Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Presiden Sukarno Tak Lupakan Kawan
Oleh : sn
Senin | 24-10-2011 | 09:02 WIB
sukarno.jpg Honda-Batam

Ilustrasi: Sukarno.

Oleh: Yana Priyatna

Aku ingin bercampur dengan rakyat. Itulah yang menjadi kebiasaanku. Akan tetapi aku tidak dapat lagi berbuat demikian. Seringkali aku merasakan badanku seperti akan lemas, napasku akan berhenti apabila aku tidak bisa keluar dan bersatu dengan rakyat jelata yang melahirkanku.”

Begitulah karakter dan kepribadian  Bung Karno yang diceritakan beliau dalam buku Otobiografi “BUNG Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” karya Cindy Adams. Perasaan isi hati  seorang presiden yang sehari-hari hidup di kalangan istana negara, tapi tidak dapat dipisahkan dari rakyatnya. Beliau merasakan kesakitan tatkala dirinya dipisahkan oleh suatu keadaan dengan rakyat jelata yang telah melahirkannya.

Untuk itu, Bung karno dalam posisi sebagai presiden Republik Indonesia sering “menorobos” protokoler Istana Negara agar dapat keluar dengan bebas, sehingga bisa bertemu dengan kawan-kawan lama dan rakyat jelata.

Menurut pengalaman Pak Mangil, komandan Detasemen Kawal Presiden (DKP), Bung Karno tidak pernah melupakan kawan-kawannya walaupun sudah menjabat sebagai presiden. Kehidupan Istana Presiden yang biasanya ketat dengan protokoler tidak berhasil mengingatnya untuk bergaul dengan rakyat atau kawan-kawannya di luar istana kepresidenan.

Pak Mangil menceritakan: “Bung Karno memang sering keluar dari Istana secara incognito (secara tidak resmi). Pada suatu hari Bung Karno berkata kepada saya, Yo Mangil. Bapak ingin keluar sebentar. Bapak ingin melihat umyeke wong golek pangan di Jakarta (Bapak ingin melihat kesibukan orang mencari nafkah di Jakarta).”

Sikap hidup merakyat Bung Karno memang sudah menjadi karakter dirinya sejak kecil. Bung Karno tidak pernah ingin dipisahkan dari rakyat, walaupun dirinya sudah menjadi Presiden RI. Sikap hidup merakyat itu menyebabkan dirinya selalu keluar Istana Presiden dengan mengenakan pakaian seperti warga negara biasa kemudian keliling daerah untuk menyelami kehidupan rakyat.

“Malam hari pun Bung Karno pernah pergi ke daerah Senen, daerah Planit (kawasan pelacuran) tempo dulu dan Bung Karno jalan mendekati gerbong-gerbong kereta api yang ditempati orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal. Di sini Bung Karno malahan sempat bercakap-cakap dengan para gelandangan tersebut, baik laki-laki maupun perempuan. Tidak lama kemudian ada seorang perempuan yang berkata dengan keras, “lho, itu kan suara Bapak.” Itu Bapak, ya..,” demikianlah cerita pengalaman Pak Mangil yang selalu mengawal Bung Karno ke mana pun beliau pergi.

Solidartas Bung Karno kepada kawan-kawan lama pun sudah tidak perlu diragukan lagi. Presiden RI pertama itu paling tidak betah kalau melihat dan mendengar kawan-kawan lamanya dalam kesulitan. Walaupun kawan tersebut sudah berpuluh tahun tidak bretemu, beliau selalu ingat akan kehidupan dirinya dengan kawan-kawannya itu.

Kehidupan beliau sebagai presiden tidak berhasil membatasi kebiasaannya untuk bergaul dengan kawan-kawan lamanya, baik kawannya itu dari kalangan orang “besar” atau rakyat biasa. Sebab Bung Karno tidak pernah membeda-bedakan derajat orang karena posisi dan jabatan. Beliau menempatkan manusia sama, tidak ada perbedaan karena jabatan atau posisi.
Setelah Ibu Kota Republk Indonesia kembali ke Jakarta dari Yogyakarta, kira-kira pada akhir Januari 1950, Bung Karno merasa kehilangan sebuah lukisan yang sangat berharga. Sebuah lukisan yang sangat digemari oleh beliau.

Kemudian Bung Karno memerintahkan kepada pengawal pribadinya, Pak Mangil, untuk mencari lukisan tersebut. “Lukisan itu diperkirakan berada di salah satu rumah di Salemba. Rumah tersebut masih ditempati tentara Belanda. Waktu Bung Karno memerintahkan tersebut, saya sedang makan pagi bersama-sama dengan Dr. AK. Gan di Istana Merdeka,” kenang Pak Mangil.
Lukisan kegemaran Bung Karno itu melambangkan persatuan bangsa-bangsa Asia Afrika, yang melukiskan lambang-lambang antara lain Leong Barongsai, Lembu Nandi, Spinx, Burung Merak, Gajah Putih, Ular Hidra, Harimau dan Banteng. Lukisan tersebut merupakan karya seorang pelukis teman Bung Karno yang bernama Ernest Dezente, kawan akrab Bung Karno.

