Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Kerusakan Hutan Lindung di Bintan Memprihatinkan

Tanam Pohon Pakai Cangkul, Nebang Pohon Pakai Mesin Canggih. Apa Nak Jadi?
Oleh : Harjo
Selasa | 29-11-2016 | 17:02 WIB
kegiatanpengerukan.jpg Honda-Batam

Aktifitas pertambangan pasir yang di duga illegal yang ada di Bintan. (Foto: Harjo)

BATAMTODAY.COM, Tanjunguban - Sudah bukan menjadi rahasia lagi, kondisi hutan lindung di Bintan sangat memprihatinkan. Antara penanaman dan pembabatan jelas sangat tidak seimbang. Sehingga, yang tertinggal sebagian besar hutan yang katanya hutan lindung, sudah dalam kondisi gundul.

"Kalau saja dari luar terlihat hutan masih lebat dan hijau, tapi kalau dilihat bagian dalamnya ternyata sudah gundul. Bahkan sebagian sudah rata dan untuk dibilang semak belukar pun sulit. Tidak heran justru ada sebagian yang disudah digarap masyarakat dan di jadikan lahan kaplingan," ungkap Penasehat Federasi Konstruksi Umum dan Informal (FKUI) SBSi Bintan, T Sianturi kepada BATAMTODAY.COM, Senin (28/11/2016).

Sianturi menjelaskan, kerusakan hutan lindung sudah nyaris dalam kepunahan. Karena antara penanaman, pemiliharaan dan pembabatan secara brutal berbanding terbalik. Bisa dibayangkan kalau yang menanam dengan alat tradisional seperti cangkul dan hanya ada sekedarnya dalam proses pemeliharaan.

Sebaliknya, penebangan terkesan membabi-buta, terus berlanjut tanpa ada pengawasan. Bahkan terkesan bisa sesuka hati para oknum yang terkesan memang kebal hukum.

"Bahkan tidak heran pula, hutan lindung juga digarap oleh masyarakat untuk kepentingan pribadi. Seperti dijadikan lahan kaplingan untuk pemukiman. Pertanyaan timbul, kenapa masyarakat berani dan terkesan legal, jelas menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi semua pihak," imbuhnya.

Harusnya, semua pihak harus berpikir untuk kedepan untuk anak cucunya. Karena kondisi alam saat ini, membutuhkan perhatian dari seluruh elemen masyarakat.

Sudah seharusnya pula, pada saat ini semua berlomba untuk menanam dan tidak sebaliknya justru berlomba dengan segala cara melakukan pembabatan hutan. Tanpa ada kontrol karena masih adanya celah dan kelemahan aparat penegak hukum.

Sebagaimana diketahui, balik maraknya pertambangan pasir ilegal dan penimbunan serta pemotongan lahan dengan dalih untuk pembangunan, memicu sebuah pertanyaan, bagaimana dengan kondisi hutan lindung yang ada di Bintan?.

Antara pertambangan dan penimbunan jelas memiliki sisi baik dan buruknya. Namun tanpa disadari, hal ini juga sudah menyumbangkan kerusakan bagi lingkungan.

Sahat Simanjuntak, tokoh masyarakat Bintan kepada BATAMTODAY.COM di Tanjunguban, Senin (28/11/2016) mengatakan, saat ini, semua sibuk dengan aktivitas pertambangan pasir ilegal yang tersebar di seluruh wilayah Bintan. Namun ada hal yang lebih penting dan terkesan terlupakan, yakni masalah hutan lindung.

"Hutan lindung di Bintan masih adakah? di kala pertambangan pasir illegal dan penimbunan lahan semakin marak di Bintan. Bagaimana kondisi hutan lindung di Bintan hingga akhir tahun 2016 ini?," ujar Sahat Simanjuntak.

Kalau melihat kondisi Hutan Lindung di Bintan, sudah sangat menyedihkan sekali. Karena Hutan Lindung berfungsi untuk ekosistem bagi lingkungan makhluk yang hidup yang berada di sekitarnya. Lantas kalau tidak terkelola dengan rapi, maka dibutuhkan aturan dan penegakan hukum yang jelas dan tegas.

Sahat menyampaikan, kondisi Hutan Lindung di Bintan pada tahun 2005, dari luas 4.355 hektar Hutan Lindung yang terdapat di Kabupaten Kepulauan Bintan, 35,89 persen atau 1.563 hektaar, mengalami kerusakan akibat kebakaran dan kegiatan perambahan hutan hutan pada saat itu.

Adapun lokasi kerusakan hutan lindung tersebut terdapat di Hutan Lindung Sungai Pulai 338 hektar, Gunung Lengkuas 428 hektar, Gunung Kijang 225 hektar, Gunung Bintan Besar dan Kecil 84 hektar dan Sungai Jago 488 hektar.

Kerusakan juga terjadi pada hutan manggrove serta terumbu karang diperairan sekitar Kabupaten Bintan. Untuk ekosistem terumbu karang, dari 16.860,50 hektar luas terumbu karang yang terdapat di perairan Pulau Bintan dan sekitarnya, 74 persen berada dalam kondisi sedang dan hanya 26 persen dalam kondisi baik.

Kerusakan ini, umumnya disebabkan oleh kegiatan-kegiatan perikanan yang bersifat destruktif, seperti penggunaan bahan-bahan peledak dan bahan beracun lainnya.

"Sejak tahun 2005 hingga kini, telah di penghujung tahun 2016, berapa hektar lagi Hutan Lindung yang tersisa di Bintan. Pernah pemerintah, menkajinya?," imbuhnya.

Bukan rahasia umum lagi, sejak kurun waktu dari tahun 2005 hingga kini di tahun 2016, kalau kondisinya sudah sangat kritis. Hutan Lindung yang seharusnya dilindungi sudah sangat meprihatinkan, khususnya bagi keberlangsungan dan ketersediaan sumber daya air yang berada di kawasan Hutan Lindung tersebut serta keseimbangan ekosistem yang ada.

Secara ekonomis, aktivitas pembangunan, pertambangan dan penggalian di Kabupaten Bintan memang memberikan nilai tambah bagi pemasukan Anggaran Pendapatan Bagi Daerah (APBD). Namun demikian, adanya aktivitas pembangunan pembangunan dan penggalian/pertambangan di Kabupaten Bintan, telah memberikan konstribusi terhadap kerusakan lingkungan.

"Kondisi ini diperburuk lagi dengan rendahnya tingkat rehabilitasi lahan pasca tambang. Kurang memiliki batasan antara kebutuhan dengan keserakahan. Juga kurang memiliki batasan antara kesenangan dengan ketamakan," paparnya.

Secara ekonomis, aktivitas sektor pertambangan dan penggalian, telah memberikan nilai tambah untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bintan. Meskipun demikian, adanya aktivitas pertambangan dan penggalian telah memberikan dampak yang sangat kritis terhadap berkurangnya Hutan Lindung dan Hutan Mangrove yg ada di Kabupaten Bintan.

"Saat ini, terkait izin pertambangan dan reklamasi, penimbunan ada di Pemprov. Lantas bagaimana yang masih terus berjalan tanpa mengantongi izin. Jelas menunggu ketegasan serta penegakan hukum dari aparat penegak hukum yang ada. Apa lagi, ada yang secara terang-terangan menyebut melakukan aktivitas tidak perlu mengantongi izin dan sudah bisa langsung berjalan," harapnya.

Editor: Dardani