Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mengedepankan Nilai-nilai Kearifan Lokal sebagai Media Resolusi Konflik
Oleh : Opini
Rabu | 17-05-2017 | 09:14 WIB
Ilustrasi-Kearifan-Lokal2.jpg Honda-Batam
Ilustrasi Nilai Kearifan Lokal. (Foto: Ist)

Oleh Wilnas

SALAH satu tujuan bangsa Indonesia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Selain itu, Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang kemudian dijabarkan melalui Undang-Undang Dasar, hal tersebut perlu dipahami oleh seluruh rakyat Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai musyawarah dan mufakat yang ada dalam masyarakat perlu menjadi pedoman bagi masyarakat dalam menyelesaikan konflik yang ada di masyarakat.

Secara teoritis, konflik memiliki sisi positif dan sisi negatif, dalam hal tersebut konflik dapat terjadi antar individu maupun antar kelompok. Sisi positif konflik adalah adanya kemajuan dan inovasi, namun demikian konflik juga memiliki dampak negatif berupa adanya kerusuhan maupun kerusakan. Tahapan terjadinya konflik yaitu munculnya konflik kepentingan, yang berdampak munculnya konflik psikologi, apabila hal tersebut tidak dapat diredusir akan menimbulkan terjadinya konflik fisik yang sangat merugikan.

Oleh karena itu, salah satu tugas penting Pemerintah Pusat dan Pemda adalah memelihara keamanan dan ketertiban dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan terus menyelesaikan setiap permasalahan bukan dengan berdebat yang diakhiri dengan sengketa atau konflik, melainkan melalui semangat gotong royong dan mengedepankan kearifan lokal seperti yang diajarkan dalam Pancasila dan UUD 1945.

Disisi yang lain, masyarakat juga diharapkan dapat berperan aktif untuk bersama-sama menjaga kondusifitas wilayahnya, sehingga pembangunan dapat berjalan secara maksimal. Komposisi masyarakat Indonesia yang heterogen merupakan suatu kelebihan kita bersama, oleh karena itu seluruh forum-forum di masyarakat dapat dimaksimalkan oleh Pemda ataupun pemangku kepentingan lainnya untuk mendeteksi dan mengantisipasi terjadinya konflik.

Sebagai salah satu contoh saja, heterogenitas masyarakat di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat merupakan salah satu kelebihan masyarakat Mentawai, oleh karena itu motto "Musara Kasimaeru" yang berarti bersama menuju kebaikan dapat menjadi pedoman bagi masyarakat dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari. Selain itu, masyarakat juga perlu mengedepankan toleransi sebagai kunci untuk menjaga persatuan dan kesatuan wilayah Mentawai.

Kearifan Lokal

Jika diterjemahkan secara sederhana, kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan dan lokal (local) atau setempat. Jadi kearifan lokal adalah Ide dan gagasan atau pengetahuan yang lahir dari masyarakat setempat dalam menjalankan kehidupan di lingkungan sekitar.

Menurut Antariksa (2009), kearifan lokal merupakan unsur bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan (perkotaan) dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa.

Ciri kemajemukan suatu komunitas atau wilayah (geografis) seperti Indonesia yang berbentuk kepulauan harus diterima sebagai kenyataan objektif yang mengandung potensi konflik. Sumber konflik dalam suatu negara antara lain konflik separatis, perebutan sumber daya alam, persoalan SARA, etnisitas, kesenjangan ekonomi, kriminalitas, pengangguran, perang saudara, pemberontakan bersenjata, politik, dan sebagainya. Indonesia memiliki potensi konflik cukup laten, jika tidak dikelola secara bijak dapat menimbulkan disintegrasi, yaitu potensi konflik antarsuku, agama, ras, golongan, pusat-daerah, sipil-militer,lembaga- lembaga pemerintah atau negara, Jawa-non Jawa, penguasa-masyarakat, dan lain-lain.

Selain itu, terdapat potensi konflik yang mewarnai implementasi otonomi daerah, seperti konflik antarpemerintah lokal (saling berbatasan), konflik antarkekuatan rakyat berbasis lokal melawan aparat pemerintah, konflik antara pemerintah daerahdan pemerintah pusat, dan sebagainya. Umumnya konflik tentang identitas dalam suatu masyarakat cenderung lebih kompleks, bertahan lama serta sulit dikelola, sedangkan konflik yang berciri primordial sulit dipecahkan karena bersifat emosional.

