Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Membaca Manuver Politik Amien Rais
Oleh : Redaksi
Jum\'at | 20-04-2018 | 17:28 WIB
Amien-Rais.jpg Honda-Batam
Amien Rais dalam salah satu aksi demo. (Foto: Is)

Oleh Moh. Ariyanto, S.H

POLEMIK kontroversi Amien Rais dalam pentas politik nasional sejak reformasi terus saja bergulir. Penyataan dan sikap politiknya seringkali menuai perdebatan publik dan cenderung membentuk kutub-kutub yang berbenturan dan jarang sekali membangun kondisi damai. Kali ini statemennya tentang partai Allah dan partai setan telah membawa hawa panas tidak hanya dalam iklim politik namun sudah merasuk pada ranah teologis.

Mantan ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ini telah melontarkan kata-kata kontroversi di masyarakat. Amien Rais menjadi sorotan publik karena ucapan kalimatnya tentang partai Allah dan partai setan dalam acara ritus keagamaan di kawasan Mampang, Jakarta Selatan.

Sebagai aktor politik era reformasi tentu tidak elok bila Amien Rais melakukan kicauan politik dalam forum keagamaan. Menurut penulis publik lebih menginginkan Amien Rais menjadi tauladan tokoh politik yang baik dan mapan dengan gagasan intelektualnya. Dengan mengkatagorikan dua kubu politik, sungguh membahayakan perjalanan demokrasi bangsa Indonesia, apalagi yang ditentukan olehnya merupakan dua kubu ekstrim dalam teologi.

Konteks demokrasi Indonesia merupakan instrumen sirkulasi kepemimpinan yang damai dan demokratis. Sebagai tokoh politik, semestinya Amien Rais tidak mendelegitimasi partai-partai tertentu. Menurut Lely Arrianie, para elit politik seharusnya dapat memperlihatkan kecerdasannya dalam menyampaikan pendapat di hadapan publik. Lely Arrianie yang merupakan pakar komunikasi politik Universitas Padjajaran Bandung menyayangkan penyataan kontroversial Amien Rais (Jawapos.com,14/04/18).

Walaupun Amien Rais tidak secara spesifik menyebutkan daftar partai setan, namun ia telah secara gamblang dan bersaksi bahwa PAN, PKS dan Gerindra merupakan partai Allah. Dengan mendikotomikan partai-partai tertentu jelas pesan yang disampaikannya telah menyumbangkan kegaduhan pada masyarakat.

Kita dibawa kembali ke suatu masa dimana agama dijadikan alat politik untuk berkuasa. Kontroversi yang diciptakan Amien Rais ini menduplikasi pemikiran dirinya yang dangkal bahwa ia tidak lagi produktif menghadirkan ide brilian, gagasan perubahan dan menyegarkan.

Semestinya dua puluh tahun pasca reformasi, demokrasi Indonesia dapat menghadirkan iklim kompetisi politik yang bermartabat dan santun, yang bertujuan mempererat kesatuan dan persatuan bukan menciptakan perebutan kuasa semata. Kita berharap tokoh-tokoh bangsa dan elite politik dapat mempertontonkan diksi-diksi atau kalimat yang pantas dicontoh dan dapat menjadi modeling bagi generasi muda.

Tidak Mencerminkan Demokrasi Indonesia

Membanguan reputasi partai dalam dunia politik tidak seharusnya memperalat keimanan dengan cara memperdagangkannya. Semestinya, berpolitik harus berbasis logika dan fakta. Argumentasi yang dibangun meliputi visi dan misi atau ideologi dan dapat pula program-program atau capaian prestasi lainnya kepala khalayak umum. Cara yang rasional ini dapat ditempuh dengan penyampaian platform dan program partai yang seluruhnya faktual.

Amien Rais tidak lagi memberi contoh yang pantas dalam dunia politik. Manuver politiknya tidak lagi memuat gagasan-gagasan besar dalam pembangunan bangsa dan negara. Tidak seperti masa lalu, dimana dalam pertualangannya menambal dan menyulam kerusakan yang terjadi di negeri ini, ia kukuh bersama barisan intelektual lainnya menegakkan demokrasi yang mapan berikut hukum yang adil.

Namun, Saat ini Amien Rais seringkali hadir dengan polemik kontroversi demi mendulang popularitas dirinya yang kian pudar. Untuk mendapat tempat di mata publik, Amien Rais kian suka nimbrung ke dalam air atau ikut membakar dirinya ke dalam isu strategis dunia politik.

Sebenarnya kita merindukan kapasitas Amien Rais sebagai inteletual organik yang brilian dalam gagasan dan bergerak di dunia politik. Walaupun yang disampaikan Amien Rais berdasar pada penafsiran firman Allah Al-Maidah ayat 56 dan Al-Mujadalah ayat 19-22, tetap saja mendikotomikan partai ke dalam urusan keagamaan menjadi indikator yang merusak demokrasi.

Sejak Indonesia merdeka, kita tidak pernah menolak keikutsertaan Islam dalam politik, hanya saja kegoisan oknum keagamaan atau lebih tepat ia yang manasbihkan dirinya sebagai utusan paling pantas dari agamanya yang tidak dapat kita muluskan.
Demokrasi dan sirkulasi kepemimpinan

Seorang tokoh masyarakat, elit politik dan pejabat publik harus dapat menjadi contoh yang baik dalam berpolitik. Tidak semestinya sebutan partai setan terucap dari elit politik. Seluruh elemen bangsa dan negara harus menjaga dan menciptakan kondusifitas iklim demokrasi Indonesia. Tujuan kemerdekaan Indonesia bukan berkuasa atas sesamanya, tetapi mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia dan kesemuanya itu dapat dicapai dengan pembangunan yang maju, kebudayaan yang santun terlestarikan serta kemandirian ekonomi, bukan pertikaian internal elit politik untuk kekuasaan.

Karena demokrasi yang berjalan di Indonesia merupakan media mensuling pemimpin yang baik tentu pola kerja dan kinerja berpolitik semestinya dilakukan dengan cara yang sehat. Indonesia merupakan kumpulan pulau-pulau yang beraneka ragam suku dan budaya yang dipersatukan.

Indonesia merdeka atas nama kesatuan, kuat karena sanggup menerima perbedaan. Sudah seharusnya generasi tua mencerminkan hal-hal baik kepada generasi muda agar persatuan bangsa di masa datang tetap berjalan baik dan solid. Jadi, penafsiran firma Allah dalam Al-maidah ayat 56 dan Al-Mujadalah ayat 19-22 merupakan tafsir atas kategori sifat manusia secara prinsipal, bukan suatu organisasi kepartaian politik.*

Penulis adalah Penggagas Padepokan Jokotole (Lingkar Kajian Strategis Kedaerahan Mahasiswa Sumenep Yogyakarta)