Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Memaknai Berbagai Kenaikan Harga dengan Jernih
Oleh : Redaksi
Rabu | 11-01-2017 | 15:14 WIB
ILustrasi+sayur+naik.jpg Honda-Batam

Ilustrasi kenaikan harga sembako. (Foto: Liputan6)

Oleh: Arjuna Wiwaha

DI AWAL tahun 2017, masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan beberapa kebijakan pemerintah terkait kenaikan harga harga Bahan Bakar Minyak (BBM), biaya kepengurusan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan tarif dasar listrik.

 

Meskipun tidak ada resistensi apalagi aksi demonstrasi yang rusuh menolak kebijakan tersebut, namun dirasa publik perlu mengetahui alasan mengapa pemerintah menaikan harga/tarif aspek diatas di awal tahun ini.

Kenaikan harga BBM oleh PT Pertamina (Persero) awal tahun ini dilakukan sebagai bentuk penyesuaian kondisi harga minyak mentah dunia yang kembali meningkat di awal tahun ini.

Alasan mengenai kenaikan harga minyak tersebut secara tegas dijelaskan oleh Vice President Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro (5/1) yang mengatakan bahwa kebijakan ini merupakan review pemerintah terkait harga minyak secara berkala sekaligus penyesuaian kenaikan harga minyak mentah dunia.

Meskipun harga BBM naik, perlu diketahui bahwa kenaikan harga tersebut hanya berlaku untuk masyarakat dengan golongan ekonomi menengah keatas. Hal ini disebabkan bahwa kebijakan subsidi BBM untuk masyarakat miskin tetap menjadi prioritas dan akan terus diratakan hingga kedaerah-daerah terpencil oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Penerapan tarif baru penerbitan ragam surat terkait kendaraan bermotor kembali menuai respon dari masyarakat. Sebagaimana peningkatan terendah sebesar 100 persen untuk penerbitan dan perpanjangan STNK kendaraan roda dua dan tiga, hingga tertinggi sebesar 275 persen untuk penerbitan BPKB kendaraan bermotor roda empat atau lebih dinilai telah dilebihkan-lebihkan oleh beberapa kelompok kepentingan dalam meresistensi Pemerintahan Jokowi-JK.

Perlu diketahui bahwa alasan pemerintah menerapkan kebijakan tersebut dalam rangka menutupi kondisi defisit fiskal ekonomi ditahun 2016 yang mana mencapai RP. 307,7 triliun atau sebesar 2,45 persen yang dibutuhkan sebagai sumber dana belanja pemerintah untuk memenuhi target pembangunan infrastruktur yang saat ini sedang digalakan oleh Pemerintah kita.

Hal ini diakui oleh para pelaku bisnis Jogja Economic and Bussiness Outlook 2017 yang menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah dalam membangun fasilitas dan infrastruktur secara tidak langsung telah membangkitkan pertumbuhan ekonomi dan semangat sektor swasta yang sedang lesu sebagai dampak menurunnya pertumbuhan ekonomi global.

Kenaikan tarif dasar listrik secara tidak langsung dipengaruhi oleh kenaikan harga minyak dunia. Hal tersebut dijelaskan oleh Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN, I Made Suprateka yang mengatakan bahwa kenaikan tarif listrik disebabkan oleh kenaikan harga minyak Indonesia yang naik dari bulan Agustus sebesar US$ 41,11 per barel ke US$ 46,64 per barel pada Oktober 2016. Selain itu, kenaikan tarif listrik juga dipengaruhi oleh pelemahan kurs rupiah terhadap dollar Amerika pada periode Agustus ke Oktober 2016.

Namun demikian, mengutip pernyataaan Direktur Utama PLN, Sofyan Basir yang mengatakan bahwa kenaikan tarif listrik dinilai tidak terlalu signifikan dan diyakini tidak akan memberatkan pelanggan PLN. Karena disisi lain, meskipun terdapat kenaikan tarif dasar listirk pemerintah juga tetap membantu masyarakat melalui kebijakan subsidi sehingga angka kenaikan tarif dasar listrik yang ada tidak terlalu dirasakan oleh masyarakat secara langsung.

Meskipun bukan sebuah keputusan yang dapat disepakati secara keseluruhan, namun tampaknya kebijakan pemerintah untuk menaikan harga BBM, tarif dasar listrik hingga biaya kepengurusan STNK dapat dikatakan wajar. Bukan mendukung apalagi pro dengan kebijakan kenaikan harga.

Namun apabila dinilai dari kaca mata yang objektif, kenaikan tersebut dapat dimaklumi lantaran memang negara kita saat ini sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan keseriusan pemerintah dalam melakukan pemerataan pembangunan fasilitas dan infrastruktur publik dari Sabang hingga Marauke.

Selain itu, aspek lain yang perlu diapresiasi adalah ditengah-tengah pertumbuhan ekonomi negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Inggris dan negara-negara yang tergabung dalam Europe Union melemah dan hanya mencapai re-rata 2 hingga 3 persen, kita negara Indonesia hingga detik ini masih terus berpacu dengan persentase peningkatan ekonomi yang melebihi angka 5 persen, itu pun ditengah gejolak perekonomian global. Lantas baguskah itu? *

Penulis adalah Mahasiswa FISIP Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur