Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Memberhalakan Pulau Berhala
Oleh : sn
Senin | 24-10-2011 | 09:08 WIB
berhala.jpg Honda-Batam

Ilustrasi: Pulau Berhala.

Oleh: Shodiqin Nursa

Para pemimpin Kepri mencak-mencak begitu mendengar Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia menetapkan Pulau Berhala menjadi bagian dari wilayah Provinsi Jambi. Gubernur dan Wakil Gubernur Kepri sesumbar akan menggugat Mendagri! Tetapi apakah reaksi itu didasari oleh semangat berbangsa dan bernegara Indonesia --dan bukan oleh karena terjebak memberhalakan Pulau Berhala?

Reaksi Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) Muhammad Sani dan Wakil Gubernur Kepri Soerya Respationo terdengar menggelegar ketika Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menetapkan bahwa Pulau Berhala masuk wilayah Provinsi Jambi.

Penetapan status Pulau Berhala masuk ke dalam wilayah Provinsi Jambi dituangkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2011, tentang Wilayah Administrasi Pulau Berhala tertanggal 29 September 2011 dan telah diundangkan pada tanggal 7 Oktober 2011 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 625.

Dalam pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2011 disebutkan, Pulau Berhala terletak di bagian Utara Kabupaten Tanjungjabung Timur, Provinsi Jambi, pada posisi 0º 51’ 34' Lintang Selatan dan 104º 24’ 18' Bujur Timur. Pasal 3 menyatakan, Pulau Berhala masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Tanjungjabung Timur, Provinsi Jambi; dan dalam pasal 4 dicantumkan, Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Masalahnya, sebagian masyarakat Kepri sendiri tak percaya bahwa reaksi Gubernur dan Wakil Gubernur itu akan berwujud nyata memperjuangkan Pulau Berhala masuk wilayah Provinsi Kepri. “Provinsi Kepri lemah dalam memperjuangkan Pulau Berhala masuk Kepri”. Muhammad Sani mengakuinya bahwa pihaknya tidak terlalu agresif memperjuangkan memasukkan Pulau Berhala ke wilayah Kepri.

Sementara Provinsi Jambi tampak agresif memperjuangkannya. Sejak sengketa saling klaim atas Pulau Berhala berlangsung tahun 1970-an, sejak itu pula para pemimpin Provinsi Jambi berjuang agar Pulau Berhala masuk wilayah Jambi. Tercatat, perjuangan mereka sudah eksis ketika Masjchun Sofwan menjadi Gubernur Jambi pada 1979-1989; lalu berlanjut pada masa Gubernur Abdurrahman Sayoeti (1989-1999), Gubernur Zulkifkli Nurdin (1999-2010), dan Gubernur Jambi sekarang ini, Hasan Basri Agus.

Perjuangan Provinsi Jambi memasukkan Pulau Berhala ke wilayahnya dilakukan secara bersama, bahu membahu, antara para pemimpin dan rakyatnya melalui tim formal dan tim non formal bernama Tim Asistensi Pulau Berhala. Mungkin, itulah buah yang selayaknya dipetik oleh Jambi atas perjuangannya meraih Pulau Berhala?

Upaya Menggugat dan Tumpangan Politik Merebut Pulau Berhala
Setelah Pulau Berhala resmi masuk wilayah Provinsi Jambi, Tim Pemerintah Provinsi Kepri menyiapkan nota protes kepada Menteri Dalam Negeri. Selain itu, upaya lain untuk merebut Pulau Berhala adalah dengan mempersiapkan uji materi Permendagri Nomor 44 Tahun 2011 (yang menetapkan Pulau Berhala masuk ke wilayah Provinsi Jambi) ke Mahkamah Agung.

Gubernur Kepri Muhammad Sani optimistis bisa merebut Pulau Berhala dari Jambi, “Karena ditinjau dari segi apa pun Pulau Berhala adalah milik Kepulauan Riau (Kepri).”

Sani beralasan: dari aspek sejarah, Pulau Berhala masuk dalam wilayah Kerajaan Riau-Lingga dari abad ke-17 dan Residen Riau pada 1922 hingga pemilihan umum pertama tahun 1955 serta pemilihan Gubernur Riau pada 1985.

Provinsi Kepri berasal dari provinsi induk Riau yang mencakup wilayahnya sampai Pulau Berhala. Pemerintahan Desa Berhala sudah ada sejak Provinsi Riau, hingga saat ini di bawah  Kecamatan Singkep, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri.

Dan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 54 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepri dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga, maka Pulau Berhala masuk wilayah Kepri. Batasnya adalah Selat Berhala yang memisahkan Pulau Berhala dengan Sumatera.

Wakil Gubernur Kepri Soerya Respationo juga menganggap Permendagri No. 44/2011 cacat hukum karena berlawanan dengan UU No. 31/2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri.

Namun, menyangkut gugatan hukum yang akan dilakukan, Sani berkomentar: “Biarlah hukum yang akan menentukan siapa pemilik Pulau Berhala.”

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari daerah pemilihan Kepri, Herlini Amran, memberikan dukungan kepada Pemerintah Provinsi Kepri untuk menggugat keputusan itu ke Mahkamah Agung. Dia juga meminta Gubernur Kepri meningkatkan koordinasi dengan berbagai pihak agar mendapatkan dukungan besar untuk merebut Pulau Berhala.

Masalahnya setali tiga uang dengan Gubernur Kepri sekarang, anggota Dewan Syariah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga sepertinya terlambat bereaksi. Setidaknya selama dua tahun Herlini telah duduk di Senayan, dan itu berarti ada pertanyaan pula yang harus diarahkan kepadanya: Memangnya ngapain saja Herlini Amran di DPR selama ini? Sebab, sengketa Pulau Berhala telah berlangsung selama puluhan tahun. Dan, pada detik-detik terakhir Mendagri akan memutuskan status Pulau Berhala masuk ke wilayah mana, mestinya Herlini sebagai wakil rakyat yang dipilih dari dapil Kepri secara otomatis dapat bergerak cepat. Setidak-tidaknya bisa menelisik informasi ke Kementerian Dalam Negeri lalu menyampaikannya ke Gubernur Kepri, dan atau bahkan menggerakkan konstituennya lebih awal untuk mendukung langkah agar Pulau Berhala masuk wilayah Kepri.

Karena teriakannya baru terdengar kencang pada hari-hari ini dan langkah kongkretnya juga dipertanyakan, maka secara politik pernyataan Herlini Amran yang disebar ke media massa itu justru menimbulkan tanda tanya baru. Soalnya, rilis dari anggota DPR yang duduk di Komisi VIII ini tertanggal 18 Oktober 2011; saat di mana kabar adanya Menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) dari PKS akan dicopot, lagi kencang-kencangnya. Dan betul, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan kabinetnya hasil reshuffle, pada Selasa (18/10/2011), pukul 20.00 WIB, ada Menteri asal PKS yang tak dipercayai lagi tetap berada di KIB alias dicopot.

Entah apa maksud sesungguhnya Herlini berkata siap membantu Provinsi Kepri untuk menggugat Permendagri tersebut, namun kesan adanya “tumpangan politik” merebut Pulau Berhala harus pula dijelaskan. Sebab, rakyat kerap menjadi “korban politik” dari para elite politik, dan tak pernah mendapat penjelasan.

Permendagri yang membuat Pulau Berhala masuk wilayah Provinsi Jambi juga tak terbit secara serta merta. Ada proses, ada rapat yang dihadiri unsur dari Jambi dan Kepri. Staf-staf yang datang mengkaji Undang-Undang Pembentukan Daerah. Dan, dari situ lantas Mendagri memutuskan bahwa Pulau Berhala masuk wilayah Provinsi Jambi.

Selain itu, meski kepemilikan Pulau Berhala dikukuhkan dengan Permandagri, namun Mendagri juga menegaskan bahwa keputusan itu diambil setelah dibahas oleh tim yang melibatkan berbagai Kementerian. Mendagri juga telah menurunkan tim ke daerah untuk mendalami persoalan Pulau Berhala.

Mengenai argumentasi Muhammad Sani bahwa Pulau Berhala masuk wilayah Kepri, ditepis  Umar Syadat, Staf Khusus Menteri Dalam Negeri. Syadat menegaskan bahwa Pulau Berhala secara peraturan perundang-undangan berada di bawah Provinsi Jambi. Syadat menyatakan, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau mengecualikan Pulau Berhala dari Provinsi Kepulauan Riau.

Pulau Berhala termasuk di dalam wilayah administratif Provinsi Jambi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi, dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur; Provinsi Jambi. Itulah bunyi Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002.

Jadi, bukankah lebih baik andai Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau pada umumnya dan Pemerintah Kabupaten Lingga pada khususnya, bisa menerima keputusan dari pemerintah pusat dengan baik dan bijak? Toh, sebagai provinsi sesama rumpun Melayu, status Pulau Berhala tidak merusak hubungan antar kedua provinsi, tidak merusak tali persaudaraan, dan tidak merusak bingkai kesatuan dan persatuan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia karena pemisahan tersebut hanya administratif semata.

Andaikan reaksi terhadap Permendagri yang menjadikan Pulau Berhala masuk wilayah Jambi itu didasari oleh semangat berbangsa dan bernegara, NKRI, maka Provinsi Kepri tak perlu menghabiskan energi hanya untuk merebut Pulau Berhala. Yang dikhawatirkan, semakin kencang teriakan untuk merebut Pulau Berhala, nantinya akan semakin menjadikan Pulau Berhala menjadi “Berhala”, dan lantas “memberhalakan” Pulau Berhala.

Mungkin, ada khikmah yang jauh lebih menguntungkan masyarakat Kepri dibanding “penguasaan” secara administratif terhadap Pulau Berhala. Pekerjaan rumah yang perlu dirapikan juga banyak: FTZ (free trade zone) Batam, Bintan dan Karimun (BBK); hubungan Badan Pengusahaan (BP) Kawasan dan Pemerintah Kota Batam; Peraturan Daerah tentang Kependudukan (Perdaduk) Kota Batam yang seolah-olah menempatkan Batam berada di luar wilayah NKRI; serta soal pemerataan pembangunan yang membuat sebagian masyarakat Kabupaten Natuna merasa dianaktirikan, lalu bersuara ingin bergabung dengan Kalimantan Barat alias melepaskan diri dari Kepri; dan lain-lain.

Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik, alumnus Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional.