun menjadi 5,03 persen. Dan daerah yang memberikan kontribusi terbesar untuk ekonomi Kepri adalah Batam, yaitu sekitar 80 persen. Terjun bebasnya pertumbuhan ekonom Kepri itu justru terjadi pada saat perekonomian Indonesia bertumbuh positif. Satu lagi, bukti anomali kebijakan ekonomi di Batam itu terjadi.

Dengan kondisi tersebut, jangan kaget jika pada saat Manajemen PT Sumitomo Batam menggelar rekrutment untuk 60 orang di Multi Purpose Hall (MPH) Batamindo, Seibeduk, Batam, Rabu, 12 April 2017 lalu, yang daftar berebut peluang itu ribuan orang. Para pencari kerja itu terpaksa harus berdesak-desakan, saling dorong untuk memasukan lamaran. Sudah pasti, kericuhan tak terhindarkan terjadi.

Fakta-fakta tersebut di atas, sulit rasanya dibantah. Kecuali dengan berbagai dalih sebagai jurus berkelit tingkat tinggi. Intinya, yang terjadi saat ini, bisnis di Kota Batam stagnan. Para pengusaha lebih banyak duduk-duduk di kedai kopi, sekadar untuk “membunuh” hari. Apalagi yang bisa dilakukan dengan kondisi ekonomi seperti itu.

Saat ini, harapan besar para pengusaha dan masyarakat Kota Batam itu ditaruh di pundak para anggota Komisi VI DPR RI. Mereka telah menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, di Jakarta, Selasa, 11 April 2017 lalu. RDP itu dipimpin Wakil Ketua Komisi VI Inas Nasrullah Zubir dari Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan dihadiri Ketua Kadin Kepri Ahmad Makruf Maulana, Ketua INSA Batam Oesman, Ketua FORPPI Batam, asosiasi pengusaha, serta pengurus Kadin Kepri dan Batam.

Kabarnya, Komisi VI DPR RI itu akan berkunjung ke Batam sebagai langkah kongkrit menyelesaikan anomali kebijakan ekonomi di Kota Batam ini. Kebijakan yang bukan saja kontra-produktif dengan pertumbuhan ekonomi. Tapi juga anomali dengan concern Presiden Jokowi. Sampai kapan nasib Batam akan seperti ini. Entahlah!

Penulis adalah Pemerhati Sosial dan Politik Kepri