Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Mie Aceh, Antara Ganja, Tsunami dan GAM
Oleh : Redaksi
Senin | 09-01-2017 | 08:00 WIB
mie_aceh_bang_jaly_bbcindonesia.jpg Honda-Batam

Salah-satu restoran milik Razalie Abdul Jalil tidak jauh dari Stasiun kereta api Tanjung Barat, Depok, Jawa Barat. (Foto: BBC)

KAYA akan rasa dan aroma rempah-rempah, kuliner tradisional khas Aceh yaitu mie Aceh terus bersaing dengan makanan "pendatang" lainnya untuk memanjakan lidah warga kosmopolitan Jakarta.

 

Saya beberapa kali ke kota Banda Aceh sejak liputan tsunami pada akhir 2004, dan saya tidak akan pernah melupakan kalimat pertama seorang sahabat di kota itu yang berkata "jangan lupa menyantap mie Aceh".

Kadang memilih mie Aceh model tumis atau goreng, tetapi saya terlanjur jatuh cinta mie Aceh rebus – yang menunya tidak sulit ditemukan di berbagai rumah makan atau kedai di sudut-sudut kota itu. Dan ini terus berulang setiap ke Banda Aceh.

Itu sudah biasa, karena pada masa itu belum ada ribut-ribut soal larangan (ganja). Kalau Anda ke dapur, ada botol biji ganja itu biasa saja. Tidak ada yang aneh.

Dan selanjutnya, bisa ditebak. Riwayat saya bersentuhan langsung dengan makanan campuran peradaban kuliner Cina, India dan Arab itu, membuat lidah saya terlanjur mengakrabi mie Aceh.

Sampai di Jakarta, saya pun dihadapkan pertanyaan klise yang juga sering diutarakan para pengelana yang baru pulang dari perjalanan jauh: "Di manakah saya mendapatkan makanan tradisional dari tempat yang pernah saya kunjungi?"

Bagi para pebisnis kuliner yang memiliki bakat dan ketajaman, pertanyaan itu bisa berarti "pintu masuk" untuk mengeruk keuntungan dari ceruk bisnis makanan tradisional.

Selasa siang pekan lalu, perempuan kelahiran 1964 di Bireun, Provinsi Aceh itu tengah berada di ruangan utama restoran yang dikelolanya, di kawasan Jalan Bendungan Hilir, Jakpus, ketika saya menemuinya untuk sebuah wawancara.

Namanya Ratna Dwikora, pemilik restoran mie Aceh Seulawah. Memulai usaha kecil-kecilan dengan membuka kantin di Jakarta Selatan pada 1996, kini Ratna telah memiliki sedikitnya 10 cabang di berbagai sudut Jakarta.

"Pangsa pasar yang menuntut saya akhirnya menjual mie Aceh," ungkap ibu empat anak ini, ketika saya bertanya kenapa dirinya menjadikan mie Aceh sebagai menu utama.

Ratna masih ingat, mie Aceh – dan masakan tradisional Aceh lainnya – makin menarik hati sebagian warga ibu kota setelah bencana tsunami meluluhlantakkan sebagian wilayah Aceh, akhir Desember 2004.

"Saya tidak bilang (bencana tsunami) ini keuntungan ya, tapi sesudah tsunami Aceh, orang jadi penasaran dengan Aceh, lalu makanan Aceh jadi umum. Dan setelah dicoba rasanya cocok," katanya.

Pendapat serupa juga diutarakan pemilik restoran Mie Aceh Jaly-jaly, Razalie Abdul Jalil. Pemilik 18 cabang restoran mie Aceh di berbagai wilayah ibu kota ini mengaku bencana tsunami membuat Aceh "makin dikenal" – juga kulinernya.

"Sebelum tsunami, saya buka kedai mie Aceh, dan saya ajak orang untuk makan supaya kenal. Tapi setelah tsunami, orang bertanya di mana saya bisa makan kuliner Aceh," ungkap pria kelahiran 1958 ini.

"Jadi hikmah tsunami itu banyak, mungkin sebagian musibah, tapi sebagian berkah," ujar pria yang akrab dipanggil Bang Jaly.

Kehadiran media sosial dan liputan kuliner di media televisi juga disebut Ratna ikut mendongkrak popularitas mie Aceh bagi masyarakat di luar Aceh.

Mengapa mie Aceh?

Di pertengahan tahun 1990-an, restoran atau kedai makanan di Jakarta yang menjual kuliner tradisional Aceh, masih bisa dihitung dengan jari, kata Ratna dan Razalie.

