Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Selama 15 Tahun, KPK Lebih Disibukkan Urus Kasus Kelas Teri
Oleh : Irawan
Minggu | 30-07-2017 | 09:30 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Terlalu sibuk dengan kasus-kasus 'teri' melalui strategi Operasi Tangkap Tangan (OTT), seperti OTT Bengkulu Rp 10 juta, OTT BPK dan Kemendes Rp 40 juta dan OTT Irman Gusman Rp 100 juta, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK gagal fokus. Pasanya, banyak kasus besar yang jumlah kerugian Negara triliunan rupiah tidak tersentuh.

Koalisi Masyarakat Penegak Akuntabiltas KPK (Kampak) dalam siaran persnya, Sabtu (29/7), menyebut banyak kasus-kasus besar yang tidak mendapatkan perhatian serius dari lembaga antirasuah it, misalnya kasus BLBI (Rp 144,5 triliun), Kasus Century (Rp 7,4 triliun), Kasus Sumber Waras (Rp 191 milyar), Kasus Pelindo II (Rp 4,08 triliun), dan Reklamasi Teluk Jakarta (Rp 661,3 triliun).

"Jadi 15 tahun KPK, gagal fokus. Effect Deterence (Pencegahan) tidak tercapai, salah satunya tidak ada Shock Theraphy terhadap jumbo korupsi," ungkap Korlap Kampak, Yonpi Saputra dalam siaran persnya, Sabtu (29/7).

Mestinya, lanjut Yonpi, KPK jangan tebang pilih dalam menindak kasus korupsi. KPK, menurut dia harus bergerak berlandaskan pada audit investigatif Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), sehingga bisa membongkar kasus-kasus big fish>

"Tidak seperti sekarang, yang lebih mengandalkan OTT kasus-kasus receh hanya demi mengejar popularitas di media saja," sindirnya.

Strategi yang salah tersebut, kata Yonpi, telah menjerumuskan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia, makin merosot tajam. Pada tahun 2000 IPK Indonesia di peringkat 85. Tahun 2002, KPK lahir, Indonesia di posisi 96. Lalu, merosot ke posisi 122 pada tahun 2003, tahun 2007 di posisi 143, tahun 2012 di posisi 118, tahun 2013 di posisi 114 dan tahun 2014 di posisi 107.

"Bisa disimpulkan bahwa kelahiran KPK belum bisa memberantas korupsi di Indonesia dan bahkan yang terlihat korupsi makin subur dibuktikan oleh IPK yang terus bertegger di atas 100," ucapnya.

Tentu saja, lanjut Yonpi, hal tersebut sangat menyedihkan karena KPK sudah dibekali perangkat yang sangat lengkap baik dari UU maupun besaran anggaran. Dari segi UU misalnya KPK bisa leluasa menyadap dan menangkap tanpa perlu lagi minta izin presiden. Dan segi anggaran, tiap tahun KPK menghabiskan anggaran sebesar Rp.1 triliun.

"Angka ini lebih besar bila dibandingkan dengan asset recovery yang disetorkan oleh KPK hanya Rp 700 milyar," katanya lagi.

Karena itu, Kampak menyarankan sebaiknya KPK membuka diri terhadap kritik publik, termasuk akomodatif terhadap kerja Pansus DPR. Bukan malah berupaya menggagalkan pansus.

"Ingat, DPR adalah wakil rakyat yang memiliki hak pengawasan terhadap kinerja lembaga negara yang telah menggunakan uang rakyat," tegas Yonpi.

Editor: Surya