Bung Karno juga memerintahkan pengawalnya untuk mencari Ernest Dezente, sang pelukisnya. Mau tidak mau Mangil pun berkeliling Jakarta untuk mencari kawan Bung Karno sekaligus mencari lukisan yang sangat berharga itu. “Cari dia sampai ketemu dan suruh dia datang ke Istana ditunggu Bapak, saya sendiri tidak tahu di mana dia sekarang,” perintah Bung Karno kepada Mangil.

Pengawal pun berhasil menemukan rumah pelukis Ernest Dezente di Jalan Veteran. Mangil pun mendatangi rumah itu dan langsung mengetuk pintu. Tidak  lama kemudian muncul seorang laki-laki tua, kurus dan menyatakan: “Ada perlu apa Tuan?”

Orang tua yang ditemui pengawal presiden itu kelihatan sudah sakit-sakitan, badannya kurus sekali. “Saya perlu dengan Tuan Ernest Dezentje. Apakah ada di rumah?” tanya si pengawal presiden. Orang tua itu menjawab, dirinyalah yang bernama Ernest Dezentje. Alangkah senangnya pelukis itu ditemui oleh seorang pengawal presiden Sukarno.
 
Alangkah girangnya hati si pelukis Ernest Dezentje, setelah mendengar cerita dari Mangil bahwa Presiden Sukarno meminta dirinya untuk datang menemui kawannya itu di Istana Negara. “He, Sukarno masih ingat kepada saya?” Padahal dia sekarang sudah menjadi Presiden RI,” kata pelukis keturuan Belanda itu. Kemudian Ernest Dezentje berkata pula kepada pengawal  presiden, “Ya, saya bersedia datang, tatapi harus dijemput, sebab saya takut masuk Istana.”

Setelah pertemuan dua kawan lama itu berlangsung di Istana Negara Jakarta, Ernest Dezentje pun akhirnya sering dipanggil Bung Karno ke Istana negara terutama ke Istana Bogor untuk sekedar ngobrol dan saling bercengkrama dengan santai.

Satu pengalaman pernah diceritakan oleh Bagin, seorang mantan Sekretaris Jenderal DPP Lembaga Kebudayaan Nasional. Menurut pengalamannya, suatu ketika pada satu malam Bung Karno ingin sekali bertemu dengan seorang kawannya yang tinggal di Tanah Abang, Jakarta. Beliau pun memerintahkan kepada pengawal pribadinya untuk mengatur agar dapat keluar Istana tanpa diketahui oleh orang-orang sekitar Istana Negara.
 
Si pengawal pun merasa bingung untuk mengelabui para penjaga Istana Presiden agar dapat membawa Bung Karno menemui kawannya itu dengan sembunyi-sembunyi tanpa menimbulkan kegaduhan. Akhirnya pengawal itu punya akal, ia meminta Bung Karno untuk menaiki kendaraan bak terbuka.
 
Lalu, kendaraan itu ditutup dengan terpal agar dapat menghalangi pandangan orang-orang dari Bung Karno. Si pengawal pun berhasil membawa Presiden RI itu untuk menemui kawannya sekedar untuk ngopi di warung kopi di Tanah Abang. Pertemuan Bung Karno pun berlangsung dengan kawan lamanya itu di sebuah kedai kopi di pinggir jalan di Tanah Abang.
 
Untuk hanya sekedar ingin bertemu dengan kawan-kawan lama atau dengan rakyat  jelata, Bung Karno sering menanggalkan baju kebesarannya sebagai seorang presiden. Kemudian beliau berkelililng kota untuk menyelami kehidupan nyata rakyat pada umumnya.

Kepada penulis biografi AS Cindy Adam, Bung Karno menceritakan kehidupan pribadinya itu, “Pakaian seragam dan peci hitam merupakan tanda pengenalku. Akan tetapi ada kalanya kalau hari sudah malam aku menukar pakaian, pakai sandal, pantalon dan kalau hari terlalu panas aku hanya memakai kemeja. Dan dengan kaca mata hitam berbingkai tanduk rupaku lain sama sekali. Aku dapat berkeliaran tanpa dikenal orang dan memang kulakukan. Ini kulakukan karena ingin melihat kehidupan ini. Aku adalah kepunyaan rakyat, aku haru melihat rakyat, aku harus mendengar rakyat dan bersentuhan dengan mereka. Perasaanku akan tenteram kalau berada di antara mereka. Ia adalah roti kehidupan bagiku.”

Dalam kenyataan hidup itu Bung Karno menyerap apa yang didengar dari celoteh rakyat jelata sehingga beliau dapat menarik garis-garis kehidupan yang menjadi harapan hidup kebanyakan rakyat Indonesia “Kudengar percakapan mereka, kudengar mereka berdebat, kudengar mereka berkelakar dan burcumbu-kasih. Dan aku merasakan kekuatan hidup mengalir ke seluruh batang tubuhku.”

Kawan dan rakyat jelata bagi Bung Karno ibarat makanan segar yang dapat menyehatkan hati dan pikirannya. Sebab dari rakyat, Presden RI pertama itu merasakan dirinya dibesarkan. Oleh karenanya rakyat dan kawan-kawannya merupakan sahabat akrab seperti ikan dan air.

Penulis adalah Dosen Mata Kuliah Pemikiran Sukarno di Universitas Bung Karno