Kenyataan inilah yang melatari mereka – yang dibesarkan dalam keluarga yang mengakrabi dunia masak-memasak – untuk membuka restoran ala Aceh. Alasannya barangkali sederhana: masih sedikit pesaing.

"Saya ambil sesuatu yang eye cathcing di belantara Jakarta. Karena saya orang Aceh, maka keputusan yang saya ambil ayo kita buat (restoran) makanan Aceh,"ungkap Ratna.

Pilihan serupa juga dilakukan Razalie. "Kenapa tidak saya kembangkan produk Aceh, sehingga terpikir saya membuka restoran masakan Aceh."

Walaupun dikurangi takarannya, "kekuatan" Mie Aceh justru pada kekuatan pada rempah-rempahnya, kata Razalie dan Ratna.

Awalnya memang tidak gampang untuk mengenalkan masakan Aceh kepada warga Jakarta yang heterogen. Saat itu, Razalie mengaku, selain makanan Aceh, mereka juga menjual menu lain seperti bakso atau ayam bakar. "Memang berat, karena orang belum kenal."

Dalam perjalanannya, baik Razalie dan Ratna akhirnya meyakini bahwa mie Aceh merupakan menu yang bisa diterima lidah warga ibu kota.

"Karena ada survei, Indonesia paling tinggi pemakai mie. Dan kalau ada bazar (kuliner), antrian paling panjang itu biasanya mie, mie bakso, atau mie Jawa," kata Ratna.

Jawaban senada juga dilontarkan Razalie. "Orang Indonesia suka makan Indomie, mie ayam, bakmie Gajahmada, dan mie pinggir jalan. Mie tidak asing bagi orang Indonesia," ujar Razalie yang pernah bekerja di sebuah perusahaan fast food ini.

Menyesuaikan lidah warga non Aceh

Dalam perjalanannya, konsumen terbanyak mie Aceh yang dikelola oleh Ratna dan Razalie adalah warga non Aceh. Ini tentu saja perkembangan yang mereka inginkan sejak awal.

Tentu saja, mereka harus mengawalinya dengan "menyesuaikan" takaran bumbu rempah-rempahnya. "Pedas dan asam kita turunkan sedikit untuk menyesuaikan lidah (konsumen) di Jakarta," ujar Ratna.

"Kita kurangi bau-bauannya," Razalie menjawab.

Maklum saja, masyarakat Aceh sudah terbiasa dengan aneka bumbu yang kuat dan pedas, tetapi ini tidak bagi warga kebanyakan di luar Aceh.

Walaupun dikurangi takarannya, "kekuatan" Mie Aceh justru pada kekuatan pada rempah-rempahnya, kata mereka.

"Kami selalu main rempah. Rata-rata ada 10 macam rempah, itu minimal. Tapi kami total memakai 24 rempah, termasuk daun bawang. Kalau nggak percaya, boleh diperiksa di laboratorium.. ha-ha-ha.."

Untuk memanjakan konsumennya, alumni Fakultas hukum Unsyiah Banda Aceh ini mengaku mendatangkan sebagian bumbu rempah dari Aceh. Sebaliknya, Razaline mengaku semua bumbu yang dibutuhkan "sudah tersedia di Jakarta".

"Saya tidak pelit dengan bumbu. Misalnya (jika dibutuhkan) satu gram, saya pakai satu gram. Jadi bumbunya lengkap dengan rasa maksimal," ungkap Razalie.

Mitos bumbu ganja?

Walaupun belum pernah terbukti, sejauh ini beredar selentingan di masyarakat bahwa kelezatan makanan Aceh tidak terlepas dari bumbu yang diracik dari daun atau biji ganja.

Informasi ini juga sering saya dengar ketika saya beberapa kali ke Aceh, tetapi saya belum pernah mendapatkan keterangan dari pengelola restorannya.

Apakah di sejumlah menu masakan di restoran Anda ada racikan ganja? Tanya saya kepada pemilik restoran Mie Aceh Jaly-jaly, Razalie.

Walaupun belum pernah terbukti, sejauh ini beredar selentingan di masyarakat bahwa kelezatan makanan Aceh tidak terlepas dari bumbu yang diracik dari daun atau biji ganja. "Itu mitos!" tegas Bang Jaly – panggilan akrab Razalie.

"Karena Aceh (selalu dikaitkan) tidak jauh dari ganja, maka siapapun yang ditangkap ditangkap di manapun, selalu dibilang orang Aceh," katanya berulang-ulang.

