Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mengenal dan Mewaspadai Difteri Pada Anak
Oleh : Redaksi
Sabtu | 23-12-2017 | 17:14 WIB
Difteri-Pada-Anak.jpg Honda-Batam
Ilustrasi difteri yang menyerang anak. (Foto: Ist)

Oleh Rahmat Effendy

BEBERAPA hari terakhir ini, Indonesia dikagetkan dengan maraknya orang terserang penyakit difteri. Difteri disebabkan infeksi bakteri corynebacterium diphtheriae dan biasanya mempengaruhi selaput lendir hidung dan tenggorokan. Biasanya, difteri menyebabkan sakit tenggorokan, demam, kelenjar getah bening membengkak dan lemas.

 

Tetapi, ciri difteri yang khas adalah munculnya pseudomembran atau selaput berwarna putih keabuan di bagian belakang tenggorokan yang mudah berdarah jika dilepaskan.

Hal ini yang menyebabkan rasa sakit saat menelan, kadang disertai pembesaran kelenjar getah bening, dan pembengkakan jaringan lunak di leher yang disebut bullneck. Sumbatan ini bisa menghalangi jalan napas, menyebabkan harus berjuang untuk bisa bernapas.

Difteri juga bisa menyebabkan komplikasi yang serius dimana selama fase awal penyakit atau bahkan berminggu-minggu kemudian, pasien mungkin mengalami detak jantung yang tidak normal, yang dapat menyebabkan gagal jantung. Komplikasi yang paling parah dari difteri adalah obstruksi pernapasan yang diikuti oleh kematian.

Menyebarluasnya penyakit difteri ini menimbulkan keresahan di masyarakat Indonesia. Semakin meluasnya wabah difteri, juga membuat Kementerian Kesehatan akhirnya menetapkan status kejadian luar biasa (KLB). Status KLB merupakan respons darurat yang diberikan oleh pemerintah dalam mengklarifikasi dan menanggulangi wabah penyakit baik menular maupun tidak menular dalam kurun waktu tertentu.

Ditetapkannya penyebaran penyakit difteri sebagai KLB atau kejadian luar biasa oleh pemerintah bukanlah tanpa tindakan nyata lainnya. Pemerintah yang diwakili Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan ada 3,5 vial vaksin difteri yang tersedia saat ini.

Ia menilai jumlah vaksin cukup banyak untuk masyarakat karena satu vial vaksin dapat diberikan kepada 8-10 orang.
Tak hanya sampai disitu, pemerintah juga telah menggenjot PT Bio Farma agar meningkatkan produksi vaksin difteri untuk persediaan pada 2018 dimana PT Bio Farma adalah produsen vaksin terbesar nomor 4 di dunia.

Pemerintah juga belakangan telah melakukan vaksinasi serentak di tiga provinsi Indonesia guna menekan jumlah penderita difteri.

Faktor Non-Medis dan Pandangan Masyarakat

Di luar faktor medis, sejumlah hal di bawah ini juga menjadi penyebab tidak langsung meningkatnya penyebaran penyakit difteri di masyarakat.

1. Banyak orang tua tidak suka terhadap efek yang ditimbulkan oleh imunisasi DPT terhadap anak seperti suhu badan anak menjadi panas.
2. Lingkungan padat dan jumlah anggota penghuni rumah yang banyak ikut menyebabkan pola penularan difteri lebih cepat.
3. Berita vaksin palsu yang merebak pada Juni 2016 walau telah ditangani oleh Kementerian Kesehatan dengan cara vaksinasi ulang di daerah beredarnya vaksin palsu masih mempengaruhi pandangan sebagian masyarakat terhadap fungsi vaksin.

4. Pendidikan rendah orang tua sangat mempengaruhi perilaku dan tingkat pengetahuan mereka tentang cara hidup sehat dan bersih serta manfaat pemberian imunisasi bagi anaknya.
5. Kurangnya gaya hidup sehat dan bersih yang ditanamkan di sekolah membuat banyak anak sekolah ketularan difteri di sekolah.

6. Adanya pandangan sebagian masyarakat bahwa vaksin itu haram walau hal tersebut telah diklarifikasi oleh pemerintah melalui Majelis Ulama Indonesia.
7. Adanya pandangan bahwa kekebalan tubuh sebenarnya sudah ada pada setiap tubuh individu. Sekarang tinggal bagaimana menjaganya dan bergaya hidup sehat, sehingga tidak perlu imunisasi.

Pentingnya peran orang tua dalam kasus ini

Terkait meningkatnya kasus difteri di beberapa tempat, orangtua sebaiknya mengenali gejala awal penyakit ini. Gejala awal difteri bisa tidak spesifik, yakni:

1. Demam tidak tinggi
2. Nafsu makan menurun
3. Lesu
4. Nyeri menelan dan nyeri tenggorok
5. Sekret hidung kuning kehijauan dan bisa disertai darah

Walau begitu, ada tanda khas pasien mengalami difteri yang bisa dilihat dari tenggorokannya, yakni ditandai berupa selaput putih keabu-abuan di tenggorok atau hidung, yang dilanjutkan dengan pembengkakan leher atau disebut sebagai bull neck. Jika pada diri anak terdapat ciri-ciri seperti itu, maka orang tua jangan hamya diam tak melakukan apa apa. Orang tua harus memberi perhatian khusus dan segera memeriksakan anaknya.

Bagi orang tua yang pada anaknya tidak ada indikasi penyakit difteri ini, maka alangkah baiknya memperhatikan keseharian sang anak. Jangan biarkan anak jajan sembarangan karena makanan yang tak sehat berpotensi membuat anak sakit. Orang tua harus mau sedikit repot dengan membuatkan sang anak bekal makanan yang sehat baik untuk ke sekolah maupun bermain dengan temannya.

Paling tidak dengan membuatkan anak makan, orang tua bisa memastikan kehigienisan makanan tersebut. Sehingga anak dapat terhindar dari berbagai penyakit yang tentunya tak diinginkan. Oleh karena itu sebagai orang tua yang baik, mari jaga anak-anak kita sebaik-baiknya karena merekalah aset bangsa.

Jangan takut dan ragu bila anak terindikasi terkena suatu penyakit untuk segera pergi merujuk ke dokter, karena lebih cepat ditanganinya suatu penyakit akan lebih baik. *

Penulis Adalah kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)