Lulus Verifikasi Dewan Pers No.126/DP-Terverifikasi/K/X/2017

Tak hanya Negarawan, Politisi juga bisa Jadi Pahlawan
Oleh : Irawan
Rabu | 23-11-2016 | 17:54 WIB

BATAMTODAY.COM, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Abdul Kadir Karding menolak jika politisi dinilai bukan sebagai negarawan, sehingga politisi dianggap bukan sebagai pahlawan. Padahal politisi menjalankan tugasnya dengan etika politik dan berani membela kepentingan rakyat, bangsa dan negara, maka politisi bisa menjadi pahlawan sekaligus negarawan.

“Jadi, tidak benar kalau politisi itu berbeda dengan negarawan. Politisi itu kan hanya indentitas. Tapi, kalau dalam menjalankan tugasnya sesuai etika dan lebih mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara, maka dia adalah pahlawan sekaligus negarawan,” tegas Sekjen DPP PKB itu dalam diskusi "Esensi Hari Pahlawan Satu dalam Kebhinekaan" bersama Sekjen DPP PPP Arsul Sani dan pakar politik kebangsaan Yudi Latif di Gedung DPR RI Jakarta, Rabu (23/11/2016).

Karena itu kata Karding, kebhinnekaan itu bukan saja simbol, melainkan harus menjadi perilaku dan keteladanan untuk memperjuangkan kebersamaan, kesejahteraan, keadilan, gotong royong dan sebagainya yang sudah terbangun sejak 1908.

“Sejak itu bangsa ini sudah sadar jika berbeda agama, suku, ras dan antargolongan, tapi tetap bersatu untuk Indonesia yang satu. Bahkan kaum muda itu berkumpul di rumah seorang Tionghoa di Jakarta,” ujarnya.

Problemnya saat ini menurut Karding adalah kesenjangan sosial, kaya miskin dimana kekayaan negara baru dikuasai oleh 40 orang, dan kebijakan negara tidak berpihak kepada mayoritas yang miskin. Ditambah lagi di era global saat ini banyak pengaruh ideologi keagamaan yang berbeda dengan Indonesia yang moderat.

“Kini muncul pendatang baru dengan apa yang disebut ideologi transnasional, liberal, dan lainnya dengan belajar dari google. Bukan dari guru, kiai, dan ulama yang memahami agama dengan baik dan benar. Seperti di pesantren. Padahal, sejarah Islam Indonesia itu berbeda jauh dengan Islam di Timur Tengah yang masyarakatnya cenderung monogen, tidak heterogen, tidak majemuk. Inilah bagian dari masalah kita bersama,” tambah Karding.

Karena itu kata Karding, dalam kemajemukan ini kebijakan negara harus menciptakan keadilan social, mengakomodir kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

“Ke depan harus mentradisikan kehidupan yang sederhana, majemuk, segala sesuatu terkait kepentingan rakyat, bangsa dan negara harus dibicarakan bersama-sama,” pungkasnya.

Arsul Sani menilai jika kepahlawanan saat ini adalah siapa saja yang melaksanakan dasar-dasar yang telah diwariskan oleh founding fathers seperti Pancasila, kebhinnekaan, dan kemajemukan bangsa ini. Sehingga yang menjadi ancaman adalah ajaran-ajaran baru dari luar.

Misalnya transnasionalisme baik Islam (khilafah), maupun atas nama HAM yang keluar dari nilai-nilai kebangsaan. “Fundamentalisme itu bukan saja agama, tapi juga pemikiran-pemikiran yang liberal,” jelasnya.

Editor: Surya