Benarkah Kini Batam Menjelma Jadi Kota yang Tak Berkeadilan?
Oleh : Redaksi
Jum\'at | 30-06-2017 | 08:00 WIB
rudi-amsakar_di_jodoh.jpg
Walikota Batam H. Muhammad Rudi dan Wakil Walikota Amsakar Achmad saat meninjau proyek pelebaran jalan di kawasan Jodoh. (Foto: Humas Pemko Batam)

PEMBANGUNAN akses jalan yang gencar dilakukan Wali Kota Batam, H. Muhammad Rudi sejak tahun lalu, tak saja mengundang decak kagum warganya. Tapi, ada juga diantara mereka yang melihat ada yang "terlupakan". Apa itu? Berikut ini hal "terlupakan" menurut seorang warga Batam bernama Wangsa Syailendra di media sosialnya.

Dalam akun facebooknya, Wangsa Syailendra mengawali wall-nya dengan menyapa Wali Kota Batam H. Muhammad Rudi dan para netizen.

"Pak Wali dan netizen, kota kita bukanlah ruang hampa yang terbentuk hanya oleh kumpulan beton, baja dan kaca. Jiwa kota, sesungguhnya adalah ruang gerak untuk pejalan kaki yang berkaitan secara sempurna dengan komponen kota lainnya," demikian kalimat pertama Wangsa Syailendra.

Kemudian, akun facebook bergambar wayang itu menulis lengkapnya begini :

Terlihat, setelah kita cermati secara teliti adanya seabrek kelemahan oleh para perencana, lebih sering terlihat sebagai benda phisik (physical artifact) ketimbang sebagai benda budaya (cultural artifact).

Ruang Kota Batam tidak lagi akomodatif bagi pejalan kaki. Sistem transportasi yg didominasi oleh kenderaan pribadi dan pengangkutan umum (Bimbar) mendesak ruang gerak pejalan kaki.

Demikian pula penempatan barang dagangan di kaki lima toko-toko yang ditempati pedagang kaki lima yang semakin agresif menempati trotoar jalan. Pejalan kaki akhirnya terpaksa berkompetensi dengan Kenderaan bermotor secara tidak adil di badan jalan.

Peran serta pejalan kaki yang secara historis merupakan sumber dari tumbuh dan berkembangnya peradaban budaya manusia telah sirna. Lihatlah di seputar kaki lima Puja Bahari, seputar Toko Sarinah, depan kaki lima sebelah Hotel Nagoya Plaza oleh para pedagang kuliner dan Pasar Jodoh sekitarnya.

Di depan Rumah Makan Sederhana, jalan arah ke Penuin, semua trotoar tertutup oleh kuliner seafood warteg. Di trotoar yang sempit, pejalan kaki atau pemakai trotoar akhirnya terdesak ke badan jalan.

Untuk yang selesai shopping di Nagoya hill harus berjalan di tengah badan jalan takala mau kembali ke Hotel Nagoya Plaza, juga karena terhalang dengan estalase dan meja serta kursi penjual aneka sate.

Di samping itu tertutup oleh jejeran parkir kendaraan para penikmat kuliner di sepanjang seratus meter. Sehingga jalan tersebut menjadi sempit untuk pemakai jalan. Kenyataan ini sungguh merupakan potret kota kita yang tidak berkeadilan dan ini perlu segera diperbaiki.

Semua jalan di tempat shopping atau jajan harus akomodatif yang merupakan surga bagi pedesterian. Seperti jalan Jalan Woodtrade Centre di Singapura, the Ramblas di Barcelona Spanyol, avenue des Champs-Elysees yang membentang sepanjang 2 kilometer dari Place de La cobcorde ke Place the L" Etoile yang memiliki reputasi menonjol sebagai jalan pedestarian tersohor di dunia.

Semoga bisa. Paling tidak bisa menyerupai sedikit arah ke sana.

Editor: Dardani