Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Ini Tradisi Warna dan Hari yang Selamatkan PKL di Bangkok dari Penggusuran
Oleh : Redaksi
Kamis | 26-10-2017 | 10:14 WIB
PKL-di-Bangkok.gif Honda-Batam
Jalanan Bangkok terlihat meriah dengan keberadaan para pedagang kaki lima (Sumber foto: BBC Indonesia)

BATAMTODAY.COM, Bangkok - Ketika pemerintah Thailand melarang pedagang kaki lima, para penjaja makanan di kawasan Ari berkumpul lalu menjalankan ritual kuno yang penuh warna dan bersemangat.

Saat Raja Thailand Bhumibol Adulyadej wafat pada Oktober 2016, penduduknya masuk dalam kedukaan yang mendalam, lalu mengenakan pakaian serba hitam sebagai simbol duka cita.

Kini sebagian besar warga Thailand telah kembali bersinggungan dengan beragam warna. Namun bagi para penjaja kuliner di kawasan Ari, Bangkok utara, yang hiruk-pikuk dengan aktivitas jual beli panganan pinggir jalan, warna-warni itu lebih dari simbol keberagaman.

Sejak 2014, pemerintahan militer Thailand mulai membersihkan Bangkok dari aktivitas pedagang kaki lima sebagai upaya mengurangi sampah dan memberikan akses yang lebih luas bagi pejalan kaki.

Inisiatif tersebut memicu pro dan kontra dari masyarakat setempat yang pada umumnya menilai penting sanitasi, namun mereka tak setuju dengan jalan keluar pemerintah.

Pada Desember 2016, pemerintah memberi tenggat waktu hingga 8 Maret 2017 kepada seluruh pedagang kaki lima di kawasan Ari untuk angkat kaki dari daerah yang populer dengan kuliner pinggir jalan.

Namun satu hari sebelum batas waktu itu berakhir, pemerintah mengubah kebijakan mereka. Mereka menyatakan, pedagang kaki lima diizinkan tetap berjualan untuk sementara.

Kuliner jalanan merupakan komponen penting bagi masyarakat Thailand. Penganan jenis itu dijual dengan harga ramah kantong dibandingkan yang ditawarkan restoran.

Pada jam makan siang atau petang saat jam pulang kantor, trotoar di kawasan Ari dipadati masyarakat yang kelaparan dan menanti pesanan mereka datang.

Satu kios makanan yang berinterior bak sebuah kafe di ujung jalan Phahon Yothin 7 terkenal karena gub kao (nasi putih) yang disajikan dengan beragam pilihan lauk daging dan sayur-mayur di atas wajan logam.

Khawatir kehilangan tempat berjualan, komunitas pedagang kaki lima di kawasan Ari kemudian menggelar pertemuan rutin untuk menemukan cara menyelamatkan mata pencaharian mereka.

Dalam salah satu pertemuan tersebut, para pedagang itu sepakat menjalankan tradisi lokal kuno yang mendorong mereka mengenakan pakaian berwarna-warni. Tujuan mereka memperindah sekaligus menghadirkan nilai estetika di trotoar Bangkok.

Di Thailand, setiap hari dalam satu pekan terikat dengan satu warna spesifik sebagai penanda hubungan antara manusia dan sang pencipta. Tradisi itu berakar dari agama Hindu yang mempengaruhi budaya Thailand sejak Kerajaan Angkor menguasai kawasan itu pada abad ke-9 hingga abad ke15.

Planet, menurut ajaran itu, menjadi penjelmaan karakter dewa-dewa dalam ajaran Hindu. Surya misalnya, memiliki citra kejam sehingga diasosiasikan dengan matahari.

Di Thailand, para dewa disimbolkan dengan warna tertentu berdasarkan penampakan planet yang diasosiasikan dengan mereka.

Contohnya, Selasa diinterpretasikan dengan merah jambu, sebagaimana warna planet Mars yang juga dikaitkan dengan Mangala, dewa perang yang sebenarnya terkenal dengan warna merah dalam mitologi Hindu pada umumnya.