"Saya tetap tidak pakai ganja sejak awal, karena dilarang. Saya tidak mau berhubungan dengan hukum. Saya taat hukum," tandas Razalie.

Apa komentar Ratna Dwikora, pemilik restoran masakan Aceh Seulawah? Dia mengatakan, bagi sebagian masyarakat Aceh, pengunaan ganja untuk bumbu masakan adalah sesuatu yang "umum" selama ini.

"Kalau buat orang Aceh, ganja itu bagian dari bumbu (masakan)," katanya.

Ratna kemudian bercerita, di usia kanak-kanak, dia sudah terbiasa melihat satu atau dua tanaman ganja di halaman rumah orang di Kota Pidie, Aceh.

"Karena dibutuhkan sedikit untuk dimasukkan ke dalam masakan daging, terutama kare. Dia bisa menaikkan rasa gurih."

Ratna kemudian bercerita, di usia kanak-kanak, dia sudah terbiasa melihat satu atau dua tanaman ganja di halaman rumah orang di Kota Pidie, Aceh.

"Itu sudah biasa, karena pada masa itu belum ada ribut-ribut soal larangan (ganja). Kalau Anda ke dapur, ada botol biji ganja itu biasa saja. Tidak ada yang aneh," papar pengelola usaha restoran yang omzetnya sekitar Rp300juta tiap bulannya ini.

Namun demikian, saat ini dia mengaku tidak menggunakan ganja dalam bumbu semua masakannya. "Kalau mau (pakai ganja), susah juga kan mendapatkannya," katanya seraya tertawa.

Tempat diskusi para pendukung GAM?

Saya menemui Razalie Abdul Jalil di restoran miliknya Mie Aceh Jaly-jaly, tidak jauh dari Stasiun kereta api Tanjung Barat, Depok, Jawa Barat, hari Rabu lalu.

"Saya tidak pelit dengan bumbu. Misalnya (jika dibutuhkan) satu gram, saya pakai satu gram. Jadi bumbunya lengkap dengan rasa maksimal," kata Razalie.

Jebolan mahasiswa Fakultas Teknik elektro Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah, Jakarta ini mengawali usaha restorannya masakan Aceh dengan membuka restoran di Terminal Blok M, Jakarta, sejak 1994 lalu.

Ketika Aceh masih dilanda konflik bersenjata, utamanya ketika Presiden Suharto masih berkuasa, saya sering mendengar informasi bahwa rumah makan di Blok M itu sering menjadi "kumpul-kumpul" para aktivis Aceh yang kritis terhadap pemerintah pusat.

Sebagian diantara mereka juga diyakini adalah pendukung Gerakan Aceh Merdeka, GAM. Razalie membenarkannya. "Betul, mereka bicara apa saja, namanya saja warung kopi," katanya.

Menurutnya, ini tidak terlepas dari kebiasaan masyarakat Aceh yang mau "menyelesaikan masalah" di warung kopi.
Murni bisnis bukan politik

"Tapi," imbuhnya cepat-cepat, "kita tidak terjun ke politik, kita sepenuhnya bisnis. Jadi biar bicara apapun, tapi prinsip kita tetap bisnis, tidak digabungkan."

"Perjuangan itu kan macam-macam, tidak harus dengan senjata. Saya berjuang melalui budaya, memperkenalkan makanan Aceh di khalayak umum,"tandasnya.

Tentara GAM saat Aceh dilanda konflik. Pengelola mie Aceh Jaly-jaly, Razalie mengaku, perjuangan tidak harus menggunakan senjata. "Saya berjuang dengan memperkenalkan masakan Aceh..."

"Jadi (masyarakat luas) ingat Aceh, bukan ingat teroris, separatis radikal, tapi juga makanan hebat, enak, bisa dinikmati dengan santai."

Bang Jaly kemudian teringat kejadian ketika dia diperingatkan manajemen pengelola Blok M, karena restorannya dianggap menjadi "sarang politik".

"Saya bilang konsumen tidak bisa dilarang. Jadi biarkan mereka bicara. Yang penting, saya tidak tampung untuk peperangan, tidak tampung senjata, tapi menampung hasrat manusia bicara bebas seperti dilindungi undang-undang," ungkap pengelola restoran yang mengaku omzet tiap bulannya sekitar Rp1 miliar.

Kini, baik Bang Jaly atau Ratna, bercita-cita untuk terus mengembangkan terus usahanya - membuka cabang diantaranya. Razaeli juga ingin memiliki restoran yang luas sehingga dia dapat menggelar kesenian Aceh di dalamnya.

Sumber: BBC Indonesia
Editor: Dardani