Perkembangan media sosial juga perlu dipantau karena isu-isu sensitif yang dapat memicu terjadinya konflik antar masyarakat maupun antar golongan, sehingga melalui pelaksanaan kegiatan dialog dapat meningkatkan kewaspadaan dan pengetahuan masyarakat mengenai isu-isu yang berpotensi memicu terjadinya konflik sosial.

Isu-isu nasional yang berpotensi memicu konflik di wilayah Mentawai seperti isu penculikan anak dan isu radikalisme dapat ditangkal dengan adanya toleransi antar masyarakat yang mempererat persatuan dengan mengacu pada semboyan Musara Kasimaeru di Mentawai ataupun semboyan lainnya yang berkembang sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal masing-masing daerah.

Di antara kearifan lokal yang sudah ada sejak dahulu dan masih terpelihara sampai sekarang antara lain Dalihan Natolu (Tapanuli), Rumah Betang (Kalimantan Tengah), Menyama Braya (Bali), Saling Jot dan Saling Pelarangan (NTB), Siro yoingsun, Ingsun yosiro (Jawa Timur), Alon-alon asal kelakon (Jawa Tengah/DI Yogyakarta), Basusun Sirih (Melayu/Sumatera) dll. Tradisi dan kearifan lokal yang masih ada serta berlaku di masyarakat, berpotensi untuk dapat mendorong keinginan hidup rukun dandamai.

Hal itu karena kearifan tradisi lokal pada dasarnya mengajarkan perdamaian dengan sesamanya, lingkungan, dan Tuhan. Hal yang sangat tepat menyelesaikan konflik dengan menggunakan adat lokal atau kearifan lokal karena selama ini sudah membudaya dalam masyarakat. Oleh karena kearifan lokal adalah sesuatu yang sudah mengakar dan biasanya tidak hanya berorientasi profan semata, tetapi juga berorientasi sakral sehingga pelaksanaannya bisa lebih cepat dan mudah diterima oleh masyarakat. Dalam budaya lokal diharapkan resolusi konflik bisa cepat terwujud, bisa diterima semua kelompok sehingga tidak ada lagi konflik laten yang tersembunyi dalam masyarakat.

Diharapkan bahwa DPRD sedang mengoptimalkan nilai-nilai kearifan lokal wilayahnya masing-masing melalui perancangan Perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, dalam rancangan Perda tersebut akan melindungi seluruh masyarakat baik masyarakat asli maupun pendatang di daerah tersebut.

Polri akan terus berupaya untuk mengedepankan pembimbingan dan pengayoman kepada masyarakat dalam rangka menghargai kearifan lokal yang berlaku, namun demikian apabila permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan maka hal tersebut akan masuk ke dalam bidang penegakan hukum. Adapun kebijakan yang dilakukan oleh Polri diantaranya proactive policing strategy, mengedepankan koordinasi dan sinergi, mencegah terjadinya intoleransi, dan memberikan tindakan tegas terhadap tindakan intoleransi.

Aparat penegak hukum dan aparat keamanan bersama masyarakat perlu berperan aktif masyarakat agar semakin peka terhadap potensi-potensi konflik di masyarakat, oleh karena itu masyarakat diharapkan dapat bersinergi dengan jajaran pemerintah dengan memberikan informasi mengenai potensi konflik. Strategi bertindak kepolisian yaitu mencegah terjadinya konflik yaitu dengan melakukan pemetaan potensi konflik, namun apabila terjadi konflik perlu diupayakan untuk dihentikan dengan melakukan sinergi dengan seluruh instansi terkait.

Sehingga terbentuk sistem penyelesaian perselisihan secara damai. Kondisi ini dapat dilaksanakan di lapangan jika ada saling trust atau kepercayaan antara masyarakat, aparat penegak hukum dan aparat keamanan, sehingga menjadi modal sosial yang penting untuk terus menjaga keharmonisan dan kesolidan diantara mereka dengan semua pihak tidak menyakiti ataupun tidak menistakan bahkan tidak menyepelekan pihak lainnya. *

Penulis adalah peneliti senior di Center of Risk Strategic Intelligence Assessment (Cersia) Jakarta.