Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Rokok Khusus FTZ jadi Polemik dan Tidak Menguntungkan, Harus Ditinjau Ulang
Oleh : Harjo
Jum'at | 24-03-2017 | 17:26 WIB
bongkar-rokok-kkb1.jpg Honda-Batam

Proses pembongkaran rokok FTZ di gudang yang terletak di RT 3/ RW IV Kelurahan Senggarang, Kota Tanjungpinang. (Insert: Rokok kawasan FTZ yang diperjualkan belikan diluar kawasan tersebut) (Foto: Dok. Batamtoday.com)

BATAMTODAY.COM, Tanjunguban - Peredaran rokok berlabel khusus kawasan bebas (KKB) untuk kawasan Free Trade Zone (FTZ) dari berbagai merk, telah membuat polemik di tengah masyarakat. Pengusaha dan pemerintah pun terkesan sangat lamban memberikan respon. Hal ini harus dijadikan pertimbangkan, baik dari segi pemasukan untuk negara serta dampak lainnya.

Apalagi untuk produksi rokok sendiri teryata tidak diproduksi di wilayah kawasan FTZ, melainkan diproduksi di luar kawasan, seperti di Sidoarjo. Artinya, dari segi serapan tenaga kerja, kawasan FTZ sendiri sudah dirugikan.

"Kalau melihat dari siapa dan di mana diproduksi rokok yang katanya khusus kawasan bebas, tidak sesuai dengan harapan. Karena dengan diproduksi di luar kawasan FTZ Kepri, jelas sudah merugikan daerah. Seharusnya dengan diproduksinya rokok khusus kawasan bebas, menciptakan peluang kerja. Tapi fakta yang ada justru rokok diproduksi di luar kawasan," tegas T Sianturi, Penasehat Federasi Konstruksi Umum dan Informal (FKUI) SBSI Bintan kepada BATAMTODAY.COM di Tanjunguban, jumat (24/3/2017).

Sianturi yang juga mantan Anggota DPRD Bintan itu menegaskan, itu baru dari satu sisi saja, yakni masalah kesempatan kerja bagi tenaga kerja yang ada di dalam kawasan FTZ seperti Batam dan sekitarnya, yang sudah merugikan para pencari kerja, sementara tujuan dari FTZ adalah untuk mempermudah akses masuknya investasi.

"Bukan kawasan FTZ yang memanfaatkan fasilitas dan menimba keuntungan, tetapi justru daerah lainnya. Hal ini sangat tidak adil. Seharusnya rokok khusus kawasan diproduksi di kawasan FTZ agar bisa menyerap tenaga kerja. Bukan yang terjadi justru sebaliknya," katanya.

Terjadinya hal seperti ini, bahkan terkesan adanya pembiaran, karena sudah berjalan beberapa tahun.  Hal itu akibat dari kurangnya perhatian dari aparat penegak hukum, baik instansi, badan dan pemegang kebijakan. Sehingga para mafia rokok menjalankan bisnisnya seperti legal. Karena memang tidak adanya kontrol dari aparat penegak hukum.

"Kita tidak paham apakah adanya pembiaran, karena memang ada sesuatu hal yang tidak diharapkan atau adanya kesengajaan untuk kepentingan kelompok atau pribadi. Tetapi dari segi lapangan pekerjaan,  daerah ini sudah sangat dirugikan," tegasnya.

Permasalahan di atas, kata Sianturi, baru dilihat dari sisi ketenagakerjaan saja, belum dilihat dari segi lainnya. Terutama dari pola pengawasan, mengingat dengan diproduksinya rokok khusus kawasan bebas di luar kawasan FTZ, sangat rentan terjadinya penyelewengan. Baik dilakukan oleh pelaku usaha serta oknum aparat dan lainnya.

Sehingga, dengan adanya kejadian peredaran rokok khusus FTZ yang tidak kontrol, harus dilakukan kajian dan pertimbangan kembali. Jangan sampai justru hal ini semakin merugikan daerah, karena tujuan dan sasarannya tidak tepat.

"Kalau memang memungkinkan, lebih baik kran peredaran rokok khusus kawasan bebas ditutup. Karena dari pola produksi tidak menguntungkan dan segi pengawasannya sangat lemah," pungkasnya.

Editor: Udin