Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Menyoal Pilkada Sarat Masalah
Oleh : Redaksi
Kamis | 09-03-2017 | 14:14 WIB
pilkada.jpg Honda-Batam

Ilustrasi surat suara Pilkada serentak. (Foto: Ist)

Oleh Bhatiar Adi

PILKADA Serentak 2017 yang akan dilaksanakan 15 Februari 2017 diikuti pemilih sebanyak 41.200.187 orang yang terdiri dari 20.696.737 laki-laki dan 20.503.450 perempuan. Dari jumlah DPT, terdapat pemilih pemula sebanyak 1.233.303 orang dan pemilih disabilitas sebanyak 50.063 orang.

Di tengah persiapannya, muncul sejumlah permasalahan terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT), yang terjadi di Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat (Kota Tasikmalaya, Kota Cimahi dan Kota Bekasi), DIY (Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulonprogo), Kabupaten Buleleng (Bali), Kota Payakumbuh (Sumatera Barat), Kabupaten Muaro Jambi, Tebo, dan Kabupaten Sarolangun (Jambi), Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Landak (Kalimantan Barat), Kabupaten Raja Ampat (Papua Barat), Kabupaten Mamasa, (Sulawesi Barat), Kabupaten Bangka Selatan (Babel), Kota Sorong (Papua Barat), dan Kota Jayapura (Papua).

Masalah-masalah lainnya antara lain aksi penghadangan kegiatan kampanye juga dialami beberapa Paslon seperti yang terjadi di DKI Jakarta, Bangka Belitung, Aceh, Banten, DIY, Sumbar, dan Kalimantan Tengah; Persoalan profesionalitas penyelenggara yang diindikasikan melanggar kode etik di sejumlah daerah; Persoalan netralitas ASN/PNS juga terjadi di beberapa kabupaten, antara lain di Bengkulu, Aceh, dan Sulawesi Barat; Permasalahan internal Parpol, diantaranya sejumlah kader Parpol membelot dengan mendukung Paslon lain dan dampak dari berlanjutnya dualisme kepemimpinan PPP versi Romi dan PPP versi Djan Fariz, serta ekses dualisme kepengurusan PKPI.

Petahana vs Rival Politik

Majunya bakal calon kepala daerah Petahana dan “rival” politiknya, baik wakil kepala daerah periode sebelumnya maupun pesaing politik lama yang berakibat pada meningkatnya tensi ketegangan politik pada pelaksanaan Pilkada Serentak 2017. Sejauh ini, terdapat sekitar 78 daerah penyelenggara Pilkada serentak 2017 yang kepala daerahnya (Petahana) termonitor akan maju kembali, dengan total Petahana sekitar 103 orang.

Dari 78 daerah tersebut, 18 daerah diantaranya berada di wilayah Provinsi Aceh, 8 daerah di Papua, dan 5 daerah masing-masing di Papua Barat dan Jawa Tengah. Sementara itu, berdasarkan pemetaan sementara, sekitar 24 daerah masuk kategori rawan, karena bakal calon Petahana menghadapi “rival” politiknya.

Permasalahan Paslon tunggal dan kotak kosong. Dari 101 daerah yang menggelar Pilkada Serentak 2017, ada 9 daerah dengan calon tunggal yaitu Kota Tebing Tinggi (Sumatera Utara), Kota Sorong dan Kabupaten Tambrauw (Papua Barat), Kota Jayapura (Papua), Kabupaten Maluku Tengah (Maluku), Kabupaten Buton (Sulawesi Tenggara), Kabupaten Pati (Jawa Tengah), Kab. Landak (Kalimantan Barat) dan Kabupaten Tulang Bawang Barat (Lampung), dimana permasalahan calon tunggal masih terjadi di Kabupaten Pati dan Kabupaten Buton.

Calon tunggal melawan kotak kosong terjadi pada Pilkada 2015 atas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), dimana MK membolehkan kotak kosong agar tidak terjadi pengebirian terhadap hak konstitusional warga. Jika dalam pelaksanaan Pilkada 2017 kotak kosong yang menang, maka berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang, maka akan dilakukan pemilihan lagi pada periode berikutnya.

Pilkada yang Menggembirakan

Walaupun masih menyisakan sejumlah permasalahan, kinerja KPU RI beserta jajarannya di daerah yaitu KPUD/KIP dan Bawaslu RI beserta jajarannya di daerah yaitu Panwaslih dapat dikatakan telah mengalami peningkatan, namun menjadi paradoks ketika hal tersebut juga diiringi dengan menurunnya tingkat partisipasi politik masyarakat.

Oleh karena itu, tantangan Pilkada 2017 adalah bagaimana meningkatkan partisipasi pemilih yang trennya terus menurun sejak Pileg 2014 (75,11%), Pilpres 2014 (71,31%), dan Pilkada 2015 (69,14%).

Sebenarnya, untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam hajatan politik 5 tahunan tersebut, dapat dilakukan dengan beberapa langkah yaitu, pendidikan pemilih, peran Parpol, sosialisasi massif dari penyelenggara Pemilu, dukungan Pemda dan kebijakan dari Pemerintah Pusat.

Disamping itu, permasalahan lainnya adalah kepesertaan dalam Pilkada serentak 2017 menunjukkan tren yang menurun dibandingkan dengan Pilkada 2015, yakni hanya diikuti rata-rata 2 s.d 3 Paslon.

Sementara itu, upaya pemerintah untuk meningkatkan partisipasi pemilih, maka 101 Pemda yang akan melaksanakan Pilkada 2017 telah diinstruksikan untuk melakukan sosialisasi dan himbauan kepada masyarakat untuk turut serta dalam Pilkada dengan menampilkan iklan “Sukseskan Pilkada.”

Tidak hanya itu saja, untuk mendukung kondusifitas daerah, Kemendagri mengkampanyekan ”Pilkada yang Menggembirakan”, bukan Pilkada yang menegangkan.

Khusus di Pilkada DKI, pihaknya mengadakan program ”Anugerah Demokrasi”, sebagai bentuk reward bagi kelurahan dengan 3 indikator; tingkat partisipasi, tingkat pelanggaran, dan keberhasilan menghadirkan suasana aman, nyaman dan menggembirakan bagi masyarakat.

Oleh karena itu, pilihan untuk melakukan “Golput” pada Pilkada Serentak 2017 bukanlah pilihan yang cerdas, melainkan pilihan yang dapat mematikan elan demokrasi di Indonesia secara step by step.

Soal akan memilih siapa dalam Pilkada 2017, maka ingatlah pesan Napoleon Bonaparte yang menyatakan “a leader is a dealer in hope (seorang pemimpin adalah penjual sekaligus pembeli harapan). Pemimpin besar pasti seorang yang memiliki karakter yang kuat, visi, inspiratif, dan mampu memberi harapan di tengah kesulitan yang mendera bangsanya.

Dan, pendapat Franz Magnis Soeseno dalam buku Iman dan Hati Nurani, 2004, yang menyatakan, demokrasi bukan mengenai memilih yang terbaik, melainkan mengenai mencegah yang paling buruk berkuasa. Apapun yang terjadi pasca Pilkada 2017, janganlah merusak persatuan dan kesatuan bangsa. *

Penulis adalah Pemerhati Sosial Budaya, Tinggal di Jakarta