Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kasus e-KTP Dinilai Kejahatan Luar Biasa dan Rendahkan Indonesia di Mata Internasional
Oleh : Irawan
Kamis | 04-05-2017 | 12:37 WIB
nabilmuhammad1.jpg Honda-Batam

Senator Muhammad Nabil, Anggota Komite I DPD RI asal Provinsi Kepulauan Riau

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Anggota Komite I DPD RI Muhammad Nabil mengungkapkan, dalam setiap kegiatan reses di semua wilayah di Kepulauan Riau (Kepri) selalu menemukan permasalahan mengenai masalah e-KTP (Kartu Tanda Penduduk Elektronik) seperti perekaman dan ketersediaan blanko e-KTP.

"Bukan hanya itu, lebih dahsyat lagi kami dicerca berbagai pertanyaan panas dan kekesalan masyarakat dengan fakta kasus hukum pengadaan proyek E-KTP nasional yang sedang berlangsung dan ditangani KPK," kata Nabil di Jakarta, Kamis (4/5/2017).

Menurut Nabil, disaat aparatur pemerintah di daerah serius mensosialisasikan tentang pentingnya masyarakat mengurus perekaman data e-KTP dan menunggu ketersediaan blanko e-KTP dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), rupanya keterlambatan tersebut bukan disebabkan faktor teknis belaka, tetapi lebih disebabkan permasalahan hukum korupsi pengadaan dan distribusi e-KTP.

"Kami menilai kasus korupsi pengadaan e-KTP ini bukan permasalahan korupsi biasa, karena sungguh luar biasa, tidak hanya sekedar merugikan keuangan negara, tindak pidana korupsi yang memalukan tersebut juga merenggut hak konstitusional masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya dalam pesta demokrasi," katanya.

Sebab, e-KTP saat ini sudah menjadi salah satu syarat warga negara mendapatkan haknya dalam pesta demokrasi Pemilu. "Marwah bangsa kita sudah tercabik-cabik dengan kasus memalukan ini karena seolah-olah kita rela menampar muka sendiri dalam praktek mengelola negara yang melibatkan eksekutif dan legislatif," katanya.

Lebih dari itu, lanjutnya, berdampak pada kejahatan hak elektoral warga negara yang dilindungi Undang-undang. Setidaknya ada tiga aturan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang menyebutkan e-KTP sebagai syarat.

Pertama, untuk menjadi calon kepala daerah, salah satu dokumen yang harus dilampirkan yaitu fotokopi e-KTP, tidak bisa dengan KTP biasa. Kedua, yakni sebagai syarat dukungan kepada calon perseorangan. Calon perseorangan harus kumpulkan sejumlah dukungan, itu harus berupa dukungan yang dibuktikan dengan fotokopi e-KTP.

Ketiga, e-KTP juga jadi syarat masuk ke dalam daftar pemilih. Jika warga negara tak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), tetap bisa menggunakan hak pilihnya dengan datang ke tempat pemungutan suara dan menunjukkan e-KTP. Jika belum memiliki e-KTP, orang tersebut harus meminta Surat Keterangan (SUKET) ke Dinas Kependudukan dan Cacatan Sipil setempat bahwa dirinya sudah melakukan perekaman E-KTP, namun belum mendapatkan fisik kartunya.

"Ini berbeda dengan Pilkada sebelumnya yang tidak ada penyebutan kalau tidak terdaftar harus memperlihatkan e-KTP, hanya perlihatkan KTP biasa. Sebenarnya syarat tersebut justru menyusahkan warga yang belum memiliki e-KTP," katanya.

Di samping itu, ternyata masih banyak yang belum tahu bahwa mereka harus mengurus surat keterangan bahwa fisik e-KTP jika belum jadi. Akibatnya, banyak warga yang hak demokrasinya terbuang sia-sia, dan menghilangkan hak konstitusional warga negarnya sendiri.

"Dampaknya sekilas mungkin sepele, tapi dalam konsep Pemilu, kejahatan luar biasa kalau ada satu saja hak suara tercederai karena administrasi kependudukan yang bermasalah yang berpengaruh pada hak pilih masyarakat, karena administrasi kependudukan tidak boleh menjadi penghambat pemenuhan hak konstitusional warga negara," katanya.

Nabil menegaskan, kondisi berat ini sangat melukai semua warga negara, disaat masyarakat sudah tumbuh kesadaran dan kepedulian untuk melakukan perekaman e-KTP. Sebab, banyak layanan publik yang menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai basis data, seperti layanan BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, pembukaan rekening di bank, pembuatan SIM, pembelian kartu perdana telekomunikasi dan lain-lain.

Ia menilai kasus e-KTP menghancurkan harapan masyarakat dan memalukan Indonesia di mata internasional. Hal ini bertolak belakang dengan rencana pemerintah yang sudah menargetkan pada 2019 semua WNI wajib memiliki e-KTP, sebagai basis data kependudukan yang puncaknya akan digunakan sebagai data pemilih pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden tahun 2019.

"Maka sebagai wakil rakyat Kepulauan Riau kami sangat menyesalkan kasus ini dan meminta aparat penegak hukum untuk mempercepat penyelesaian kasus hukum yang sedang berjalan dan menghukum pelaku-pelakunya dengan seberat-beratnya," kata Senator asal Provinsi Kepri ini.

Ia berharap agar pemerintah lebih pro aktif dan tegas untuk menuntaskan perekaman E-KTP dan pengadaan blanko e-KTP sesegera mungkin kepada seluruh WNI, karena dokumen kependudukan tersebut sangat penting bagi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Editor: Surya