Pada hari Rabu, para pedagang kaki lima itu mengenakan pakaian serba hijau, merujuk pada Dewa Merkurius atau Budha dalam mitologi Hindu.

Hari Kamis, mereka mengenakan pakaian oranye yang menyimbolkan Jupiter dan Dewa Brihaspati. Adapun saat Jumat, warna biru muda mewakili Venus dan Dewa Shukra.

Saat Sabtu datang, pakaian ungu dikenakan untuk menyimbolkan Saturnus dan Dewa Shani. Pada hari Minggu, merah menyimbolkan matahari dan Dewa Surya.

Warna hari Senin adalah kuning, untuk menghormati bulan dan Dewa Chandra. Kuning merupakan bendera raja Thailand karena para mendiang dan raja petahana lahir pada hari Senin. Potret para raja itu juga kerap menyertakan warna kuning.

Meskipun setiap warna dikaitkan dengan dewa-dewa, tradisi mengenakan satu warna tertentu untuk hari yang berbeda telah dijalankan masyarkat Thailand sejak lama. Mayoritas penduduk negara itu pun tak menganggapnya sebagai bagian dari ritual keagamaan.

Warga Thailand mulai mengenal tradisi warna dan hari itu sejak duduk di bangku sekolah. Kini praktek itu lebih dari sekedar menaati ajaran agama.

"Anda mempelajari warna dan hari itu pada saat yang sama dengan mengenal alfabet," kata Lek, pedagang buah di kawasan Ari.

Selama berabad-abad, warna tertentu dianggap membawa keberuntungan jika dikenakan pada hari tertentu. Biru muda diyakini dapat menghadirkan keberuntungan jika dikenakan hari Jumat, namun segala jenis tingkatan warna biru dapat mendatangkan musibah di hari Minggu.

Bagi kelompok masyarakat yang percaya takhayul, tradisi warna dan hari ini masih dipegang teguh. Mereka percaya, tak mengenakan warna yang sesuai dengan hari memiliki konsekuensi dalam kehidupan nyata, dari penyakit sampai nasib sial.

Lahir pada hari Selasa, perempuan keturunan Thailand-Amerika Serikat, Darra Christensen, menyebut keluarganya terus-menerus khawatir pilihannya tak menggunakan dompet merah jambu yang diyakini dapat meningkatkan kesejahteraan.

"Awalnya saya sangat bingung, tapi kemudian saya mulai sadar bahwa setiap orang memperhatikan warna yang mendatangkan keberuntungan dan kesialan, tergantung pada hari mereka dilahirkan," ujar Darra.

Meskipun sulit mengukur pengaruh tradisi mengenakan warna khusus pada hari tertentu terhadap para pedagang kaki lima di kawasan Ari. Namun menurut beberapa dari mereka, kesatuan warna itu meyakinkan pemerintah bahwa pedagang kaki lima dapat mengatur komunitas secara internal.

Warna-warna itu disebut membantu para penjaja kuliner jalanan mengurai kepadatan pengunjung. Jika konsumen mengeluhkan sampah dan kemacetan, otoritas pemerintah setempat dapat dengan mudah mengosongkan kawasan itu.

Dengan melihat warna pakaian, para pedagang kaki lima di Ari juga secara cepat dapat mengidentifikasi penjual makanan dari luar daerah yang masuk ke kawasan mereka.

Bagi Chaiwat Kanom Pansip yang menjual panada berisi kari ikan, tradisi mengenakan pakaian berwarna sama turut memicu kebersamaan di antara para pedagang kaki lima di Ari. Menurut dia, mereka merasa berada dalam satu tim sehingga tidak saling bersaing.

"Tradisi ini menghadirkan kebersamaan dan memudahkan kami menunjukkan rasa saling memiliki itu," ujarnya.

Sumber: BBC Indonesia
Editor: Udin