Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Dalam 4 Tahun, 189 Ribu Hektare Hutan Jambi Hilang
Oleh : Redaksi
Senin | 30-01-2017 | 13:02 WIB
Hutan-Indonesia1.jpg Honda-Batam

Ilustrasi Hutan.

BATAMTODAY.COM, Batam - Provinsi Jambi kehilangan tutupan hutan seluas 189.125 hektare selama kurun waktu 2012-2016. Hutan itu hilang akibat deforestasi dan degradasi hutan serta aktivitas tambang emas ilegal khususnya di wilayah Jambi bagian barat.

Manager Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Rudi Syaf mengatakan dari interpretasi yang dilakukan Warsi pada 2012 total hutan Jambi masih 1.159.559 hektare, namun pada 2016 luasnya menjadi 970.434 hektare.

"Berdasarkan interpretasi Lansat 8 yang dilakukan Unit Geographic Information System KKI Warsi, dalam rentang tahun 2012 ke 2016 Jambi kehilangan tutupan hutan sebesar 189.125 hektare. Hal ini setara dengan delapan kali lapangan bola per jam," kata Rudi.

Hilangnya tututan hutan ini telah menyebabkan bencana ekologis di wilayah Jambi khususnya wilayah barat, itu dilihat dengan tingginya intensitas banjir dan longsor yang terjadi.

Dari catatan yang dikumpulkan Warsi banjir dan longsor telah menyebabkan 10 orang meninggal dunia, empat hilang, dan tujuh luka-luka. Banjir bandang yang terjadi di Jambi juga sudah menghanyutkan 78 unit rumah, dan 9.142 unit rumah terendam.

Kejadian ini juga menyebabkan 14.694 hektare lahan pertanian sawah dan perkebunan ikut terendam dan mengalami gagal panen.

Banjir bandang di wilayah barat kata Rudi juga menyebabkan sebanyak 140 desa terisolasi dan mengakibatkan putusnya fasilitas umum seperti jembatan dan jalan. Jembatan putus yang teridentifikasi ada tujuh unit dan 39 bangunan sekolah ikut terendam.

"Kondisi ini boleh dibilang terbalik dengan tahun lalu, jika tahun lalu kita kebakaran hebat tahun ini Jambi mengalami kebasahan yang cukup hebat. Kondisi ini memberi gambaran bahwa ada kekeliruan dalam mengelola sumber daya alam kita," katanya.

Sebab itu, lanjutnya, Warsi mengimbau pemerintah untuk melakukan upaya nyata pemulihan lingkungan dan mengurangi dominasi korporasi dalam penguasaan lahan. Dan yang paling penting juga melibatkan masyarakat dalam mengelola sumber daya secara langsung.

"Dari pengalaman kami, ketika hutan dikelola oleh masyarakat, laju deforestasinya boleh di bilang nol persen. Kami mencontohkan pengelolaan kawasan Bukit Panjang Rantau Bayur di Kabupaten Bungo yang dikelola oleh masyarakat dengan skema hutan desa, sejak tahun 2013 sampai 2015 laju deforestasi di kawasan ini menjadi nol," katanya menjelaskan.

Sedangkan di bagian atas tepatnya di daerah aliran sungai (DAS) Batang Pelepat, pengelolaan kawasan di serahkan ke korporasi yang dikelola perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit serta tambang, telah menyebabkan laju deforestasi yang sangat tinggi.

Rudi menjelaskan, tahun 2000 DAS Pelepat masih berhutan 39.706 hektare namun pada tahun 2016 tinggal 19.509 hektare. Artinya laju deforestasi di kawasan ini mencapai 1.262 hektare per tahun. Dengan laju deforestasi yang tinggi, wilayah ini menjadi andil besar pada bencana ekologis yang menimpa daerah ini.

"Pada awal tahun lalu, kawasan Dusun Batu Kerbau ke Kecamatan Pelepat, Bungo, hanyut di sapu banjir bandang. Padahal sebelum-sebelumnya kawasan ini relatif aman dari banjir, jikapun ada banjir bersifat tidak spontan, air naik secara perlahan dan kemudian turun secara perlahan tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti," katanya menjelaskan.

Menurut Rudi, intervensi dalam pengelolaan sumber daya alam wajib untuk dilakukan. Apalagi pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat, sejauh ini terbukti mampu mencegah kerusakan hutan dan memberikan multi manfaat untuk masyarakat sekitarnya.

"Dalam pendampingan yang dilakukan Warsi dengan pengelolaan berbasis masyarakat, bisa diisi dengan kegiatan yang menguntungkan perekonomian masyarakat. Misalnya pengembangan pohon asuh, pengembangan komoditas bertingkat, pengembangan listrik mikro hidro dan lain sebagainya," kata Rudi.

Untuk itu menurutnya, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) atau yang dalam bahasa pemerintah disebut dengan perhutanan sosial sangat mungkin untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup, sekaligus memberi peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sumber: Tempo.co
Editor: Yudha