Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Pilwako Tanjungpinang, Golkar dan PDIP Bersatu atau Beradu?
Oleh : Habibie Khasim
Jum'at | 07-04-2017 | 16:14 WIB
Golkar-dan-PDIP.gif Honda-Batam

Akankah Golkar dan PDIP bersatu di Pilwako Tanjungpinang 2018 (Sumber foto: warta rakyat)

BATAMTODAY.COM, Tanjungpinang - Tahapan Pemilihan Walikota Tanjungpinang tinggal menghitung bulan. Tahapan untuk menuju Pemilihan Kepala Daerah yang baru untuk Kota Tanjungpinang pun dimulai tidak lama lagi, tepatnya pada bulan September 2018.

Dinamika politik pun semakin memanas. Bahkan yang justru menjadi topik hangat saat ini adalah, dua partai besar yang menguasai Kota Tanjungpinang, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Golongan Karya (Golkar).

Pertanyaan pun timbul dari kedua kubu partai yang secara umum pada awalnya ini saling mendukung. Akankah tetap bersatu atau malah beradu di Pilwako Tanjungpinang 2018 mendatang?

Pakar politik dan sekaligus Akademisi dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (Umrah), Bismar, kepada BATAMTODAY.COM, Jumat (7/4/2017), menilai, untuk Pilwako 2018 jika konteks pembicaraan adalah Golkar dan PDIP, maka itu sangat luar biasa.

Sebab, kedua partai itu, saat ini menjadi penguasa di Tanjungpinang, karena memiliki perolehan kursi terbanyak di DPRD. Selain itu, Golkar juga adalah partai pengusung pemenangan Presiden RI, Joko Widodo dan Walikota Tanjungpinang, Lis Darmansyah.

Kendati demikian, dari sudut pandang penilaian Bismar, justru di Pilwako 2018 mendatang Golkar dan PDIP sangat sulit untuk bersatu. Mengingat, sang petahana (Lis Darmansyah) yang mungkin akan dicalonkan kembali oleh PDIP, tidak akan terpilih kembali di Pilwako 2023. Karena sudah habis kesempatan untuk pencalonan.

Itu tertuang dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 58 huruf o. Undang-undang ini menegaskan, calon kepala daerah (cakada) harus memenuhi syarat antara lain, belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.

"Yang saya lihat, jika Golkar bersatu dengan PDIP, dengan Golkar sebagai nomor 2, saya rasa mungkin. Namun, tetap melihat di periode berikutnya (Pilwako 2023), Lis tidak bisa mencalonkan lagi. Sementara untuk pengkaderan, sangat kecil kemungkinan PDIP mengkaderkan orang di luar partai mereka," tutur Bismar.

Melihat kondisi seperti itu, kata dia, yang berat itu berada di kubu Golkar. Sebab pasti terpilih pada periode 2018. Namun para periode berikutnya, peta politik akan berubah kembali dan Golkar harus bekerja kembali untuk memenangkan Pilkada.

"Dari pada demikian, memang saya rasa Golkar memilih untuk mandiri alias maju sendiri pada Pilwako ini. Makanya saya bilang, sangat susah jika mereka bersatu," tutur Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Umrah tersebut.

Lebih jauh pria lulusan Universitas Riau ini, dari logika politiknya pun sangat susah untuk bersatu. Mengingat, jika bersatu dan terpilih pada Periode 2018-2023 mendatang, maka akan sangat menguntungkan Golkar, yang telah menjadi Petahana (Wakil walikota). Sedangkan Lis tidak dapat mencalonkan kembali.

"Sementara seperti yang saya bilang, sangat kecil kemungkinan jika PDIP malah menjadi partai pengusung calon dari Golkar," kata Bismar.

Terkait Golkar, Bismar berpendapat, lebih baik mencalonkan secara gamblang, karena telah memiliki 4 kursi. Sangat rugi, kata Bismar, jika Golkar jadi nomor 2 atau bahkan sampai "jual suara" ke Partai lain.

Akan tetapi, memang, hukum politik tersebut pada prakteknya saat ini adalah semuanya halal. Jadi, apapun dapat dilakukan dan terjadi di luar dari apa yang diramalkan dan dibicarakan.

Namun yang jelas, kata Bismar lagi, Petahana sangat diuntungkan dalam Pilwako mendatang, tapi juga mudah dijatuhkan jika program dan capaian kinerja tidak seperti yang diharapkan.

Editor: Udin