Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Wacana Dibukanya Kran Ekspor Hasil Tambang

Pemeritah Harus Bedakan antara Kebutuhan dan Keserakahan
Oleh : Harjo
Jum'at | 10-02-2017 | 17:30 WIB
Sahat-Simanjuntak.jpg Honda-Batam

Tokoh masyarakat Bintan, Sahat Simanjuntak (Foto : Harjo)

BATAMTODAY.COM, Tanjunguban - Kran ekspor pada sektor pertambangan dari era orde baru hingga reformasi, di satu sisi memang memberikan nilai tambah bagi Pendapatan Asli Daerah, khususnya di wilayah Provinsi Kepri. Namun di sisi lain, dengan adanya aktivitas pertambangan dan penggalian bauksit, pasir dan lainnya, sudah melebihi batas kebutuhan pembangunan.

Akibatnya, dari bekas tambangan itu menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat kritis. Di Kabupaten Bintan misalnya, konon ada hutan lindung dan wilayah tangkapan hujan (catchment area) yang justru saat ini sudah tidak terlihat lagi. Akibat tanpa batasnya pembabatan hutan yang sebagian menjadi lahan tambang, baik tambang pasir maupun tambang bauksit.

Tokoh masyarakat Bintan, Sahat Simanjuntak, kepada BATAMTODAY.COM, Jumat (10/2/2017) mengatakan, saat ini mulai sibuknya para pejabat tinggi hingga kelas warung kopi membahas tentang akan dibukanya kran pertambangan bauksit di Bintan.

Sehingga ia berharap, jika memang pertambangan bauksit dan lainnya berjalan, semua pihak harus menyesuaikan antara kebutuhan pembangunan dan tingkat keserakahan serta mempertimbangkan dampaknya.

"Jangan sampai hanya memikirkan untuk kebutuhan sesaat. Pembelajaran masa lalu jelas masih tersisa hingga saat ini. Di mana hampir di setiap wilayah di Bintan khususnya, masih banyak danau-danau kecil bukti bekas pertambangan," katanya.

Artinya kata sahat lagi, pertambangan yang dilakukan sebelumnya, jelas tidak memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan. Walaupun konon ada anggaran reklamasi pasca tambang. Namun kenyataannya di lapangan, justru banyak danau kecil yang muncul tanpa ada perhatian pemerintah.

"Mulai dari hutan yang habis karena pembabatan liar serta sisa pertambangan, sudah menjadi rahasia umum di Bintan ini. Namun untuk yang peduli dengan lingkungan dan memikirkan kondisi lingkungan ke depan terkesan lupa," tegasnya.

Mungkin kata Sahat, para pelaku atau pengelola yang mendapatkan izin dari pemerintah, saat mengolah dan menerima hasilnya, lupa kawajibannya terhadap lingkungan. Sehinggga mereka hanya mementingkan kebutuhan sesaat tanpa memikirkan kelangsungan hidup anak cucu mereka.

"Celakanya, atas apa yang sudah terjadi, justru perhatian pemerintah dan aparat penegak hukum sangat minim, sehingga terkesan mengamini kegiatan tersebut," imbuhnya.

Dengan adanya wacana kembali dibukanya kran eksport bauksit, setidaknya semua pihak harus sadar untuk kebutuhan jangka panjang. Baik kondisi lingkungan saat ini, hingga pasca aktivitas pertambangan, harus dipertimbangkan secara matang.

"Karena dengan tidak adanya perizinan dari pemerintah untuk melakukan aktivitas tambang saja, pengelola tambang seperti pasir sangat berani dan tidak terkontrol. Apalagi kalau memang ada izin. Jelas akan lebih dahsyat akibatnya. Artinya, semua pihak harus peduli dengan lingkungan, harus ada batasan antara kebutuhan dan keserakahan," harapnya.

Jangan sampai karena untuk kesenangan sesaat, justru lupa memikirkan dampak buruk terhadap lingkungan  di belakang hari. Karena imbas dari keserakahan, bisa jadi tidak dirasakan secara langsung, sehinga semua pihak harus ingat kepada generasi penerus, yang akan menerima baik-buruknya di kemudian hari.

Editor: Udin