Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

AS Bingung Tangani Pendeportasian 47 WNI Akibat Regulasi Trump
Oleh : Redaksi
Sabtu | 21-10-2017 | 11:02 WIB
presiden-AS.jpg Honda-Batam
Presiden Amerika Serikat Donald Trump (REUTERS/Jonathan Ernst)

BATAMTODAY.COM, Batam - Hakim Amerika Serikat galau mempertanyakan seberapa lama lagi dia dapat menunda proses deportasi 47 warga negara Indonesia yang tinggal secara ilegal di New Hampshire setelah kabur dari tragedi 1998.

"Ini adalah kasus yang sulit. Mereka adalah orang baik dan tulus yang sudah tinggal di sini dengan restu kami dan bekerja sama dengan otoritas dan tak pernah melanggar semua aturan yang kami berikan kepada mereka," ujar Kepala Hakim Distrik AS, Pati Saris, kepada Reuters.

Meski berstatus ilegal, puluhan WNI itu diberi kesempatan untuk tinggal di Negeri Paman Sam berkat kesepakatan tahun 2012 yang dinegosiasikan secara independen dengan kantor imigrasi AS.

Melalui kesepakatan ini, sejumlah imigran ilegal di AS diberi penangguhan sanksi keimigrasian dan izin tinggal dengan syarat penahanan paspor dan kewajiban melapor rutin ke kantor Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) sesuai jadwal.

Namun, keadaan berubah ketika Presiden Donald Trump naik takhta pada Januari lalu. Tak lama setelah dilantik, Trump langsung menandatangani perintah eksekutif yang menghapuskan perjanjian pengecualian ICE tersebut.

Terhitung mulai Agustus, semua warga yang datang ke kantor ICE untuk melakukan pelaporan rutin justru harus menerima kenyataan pahit. Mereka diminta membeli tiket pulang ke negara asal.

"Kami takut pulang ke rumah [Indonesia]. Kami takut keamanan anak-anak kami terancam. Di AS, anak-anak kami bisa hidup dengan aman," tutur Meldy Lumangkun, WNI keturunan Tionghoa yang kabur ke AS setelah tragedi 1998.

Keluarga Lumangkun sendiri merupakan satu dari sederet orang Indonesia-Tionghoa di New Hampshire yang melarikan diri dari tregadi 1998, saat kerusuhan akibat krisis moneter berkecamuk hingga menewaskan 1.000 orang terjadi.

Saat itu, keturunan Indonesia-Tionghoa kerap menjadi sasaran diskriminasi di Indonesia lantaran besarnya kontrol mereka terhadap bisnis dan perdagangan di negara mayoritas Muslim tersebut.

Dalam beberapa kasus pada 1998, orang-orang Tionghoa bahkan menjadi sasaran pembunuhan hingga pemerkosaan, memaksa sebagian dari mereka mengungsi ke negara lain.

Sejumlah advokat pun menuntut ICE untuk menghentikan deportasi ini. Terdesak, Saris memerintahkan penangguhan sementara proses deportasi ini, sembari mempelajari kewenangan apa saja yang ia miliki untuk menangani kasus ini.

"Pemerintah mengingkari janjinya. Itu yang saya khawatirkan di sini," kata Saris.

Sumber: CNN Indonesia
Editor: Gokli